Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonomi Syariah Ramadan Masih Setengah Jalan

Zakat dan wakaf makin tumbuh, tapi belum berdampak optimal. Literasi keuangan syariah rendah, pasar modal syariah belum jadi pilihan umat.

Rubrik: Syariah | Diterbitkan: 24 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Ekonomi Syariah Ramadan Masih Setengah Jalan Ilustrasi Ekonomi syariah: Pengunjung di pasar harmoni Masjid Istiqlal. Foto: Instagram @pasarharmoniistiqlal.

KABARBURSA.COM - Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tapi seharusnya juga menjadi momentum emas bagi ekonomi syariah. Sayangnya, peluang itu belum benar-benar tertangkap. Dalam diskusi yang digelar secara daring oleh Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF pada Jumat, 21 Maret 2025, beragam paradoks dalam ekosistem filantropi Islam dibongkar satu per satu. Kepala CSED INDEF, Prof. Nurul Hidayah, mengatakan zakat dan wakaf memang terus tumbuh, tetapi pemanfaatannya belum optimal.

"Zakat fitrah memiliki peran menekan inflasi secara makro, sementara zakat maal berdampak produktif dalam jangka panjang," ujarnya, dikutip dari keterangan tertulis CSED yang diterima KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.

Indonesia pun belum memaksimalkan potensi filantropi Islam seperti negara-negara lain. Malaysia, misalnya, menjadikan zakat sebagai kewajiban dan memberi insentif pajak bagi muzakki atau penerima zakat. Uni Emirat Arab bahkan menyalurkan zakat untuk sektor pendidikan dan kesehatan.

Masalahnya, literasi keuangan syariah di Indonesia masih rendah. Manajemen ziswaf pun dinilai masih konvensional dengan insentif fiskal yang minim dan pemanfaatan teknologi yang belum memadai. Prof. Nurul menggarisbawahi pentingnya digitalisasi berbasis blockchain dan smart contract, integrasi filantropi dengan investasi, serta pemberian insentif pajak sebagai jalan keluar.

CSED INDEF pun mendorong optimalisasi zakat melalui digitalisasi, penerapan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ), dan penguatan audit serta sinergi zakat dengan program sosial. Edukasi publik dan integrasi zakat dalam kurikulum juga dianggap penting.

Dari sisi makro, Peneliti Senior CSED, Abdul Hakam Naja, mengajak publik melihat lonjakan harga emas sebagai cerminan kondisi global. "Harga emas dalam 54 tahun terakhir naik hampir 100 kali lipat dengan kenaikan 39,40 persen antara Maret 2024 hingga Maret 2025," jelasnya.

Indonesia saat ini duduk di posisi keempat dunia dalam cadangan emas atau mencapai 3.600 metrik ton. Namun, nilai strategis emas tak hanya soal cadangan, melainkan juga potensi penguatan sistem keuangan. Bank emas, menurutnya, bisa menjadi instrumen penggerak UMKM dan penyerap likuiditas nasional.

Hakam menyarankan agar emas digital tetap memiliki bentuk fisik. Di samping itu, bank emas bisa diarahkan membiayai UMKM setidaknya 50 persen dari portofolionya. Ia juga mengusulkan agar batas minimal pembiayaan dan perdagangan emas diturunkan agar lebih inklusif. Untuk mendukung kepercayaan, bank emas idealnya dijamin oleh LPS.

"Biaya penyelenggaraan ibadah haji sebaiknya berbasis standar emas untuk menjaga kestabilan nilai dan daya beli masyarakat dalam jangka panjang," ujarnya.

Di sisi lain, peneliti CSED Handi Risza membidik Danantara sebagai instrumen baru yang bisa membuka jalan bagi pembiayaan syariah strategis. Lembaga investasi ini akan mengelola aset negara yang diproyeksikan mencapai Rp8.938 triliun atau sekitar 604 miliar dolar AS. “Danantara akan mendukung 15-20 proyek strategis guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.

Dengan total Asset Under Management (AUM) yang bisa mencapai USD900 miliar, Danantara diprediksi menjadi salah satu sovereign wealth fund terbesar di dunia. Potensi ini, menurut Handi, bisa dikaitkan dengan sektor-sektor ekonomi syariah global seperti makanan halal, modest fashion, dan media Islami. Ia menekankan perlunya penerbitan sukuk oleh Danantara untuk menarik minat investor muslim dari kawasan Timur Tengah.

Ekonomi syariah dunia sendiri terus tumbuh dengan nilai aset mencapai USD4,5 triliun pada 2022 dan diperkirakan menembus USD7,53 triliun pada 2028. Indonesia, dengan segala potensinya, tampak masih perlu menempuh jalan panjang untuk benar-benar memetik buahnya.

