Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Super Holding BUMN: Game Changer atau Tidak Relevan?

Rubrik: Non Redaksi | Diterbitkan: 15 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Super Holding BUMN: Game Changer atau Tidak Relevan?

KABARBURSA.COM- Sejak dihentikan oleh Erick Thohir, wacana pembentukan Super Holding BUMN kembali ramai diperbincangkan. Isu ini santer terdengar, terutama setelah kesuksesan negara tetangga seperti Singapura dengan Temasek dan Malaysia dengan Khazanah Nasional Berhad yang telah lama menarik perhatian Indonesia. Dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden, spekulasi bahwa proyek ini akan dilanjutkan semakin menguat. Model superholding yang berhasil di Negeri Jiran mendorong daya tarik konsep ini di Tanah Air, sebagai solusi untuk memperkuat kinerja dan efisiensi BUMN Indonesia di masa mendatang.

Keberadaan 12 subholding sektoral BUMN yang telah berjalan menjadi modal awal yang kuat bagi Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk melanjutkan rencana pembentukan Superholding BUMN. Menurut data Kementerian Keuangan per Juni 2022, Indonesia memiliki 91 BUMN, terdiri dari 79 persero dan 12 perum yang tersebar di 12 sektor industri, dengan total kekayaan negara mencapai Rp2.469 triliun.

Wacana pembentukan Super Holding BUMN terus mendapatkan sorotan dari pelaku pasar. Banyak yang meyakini bahwa langkah ini akan berdampak positif bagi emiten pelat merah, dengan sejumlah keuntungan potensial. Dampak yang diharapkan antara lain adalah peningkatan nilai perusahaan, likuiditas yang lebih baik, akses pendanaan yang lebih mudah, serta ekspansi bisnis yang lebih cepat.

Pekan ini penuh dengan berbagai peristiwa ekonomi penting yang bisa mengubah peta pasar global. Bank Indonesia (BI) akan segera mengumumkan suku bunga acuan terbarunya, sebuah keputusan yang sangat dinanti karena dapat memengaruhi sektor perbankan dan kredit. Tidak hanya itu, data penjualan ritel Amerika Serikat juga akan dirilis, memberi gambaran tentang kesehatan ekonomi konsumen AS. Di sisi lain, Cina diprediksi akan meluncurkan stimulus ekonomi baru untuk menstabilkan pertumbuhan di tengah tekanan ekonomi global, sementara Jepang akan merilis data inflasi yang memberikan gambaran tentang harga-harga di negara tersebut.