Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Negara Raup Rp12 Triliun dari Lelang SBSN

Dari sisi imbal hasil atau yield, seri SPNS13102025 menawarkan tingkat yield tetap.

Rubrik: Syariah | Diterbitkan: 16 April 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
Negara Raup Rp12 Triliun dari Lelang SBSN Gedung Djuanda I, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Foto: dok Kemenkeu

KABARBURSA.COM - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan berhasil menghimpun dana sebesar Rp12 triliun melalui lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang digelar pada Selasa, 15 April 2025.

"Total nominal yang dimenangkan dari tujuh seri yang ditawarkan tersebut adalah Rp12.000.000.000.000,00 (dua belas triliun rupiah)," tulisnya dalam keterangan resminya di Jakarta, dikutip Rabu, 16 April 2025.

Lelang ini menawarkan berbagai seri Surat Berharga Syariah Negara yang terdiri dari seri SPNS13102025 (reopening), SPNS12012026 (new issuance), PBS003 (reopening), PBS030 (reopening), PBSG001 (reopening), PBS034 (reopening), dan PBS038 (reopening) melalui sistem lelang Bank Indonesia. Total penawaran yang masuk mencapai Rp36.129.900.000.000,00 (tiga puluh enam triliun seratus dua puluh sembilan miliar sembilan ratus juta rupiah).

Berikut adalah rincian penawaran yang masuk:

  • Seri PBS003 mencatatkan penawaran tertinggi sebesar Rp11,303 triliun, diikuti PBS030 sebesar Rp8,3205 triliun, dan SPNS12012026 sebesar Rp5,839 triliun.
  • Penawaran terendah tercatat pada seri PBSG001 yang hanya mencapai Rp2,0244 triliun.

Dari sisi imbal hasil atau yield, seri SPNS13102025 menawarkan tingkat yield tetap, yaitu 6,48000 persen, baik untuk yang tertinggi maupun terendah. Hal ini menunjukkan tidak adanya variasi penawaran pada yield seri tersebut. Seri SPNS12012026 memiliki yield yang lebih dinamis, dengan kisaran yield tertinggi 6,58000 persen dan terendah 6,38000 persen.

Untuk seri PBS lainnya, pergerakan yield menunjukkan adanya persaingan antar penawaran. Seri PBS003 dan PBS030 memiliki yield tertinggi sebesar 6,95000 persen, namun yield terendahnya berbeda, yaitu 6,75000 persen untuk PBS003 dan 6,79000 persen untuk PBS030. Seri PBSG001 menunjukkan yield tertinggi 7,00000 persen dan terendah 6,70000 persen.

Seri dengan yield tertinggi secara keseluruhan adalah PBS038 dengan 7,30000 persen, sementara yield terendahnya berada di angka 7,15000 persen. Seri PBS034 mencatat yield tertinggi 7,20000 persen dan terendah 6,98000 persen.

Berikut adalah hasil lelang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara:

  1. SPNS13102025 dan SPNS12012026
    • Kedua seri ini adalah sukuk berbasis diskonto (tanpa kupon).
    • SPNS13102025 jatuh tempo pada 13 Oktober 2025, sedangkan SPNS12012026 jatuh tempo pada 12 Januari 2026.
    • Yield rata-rata yang dimenangkan untuk SPNS12012026 adalah 6,38 persen, dengan yield tertinggi juga 6,38 persen.
    • Jumlah nominal yang dimenangkan untuk SPNS12012026 sebesar Rp1,3 triliun, didominasi oleh penawaran non-kompetitif sebesar Rp1,287 triliun.
    • Bid-to-cover ratio (rasio permintaan terhadap penawaran yang dimenangkan) untuk SPNS12012026 cukup tinggi di angka 4,49, menunjukkan minat pasar yang kuat.
  2. PBS003
    • Memberikan imbal hasil tetap sebesar 6,00 persen, dibayarkan setiap 15 Januari dan 15 Juli.
    • Jatuh tempo pada 15 Januari 2027.
    • Yield rata-rata yang dimenangkan 6,77997 persen, dengan yield tertinggi 6,79 persen.
    • Total nominal yang dimenangkan sebesar Rp3,4 triliun, terdiri dari Rp2,645 triliun (kompetitif) dan Rp0,755 triliun (non-kompetitif).
    • Bid-to-cover ratio: 3,32.
  3. PBS030
    • Imbal hasil tetap 5,875 persen, dibayar setiap 15 Januari dan 15 Juli.
    • Jatuh tempo 15 Juli 2028.
    • Yield rata-rata 6,81998 persen, tertinggi 6,84 persen.
    • Total nominal: Rp4,5 triliun, dengan dominasi penawaran kompetitif (Rp3,928 triliun).
    • Bid-to-cover ratio: 1,85, menunjukkan permintaan relatif lebih rendah dibanding seri lainnya.
  4. PBSG001
    • Imbal hasil tetap 6,625 persen, dibayar 15 Maret dan 15 September.
    • Jatuh tempo 15 September 2029.
    • Yield rata-rata 6,80433 persen, tertinggi 6,83 persen.
    • Total nominal: Rp1 triliun, dengan Rp0,7 triliun (kompetitif) dan Rp0,3 triliun (non-kompetitif).
    • Bid-to-cover ratio: 2,02.
  5. PBS034
    • Imbal hasil tetap 6,5 persen, dibayar 15 Juni dan 15 Desember.
    • Jatuh tempo sangat panjang, hingga 15 Juni 2039.
    • Yield rata-rata 7,0296 persen, tertinggi 7,04 persen.
    • Jumlah yang dimenangkan: Rp0,3 triliun, dengan mayoritas dari penawaran kompetitif.
    • Bid-to-cover ratio tertinggi sebesar 7,22, menunjukkan daya tarik sangat tinggi dari investor jangka panjang.
  6. PBS038
    • Imbal hasil tetap 6,875 persen, dibayar setiap 15 Juni dan 15 Desember.
    • Jatuh tempo paling panjang, yakni 15 Desember 2049.
    • Yield rata-rata 7,17783 persen, tertinggi 7,2 persen.
    • Total nominal yang dimenangkan: Rp1,5 triliun, dengan dominasi penawaran kompetitif (Rp1,297 triliun).
    • Bid-to-cover ratio: 2,70, menunjukkan minat yang cukup stabil.

