Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Muhammadiyah Konversi BPR ke BPRS, OJK: Bukan Bank Baru

OJK saat ini tengah menjalin koordinasi dengan pemilik serta jajaran direksi BPR terkait guna melengkapi persyaratan administratif.

Rubrik: Syariah | Diterbitkan: 05 May 2025 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Pramirvan Datu
Muhammadiyah Konversi BPR ke BPRS, OJK: Bukan Bank Baru Gedung OJK. foto: Abbas Sandji/KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi telah menerima pengajuan dari Muhammadiyah terkait perubahan bentuk usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik organisasi tersebut menjadi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Proses ini merupakan langkah konversi, bukan pembentukan entitas perbankan baru.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa pengajuan tersebut merupakan transformasi dari BPR konvensional menjadi BPR Syariah. "OJK telah menerima permohonan perubahan kegiatan usaha BPR milik Muhammadiyah menjadi BPR Syariah, bukan pendirian bank baru," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin 5 Mei 2025.

Lebih lanjut, OJK saat ini tengah menjalin koordinasi dengan pemilik serta jajaran direksi BPR terkait guna melengkapi persyaratan administratif yang dibutuhkan dalam proses konversi tersebut. "OJK telah berkoordinasi dengan Pemilik dan Direksi BPR dimaksud untuk melengkapi seluruh dokumen yang dibutuhkan," tambah Dian.

Tak hanya dari sisi administratif, OJK juga mengingatkan pentingnya kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk mendukung operasional BPR setelah bertransformasi menjadi BPRS. Kesiapan ini meliputi struktur manajemen dari jajaran direksi, komisaris, dewan pengawas syariah, hingga pegawai operasional.

Dengan pengajuan ini, Muhammadiyah menunjukkan komitmen memperkuat kontribusinya di sektor keuangan syariah. OJK pun berperan aktif dalam memastikan proses konversi berjalan sesuai ketentuan dan prinsip tata kelola perbankan yang baik.

Peningkatan Inklusi Keuangan Syariah

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmennya untuk memperluas akses keuangan syariah di masyarakat melalui berbagai program yang melibatkan pemangku kepentingan industri keuangan syariah. 

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengatakan peningkatan inklusi keuangan syariah yang saat ini masih rendah sangatlah penting. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, tingkat inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,88 persen, sementara tingkat literasi keuangan syariah berada di angka 39,11 persen.  

“Kami meminta semua pihak, terutama para Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan pemangku kepentingan lainnya, untuk melihat ini sebagai tantangan bersama. Jangan sampai tingkat literasi yang sudah baik tidak diimbangi dengan akses yang memadai, yang justru dapat menimbulkan sikap skeptis dan apatis di masyarakat,” ujar Mahendra dalam acara Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, di Kantor OJK, Selasa, 25 Maret 2025.

Selain rendahnya inklusi, Mahendra juga menyoroti sejumlah tantangan lain dalam pengembangan industri keuangan syariah, seperti keterbatasan inovasi dan diferensiasi produk serta minimnya sumber daya manusia yang kompeten di sektor ini.  

Sebagai upaya penguatan industri keuangan syariah, OJK telah menerbitkan sembilan Peraturan OJK (POJK) dalam dua tahun terakhir. 

Regulasi tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari kelembagaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR/BPRS), tata kelola perbankan syariah, pengembangan SDM, hingga layanan digital di sektor perbankan. 

Selain itu, OJK juga mengeluarkan tujuh Surat Edaran OJK (SEOJK) terkait manajemen risiko, perubahan kegiatan usaha, dan penyelenggaraan produk BPRS.  

Sejalan dengan upaya regulasi tersebut, industri jasa keuangan syariah terus menunjukkan pertumbuhan positif. Per Januari 2025, total aset industri keuangan syariah meningkat 10,35 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp2.860,1 triliun. Dari jumlah tersebut, aset perbankan syariah mencapai Rp948,2 triliun, pasar modal syariah Rp1.740,2 triliun, dan lembaga keuangan non-bank sebesar Rp171,7 triliun.

Di samping itu, ekonomi syariah dunia sendiri terus tumbuh dengan nilai aset mencapai USD4,5 triliun pada 2022 dan diperkirakan menembus USD7,53 triliun pada 2028. Indonesia, dengan segala potensinya, tampak masih perlu menempuh jalan panjang untuk benar-benar memetik buahnya.

Adapun Indonesia pun belum memaksimalkan potensi filantropi Islam seperti negara-negara lain. Malaysia, misalnya, menjadikan zakat sebagai kewajiban dan memberi insentif pajak bagi muzakki atau penerima zakat. Uni Emirat Arab bahkan menyalurkan zakat untuk sektor pendidikan dan kesehatan.

Masalahnya, literasi keuangan syariah di Indonesia masih rendah. Manajemen ziswaf pun dinilai masih konvensional dengan insentif fiskal yang minim dan pemanfaatan teknologi yang belum memadai. Kepala CSED INDEF, Prof. Nurul Hidayah, dalam diskusi yang digelar secara daring oleh Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF pada Jumat, 21 Maret 2025, menggarisbawahi pentingnya digitalisasi berbasis blockchain dan smart contract, integrasi filantropi dengan investasi, serta pemberian insentif pajak sebagai jalan keluar.

Literasi Keuangan Syariah: Tantangan dan Solusi

Tanpa pemahaman yang kuat, potensi ekonomi syariah hanya akan jadi wacana elitis di kalangan ahli, bukan gerakan nyata di tengah masyarakat.

Dalam Islam, literasi bukan sekadar soal baca-tulis, melainkan perintah langsung dari langit. “Iqra” menjadi penanda bagaimana pengetahuan adalah gerbang utama untuk membangun peradaban. Tapi di tengah gencarnya narasi ekonomi syariah, literasi keuangan umat—khususnya dalam konteks investasi dan pasar modal syariah---justru belum benar-benar menyentuh akar rumput.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seseorang disebut well literate secara keuangan apabila memiliki pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan perihal produk serta layanan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat, risiko, dan hak-kewajiban di dalamnya. Selama lima tahun terakhir, minat masyarakat terhadap pasar modal syariah juga menunjukkan tren yang menjanjikan. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dihimpun dari Anggota Bursa penyedia layanan Sharia Online Trading System (AB-SOTS), jumlah investor syariah melonjak lebih dari dua setengah kali lipat—dari 44.536 investor pada 2018 menjadi 151.560 per Juli 2024. Meskipun begitu, tingkat keaktifan investor tercatat masih berada di angka 14,1 persen.

Namun, ketika bicara soal literasi dan inklusi keuangan, jurang antara sistem konvensional dan syariah masih menganga. Hasil survei literasi dan inklusi keuangan 2024 yang mengukur kondisi sepanjang tahun 2023 memperlihatkan indeks literasi keuangan konvensional berada di angka 65,08 persen, jauh di atas literasi keuangan syariah yang baru mencapai 39,11 persen. Begitu pula pada aspek inklusi, di mana layanan keuangan konvensional mencatat indeks 73,55 persen, sedangkan sistem syariah tertinggal jauh di angka 12,88 persen.(*)