KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan besar dalam beberapa minggu terakhir. Koreksi lebih dari 5 persen dalam sehari, pada Selasa, 18 Maret 2025, sempat memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt).
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor mengenai arah pasar ke depan. Namun, di tengah volatilitas ini, saham-saham berbasis syariah muncul sebagai alternatif yang menarik.
Menurut Asep Muhammad Saepul Islam, praktisi pasar modal syariah dan pendiri Syariah Saham Indonesia, ada beberapa faktor utama yang mendorong penurunan IHSG.
Dari sisi global, ketidakstabilan geopolitik dan kekhawatiran resesi di Amerika Serikat membuat investor lebih berhati-hati terhadap aset berisiko. "Investor cenderung mengalihkan dananya ke aset yang lebih aman seperti emas dan obligasi," ujar Mang Amsi, sapaan akrabnya, dalam wawancara eksklusif dengan Kabarbursa.com, Rabu, 19 Maret 2025.
Dari dalam negeri, defisit fiskal yang melebar serta pelemahan rupiah menambah tekanan di pasar saham. "Kombinasi faktor eksternal dan internal membuat pelaku pasar bersikap wait and see," tambahnya.
Sementara itu, fluktuasi pasar bukanlah hal baru. Sejarah mencatat IHSG pernah mengalami koreksi tajam, seperti pada 2008 akibat krisis keuangan global dan 2020 saat pandemi COVID-19 melanda. Namun, pasar juga menunjukkan kemampuan untuk bangkit kembali.
Tahun 2008, IHSG mengalami kejatuhan akibat krisis keuangan global yang dipicu oleh runtuhnya institusi keuangan besar di AS. Saat itu, IHSG turun lebih dari 10 persen dalam sehari dan membutuhkan waktu cukup lama untuk pulih.
Tahun 2020, pandemi COVID-19 menyebabkan kepanikan di pasar saham, dengan IHSG turun drastis hingga mengalami kinerja mingguan terburuk sejak 2008. Pemulihan terjadi seiring dengan langkah-langkah stimulus dan kebijakan moneter yang agresif.
"Jika kebijakan moneter dan fiskal yang diambil pemerintah efektif, peluang pemulihan tetap terbuka," kata pendiri Syariah Saham Indonesia itu.
Menurut analisis pasar terbaru, volatilitas masih berpotensi tinggi dalam beberapa bulan ke depan, terutama jika tekanan eksternal dan ketidakpastian ekonomi domestik belum mereda.
Namun, dengan kebijakan yang tepat dan perbaikan fundamental ekonomi, peluang untuk rebound tetap terbuka. Investor disarankan untuk lebih berhati-hati dan melakukan diversifikasi portofolio guna mengurangi risiko dari ketidakpastian pasar.
Menurutnya, dalam kondisi seperti ini, investor perlu mempertimbangkan diversifikasi investasi ke instrumen yang lebih stabil, salah satunya saham syariah.
Saham Syariah sebagai Alternatif Stabil
Di tengah volatilitas pasar, saham syariah menawarkan pilihan yang lebih stabil karena berbasis pada aset riil dan bebas dari unsur spekulatif berlebihan. "Prinsip syariah melarang transaksi yang bersifat gharar (spekulasi tinggi), sehingga saham syariah cenderung lebih tahan terhadap guncangan pasar," jelas penulis buku Saham Syariah Kelas Pemula.
Untuk diketahui, saat ini, terdapat beberapa indeks saham syariah di Bursa Efek Indonesia (BEI), antara lain Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), mencakup seluruh saham syariah di BEI, Jakarta Islamic Index (JII), terdiri dari 30 saham syariah dengan likuiditas tinggi, dan IDX Sharia Growth (IDXSHAGROW): berfokus pada saham syariah dengan pertumbuhan tinggi.
Selain itu, emiten-emiten syariah seperti PT Telkom Indonesia (TLKM), PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP), dan PT Unilever Indonesia (UNVR) sering menjadi pilihan investor yang ingin menghindari volatilitas ekstrem.
Dalam kondisi pasar yang bergejolak, saham syariah menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. Dengan prinsip yang lebih stabil dan fundamental yang kuat, saham-saham syariah dapat memberikan perlindungan terhadap volatilitas tinggi. "Dalam jangka panjang, saham syariah memiliki potensi tumbuh lebih besar seiring meningkatnya kesadaran investor terhadap investasi yang lebih berkelanjutan," pungkas Mang Amsi.
Sebagaimana data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah investor saham syariah di Indonesia terus meningkat. Data menunjukkan bahwa sejak 2018, jumlah investor saham syariah melonjak dari 44.536 menjadi 151.560 pada Juli 2024. "Ini pertumbuhan yang luar biasa, tetapi masih jauh dibandingkan potensi jumlah investor di Indonesia," kata Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik.