Pasar sekunder sejak 2023

Ekonom Yanuar Rizky menyoroti langkah Bank Indonesia (BI) dalam mengelola Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder sejak 2023. 

Menurutnya, BI secara agresif mengakumulasi SBN dan menahannya di neraca, sementara perbankan justru mengurangi kepemilikannya terhadap instrumen tersebut.

“Ini karena sejak 2023, BI akumulasi Surat Utang Negara (SUN) di pasar sekunder, dan hold. Trennya, di perbankan SUN turun, Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) naik dan asing di SRBI 20 persen kan sekarang,” jelas Yanuar dalam pernyataannya, Rabu, 2 April 2025.

Untuk diketahui, dalam kurun waktu 2023 hingga awal 2025, pasar keuangan Indonesia mengalami dinamika pergerakan modal asing yang cukup signifikan. 

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), kepemilikan investor asing di instrumen berdenominasi rupiah mengalami fluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor global maupun domestik.

Sepanjang tahun 2023, aliran modal asing menunjukkan tren masuk yang cukup stabil ke pasar SBN dan SRBI, meskipun investor cenderung melakukan aksi jual di pasar saham. 

Pada awal 2024, investor asing mencatatkan pembelian bersih di pasar SBN sebesar Rp19,01 triliun, sementara di SRBI sebesar Rp6,11 triliun. Namun, pasar saham justru mengalami tekanan dengan aksi jual bersih mencapai Rp20,12 triliun.

Sepanjang triwulan pertama 2024, investor asing menunjukkan minat yang bervariasi terhadap berbagai instrumen keuangan Indonesia.

Pada pekan pertama Januari, terjadi aliran modal masuk sebesar Rp8,05 triliun ke SRBI, sementara investasi di pasar saham mengalami aksi jual bersih Rp1,68 triliun.

Tren serupa terjadi di pekan kedua, di mana investor asing kembali membeli SRBI senilai Rp9,95 triliun, sementara menjual saham senilai Rp2,42 triliun.

Namun, mulai Februari 2024, investor asing mulai kembali memasuki pasar saham, dengan transaksi bersih yang berangsur positif. Pada akhir Februari, kepemilikan asing di pasar SBN mengalami peningkatan, dari 14,37 persen pada 27 Februari 2025 menjadi 14,41 persen pada 6 Maret 2025.

Sebagi informasi, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa dalam periode 3–6 Maret 2025, arus modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik mencapai Rp8,99 triliun. Jumlah ini terdiri dari pembelian bersih sebesar Rp0,34 triliun di pasar saham, aliran masuk sebesar Rp9,53 triliun ke Surat Berharga Negara (SBN), serta aksi jual bersih Rp0,88 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Kinerja aliran modal asing dalam pekan tersebut menjadi yang tertinggi sejak akhir Januari 2025, menandai capaian terbaik dalam lima minggu terakhir.

Secara keseluruhan, sepanjang 2025 hingga 6 Maret, investor asing tercatat menarik dana dari pasar saham dengan aksi jual bersih Rp20,12 triliun. 

Sementara itu, instrumen obligasi negara masih menarik minat asing dengan pembelian bersih sebesar Rp19,01 triliun di SBN dan tambahan investasi Rp6,11 triliun di SRBI.

(*)