KABARBURSA.COM - Pemilihan presiden (pilpres) 2024 di Amerika Serikat (AS) berpotensi menciptakan sejarah baru, di mana seorang presiden yang kalah dalam pemilihan sebelumnya bisa terpilih kembali setelah 130 tahun. Situasi ini menawarkan dua narasi yang berlawanan: peluang bagi Donald Trump dan tantangan bagi Kamala Harris.
Dengan hanya satu hari tersisa, perlombaan menuju Gedung Putih terbilang sangat ketat, baik di tingkat nasional maupun di negara-negara bagian yang menjadi medan pertempuran utama. Jajak pendapat menunjukkan hasil yang sangat dekat, bahkan berada dalam batas kesalahan, sehingga baik Trump maupun Harris bisa saja unggul dua atau tiga poin.
Seperti dikutip dari BBC News, Ada alasan kuat mengapa masing-masing dari mereka mungkin memiliki keunggulan dalam menarik koalisi pemilih di tempat yang tepat dan memastikan mereka benar-benar datang untuk memberikan suara.
Meskipun tingkat pengangguran rendah dan pasar saham menunjukkan performa baik, banyak warga AS merasa kesulitan dengan harga-harga yang terus naik. Inflasi telah mencapai level tertinggi yang belum pernah terlihat sejak tahun 1970-an pascapandemi, memberi Trump kesempatan untuk menanyakan, “Apakah keadaan Anda sekarang lebih baik dibandingkan empat tahun lalu?”
Di seluruh dunia, pemilih telah beberapa kali menyingkirkan partai yang berkuasa, termasuk di AS, di mana para pemilih tampaknya haus akan perubahan. Hanya seperempat orang Amerika yang merasa puas dengan arah negara mereka, dan dua pertiga memandang prospek ekonomi dengan pesimisme.
Meskipun Trump memiliki banyak kelebihan, ia tetap sosok yang memecah belah. Pada tahun 2020, Trump mencetak rekor suara untuk kandidat Republik tetapi kalah oleh Biden. Harris memanfaatkan ketakutan akan kembalinya Trump, menyebutnya sebagai “fasis” dan ancaman bagi demokrasi, berusaha tampil sebagai kandidat yang membawa stabilitas.
Dengan Biden keluar dari persaingan, Partai Demokrat bersatu mendukung Harris. Ia dengan cepat menyampaikan pesan yang progresif dan berfokus pada masa depan. Meskipun serangan terhadapnya mengaitkannya dengan kebijakan Biden, Harris mampu membedakan dirinya dengan mengalihkan fokus kepada isu-isu yang lebih relevan.
Pemilihan 2024 menjadi yang pertama setelah Mahkamah Agung AS membatalkan Roe v. Wade, sehingga hak aborsi menjadi isu utama. Dukungan bagi Harris kuat di kalangan pemilih yang peduli akan perlindungan hak aborsi, dan banyak negara bagian akan mengadakan inisiatif pemungutan suara terkait isu ini.(*)