Literasi Keuangan Syariah Masih Timpang, Pasar Modal Belum Jadi Pilihan Umat

Di tengah harapan besar terhadap peran zakat, wakaf, dan lembaga investasi syariah seperti Danantara, ada satu fondasi yang tak kalah penting namun kerap luput dibahas: literasi. Tanpa pemahaman yang kuat, potensi ekonomi syariah hanya akan jadi wacana elitis di kalangan ahli, bukan gerakan nyata di tengah masyarakat.

Dalam Islam, literasi bukan sekadar soal baca-tulis, melainkan perintah langsung dari langit. “Iqra” menjadi penanda bagaimana pengetahuan adalah gerbang utama untuk membangun peradaban. Tapi di tengah gencarnya narasi ekonomi syariah, literasi keuangan umat—khususnya dalam konteks investasi dan pasar modal syariah---justru belum benar-benar menyentuh akar rumput.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seseorang disebut well literate secara keuangan apabila memiliki pengetahuan, keyakinan, dan keterampilan perihal produk serta layanan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat, risiko, dan hak-kewajiban di dalamnya. 

Jumlah investor syariah yang meningkat tajam dari 44.536 pada tahun 2018 menjadi 151.560 pada tahun 2024. Di camping itu, indeks literasi dan inklusi keuangan menunjukkan gap besar antara sistem keuangan konvensional dan syariah—baik dari segi pemahaman (literasi) maupun akses penggunaan (inklusi). Sumber: Data OJK dan BEI.

Selama lima tahun terakhir, minat masyarakat terhadap pasar modal syariah juga menunjukkan tren yang menjanjikan. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dihimpun dari Anggota Bursa penyedia layanan Sharia Online Trading System (AB-SOTS), jumlah investor syariah melonjak lebih dari dua setengah kali lipat—dari 44.536 investor pada 2018 menjadi 151.560 per Juli 2024. Meskipun begitu, tingkat keaktifan investor tercatat masih berada di angka 14,1 persen.

Namun, ketika bicara soal literasi dan inklusi keuangan, jurang antara sistem konvensional dan syariah masih menganga. Hasil survei literasi dan inklusi keuangan 2024 yang mengukur kondisi sepanjang tahun 2023 memperlihatkan indeks literasi keuangan konvensional berada di angka 65,08 persen, jauh di atas literasi keuangan syariah yang baru mencapai 39,11 persen. Begitu pula pada aspek inklusi, di mana layanan keuangan konvensional mencatat indeks 73,55 persen, sedangkan sistem syariah tertinggal jauh di angka 12,88 persen.

Direktur Infrastruktur Ekonomi Syariah pada Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Sutan Emir Hidayat, mengatakan salah satu kendala terbesar meningkatkan inklusi keuangan syariah adalah keterbatasan akses, khususnya di wilayah pedesaan serta kawasan tengah dan timur Indonesia. Wilayah-wilayah ini masih menjadi blank spot dalam layanan keuangan syariah yang justru sangat dibutuhkan untuk aktivitas ibadah dan filantropi seperti haji, zakat, hingga wakaf.

Ia juga menyoroti minimnya dukungan dari tokoh agama dan pemimpin komunitas yang bisa menjadi agen penggerak ekonomi syariah di tingkat lokal. Selain itu, literasi yang lemah menjadi akar persoalan yang turut memengaruhi rendahnya inklusi. "Hambatan literasi masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan inklusi keuangan syariah," kata Sutan, dikutip dari laman feb.ugm.ac.id.

Untuk menjawab tantangan tersebut, KNEKS kini menargetkan empat kelompok prioritas dalam strategi literasi dan inklusi. Mereka adalah masyarakat usia 15–17 tahun dan 51–79 tahun, warga pedesaan, pelajar dan sektor informal seperti petani dan nelayan, serta lulusan sekolah dasar atau di bawahnya. "Kelompok ini merupakan segmen populasi dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional," katanya mengacu pada hasil SNLIK 2024.

Namun pada akhirnya, ekonomi syariah tidak bisa hanya tumbuh lewat angka atau wacana besar. Dan selama literasi masih jadi kemewahan, pasar modal syariah akan terus jadi potensi yang terkatung-katung, belum sepenuhnya pulang ke pangkuan umat yang seharusnya paling berhak merasakan manfaatnyang-katung, belum sepenuhnya pulang ke pangkuan umat yang seharusnya paling berhak merasakan manfaatnya.(*)