Dari sisi transaksi, saham syariah menyumbang 76 persen dari total volume perdagangan harian BEI per 9 September 2024. Kapitalisasi pasar saham syariah juga mencapai 54 persen dari total kapitalisasi pasar saham di Indonesia.
Bagaimana Cara Memilih Saham Syariah?
Mang Amsi menilai, pertumbuhan pasar modal syariah masih cukup baik. Menurutnya, masa depan pasar modal syariah ada di Indonesia karena banyak memiliki investor dan produk yang belum masif di pasaran.
“Pertumbuhan saham di sektor syariah paling masih luas itu ada di negara kita. Pertama dari sisi investornya, kedua dari produknya belum banyak. Kemudian juga dari sisi literasinya masih rendah. Artinya potensi pertumbuhannya masih sangat besar," terangnya di sela acara Nyantri Saham Bareng Kabar Bursa di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu, 15 Maret 2025.
"Selain itu pada 2019 di Islamic Finance Country Index kita ini peringkat pertama di dunia. Kenapa? Karena ada satu indikator yang tidak bisa dikejar negara lain sekelas Malaysia, Bahrain, Arab Saudi, atau Iran. Ini karena jumlah penduduk Indonesia jauh lebih banyak,” paparnya lagi.
Sementara kata Mang Amsi, masyarakat di negara lain tersebut memiliki tingkat melek saham syariah sudah lebih tinggi dibanding kita. “Sehingga apabila di Indonesia itu 10 persennya saja melek, itu sudah setara dengan jumlah di satu negara lain jumlah penduduknya,” katanya.
Pria yang juga kini menjadi seorang guru di MAN 3 Cianjur itu menilai aspek-aspek tersebut layak atau cocok untuk investor dari kalangan muda yang mencoba bermain saham dan investasi.
"Untuk generasi muda dan sekarang secara demografis, investor kita memang dari kalangan gen Z dan generasi alpha. Artinya pertumbuhannya masih sangat besar, dan juga untuk memilih saham kan butuh waktu. Tapi ada satu variabel dalam investasi yang tidak bisa diulang oleh orang lain, itulah waktu," ungkap pria ramah penulis buku.
Namun, perihal masalah waktu tersebut, sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin oleh investor muda untuk memulai investasi saham syariah dalam jangka panjang. "Karena ada waktu, ada instrumen, dan ada tujuan. Nah tujuan dan instrumen bisa berubah-ubah. Tapi waktu itu enggak bisa semua orang kembali lagi ke masa muda. Karena ketikaorang muda, berinvestasi, peluang hasilnya lebih besar ketimbang nanti yang belakangan," terangnya.
Lebih jauh lagi, Mang Amsi memiliki teori untuk menjawab alasan memilih saham berbasis syariah. Penjelasannya ia urutkan berdasarkan abjad. "Saya pake abjad ABCDEFGH yang artinya Amanah, Berkah, Cuan, Dividen, Efisien, Filantrofis, Growth dan Halal. Kalau dijelaskan, kenapa amanah? karena dalam syariah itu kita investasi sesuai dengan yang diperbolehkan menurut ajaran agama Islam," kata Amsi.
Kemudian untuk Berkah, ia menilai bahwa investor dalam berinvestasi jangan melulu mengutamakan keuntungan semata. "Barokah ini adalah hasilnya bukan hanya cuan, tapi juga keberkahan dalam hidup karena bertambahnya nilai kebaikan dengan mendukung bisnis syariah," tuturnya.
"Kemudian cuan itu artinya capital gain. Capital gain yang bisa didapat ya seperti biasa ya. Lalu untuk Dividen kita tau juga, kalau bisnis saham ada pembagian dividen yang ditunggu para investor," tambahnya.
Sementara untuk hal efisien, saham syariah saat ini memiliki sistem yang memudahkan investor. "Kenapa efisien? Karena di saham syariah itu sudah ada SOTS yaitu Sistem Online Trading Syariah. Jadi bagaimana kita tidak usah dipusingkan memilih saham yang mana, karena sudah ada sistem online trading syariahnya," papar pria asal Cianjur tersebut.
Selanjutnya, untuk segi filantrofis, investor disebut dapat sekaligus beramal kepada orang yang membutuhkan. "Kalau kita jadi investor saham syariah, ada peluang kita menjadi seorang mezaki atau orang yang memberi zakat, memberi infak dan sedekah. Karena sudah ada zakat saham, sedekah saham, dan wakaf saham," pungkasnya. (*)