KABARBURSA.COM - Uni Eropa dan China tengah membuka jalur negosiasi baru yang bisa menjadi titik balik perdagangan kendaraan listrik di pasar global. Negosiasi pemerintah China dan Uni Eropa ini ditempuh untuk menghadapi dampak kebijakan tarif impor baru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Langkah tersebut dinilai dapat memperkuat posisi produsen kendaraan listrik China di pasar Eropa sekaligus memperkecil akses impor produk Electric Vehicle (EV) buatan Eropa ke Amerika Serikat (AS).
Media asal Jerman, Handelsblatt melaporkan, pihak Eropa dan China tengah membahas penetapan harga dasar (floor price) untuk ekspor kendaraan listrik China ke Eropa. Langkah ini menjadi alternatif dari skema tarif tinggi AS yang saat ini diberlakukan Uni Eropa.
Juru Bicara Uni Eropa mengonfirmasi bahwa belum lama ini Komisaris Perdagangan Maros Sefcovic, dan Menteri Perdagangan China Wang Wentao telah mengadakan pertemuan. Keduanya sepakat pembukaan pembicaraan resmi untuk mengevaluasi kemungkinan penerapan sistem harga dasar bagi mobil listrik China yang memasuki pasar Eropa.
Dari pihak China, Wang Wentau menyatakan bahwa negosiasi akan segera dimulai sebagai bentuk keseriusan Tiongkok dalam mencari titik temu perdagangan dengan Brussels, Belgia.
Sementara itu, Komisaris Sefcovic menyatakan bahwa skema harga dasar mobil listrik tersebut harus menawarkan efektivitas dan akuntabilitas yang setara dengan tarif saat ini, yang sejak Oktober 2023 dikenakan hingga 45,3 persen terhadap kendaraan listrik buatan China.
Tarif tinggi ini sebelumnya memicu respons balasan dari Beijing, China salah satunya berupa penyelidikan terhadap ekspor cognac atau minuman beralkohol dari Prancis dari merek-merek seperti Hennessy dan Rémy Martin.
Lebih lanjut, digelarnya negosiasi China dan Uni Eropa ini tidak terlepas dari kebijakan tarif impor baru yang diumumkan Donald Trump, yang berencana menerapkan pajak tambahan pada barang-barang asal China sambil menangguhkan tarif terhadap negara lain selama 90 hari atau selama tiga bulan.
Langkah proteksi Trump, kini telah menciptakan efek domino. Dengan pasar AS yang kian tertutup bagi produsen China, seperti BYD, SAIC, hingva Geely, fokus ekspor mereka kini bergeser ke Eropa, di mana peluang pasar masih terbuka meskipun diikuti dengan perang dagang.
“Ini adalah contoh klasik dari trade diversion. Ini karena pasar AS secara efektif tertutup bagi kendaraan China melalui tarif yang bersifat menghukum, para produsen menggandakan usahanya di pasar lain yang hambatannya masih dapat diatasi," ujar seorang Analis Perdagangan Internasional yang identitasnya tidak ingin disebutkan.
Penetapan Harga Dasar Mobil Listrik bisa jadi Solusi?
Penetapan harga dasar mobil listrik kini dapat memberikan kepastian hukum dan bisnis bagi produsen China, sekaligus membuka jalan bagi Eropa untuk mengelola arus masuk kendaraan listrik tanpa harus menutup pintu perdagangan sepenuhnya.
Langkah ini juga menunjukkan bahwa Eropa menyadari pentingnya menjaga kestabilan hubungan dagang jangka panjang dengan China, di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan perubahan arah kebijakan AS.
Sementara untuk para pelaku di industri otomotif, penetapan harga dasar mobil listrik ini mengindikasikan kondisi persaingan global yang terus berubah, di mana kebijakan tarif satu negara dapat secara tidak langsung untuk mengalihkan arus perdagangan internasional.
Donald Trump Ingin Negosiasi dengan China
Setelah Amerika Serikat dan China bersitegang dalam penetapan tarif ekspor, Donald Trump justru terlihat mulai melunak. Ia menyatakan optimistis bisa mencapai kesepakatan perdagangan dengan China.
Meskipun perang dagang antara kedua negara terus memanas dan berdampak pada pasar global, Trump tetap terbuka untuk negosiasi. Gedung Putih memperingatkan bahwa jika China terus membalas, hal tersebut tidak akan menguntungkan.
Mengutip Reuters, Trump menyatakan optimisme terkait pencapaian kesepakatan perdagangan dengan China, demikian disampaikan oleh juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, pada Jumat, 11 April 2025.
“Presiden sangat jelas menyatakan bahwa dia terbuka untuk sebuah kesepakatan dengan China,” tulis Reuters.
Leavitt melanjutkan, jika China terus membalas, itu bukanlah langkah yang menguntungkan bagi AS. Optimisme Trump tersebut, datang saat ketegangan perdagangan antara kedua negara terus meningkat, dengan tarif yang diberlakukan kedua pihak yang memengaruhi pasar dan ekonomi global. Pemerintah AS mengharapkan China untuk lebih kooperatif dalam negosiasi guna mencapai solusi yang menguntungkan kedua pihak.
Sementara itu, Ekonom Yanuar Rizky menyoroti sejumlah isu penting terkait dengan dominasi hedge fund, deindustrialisasi, dan peran China dalam perekonomian dunia.
Menurutnya, AS telah mengalami pergeseran signifikan sejak penerapan teori Milton Friedman pada tahun 1971 yang mengoreksi pendekatan Keynesian yang berlaku pada era New Deal Roosevelt.
“Kesejahteraan di AS kini lebih bergantung pada pasar keuangan dan hedge fund, yang menjadi mesin utama perekonomian sejak tahun 1970-an,” ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu, 13 April 2025.
Ia juga menyebutkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di AS, adalah akibat dari racun monetaris yang sering dikritik oleh ekonom Keynesian, termasuk Bernie Sanders yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Demokrat.
Kemudian, model perekonomian AS juga telah beralih dari basis industri menjadi fokus pada sektor finansial, yang pada gilirannya mempengaruhi ekonomi global.
Mengambil perspektif tentang China, ia menyatakan bahwa meskipun negara tersebut memiliki ambisi besar untuk menjadi penguasa mata uang global, mereka menghadapi tantangan besar dalam melawan hegemon AS yang didukung oleh hedge fund.
“China harus menghadapi kenyataan bahwa untuk menjadi penguasa mata uang, mereka harus berhadapan dengan kekuatan hedge fund AS yang sangat dominan dalam ekonomi global,” jelas Yanuar.
Ia lalu menjelaskan konflik antara kedua negara besar ini tidak bisa diselesaikan dengan cara saling menjatuhkan, namun dengan memahami keterkaitan antara kekuatan finansial dan produksi barang.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi Indonesia yang telah mengulang sejarah serupa dengan AS, yakni deindustrialisasi yang dipengaruhi oleh penguasaan jabatan-jabatan strategis oleh kelompok monetaris.
“Indonesia kini mengikuti pola yang sama seperti AS, di mana monetarisasi mengarah pada pengurangan kapasitas industri dalam negeri,” ucap Yanuar.
Ia menekankan, Indonesia kini berada dalam posisi yang sangat mengkhawatirkan, di mana kepentingan ekonomi global, terutama terkait dengan sumber daya alam, semakin mendominasi. China kini semakin kuat dalam memanfaatkan sumber daya alam Indonesia melalui hilirisasi, sementara kelompok-kelompok yang fokus pada portofolio semakin mendapatkan konsesi negara untuk memfasilitasi kepentingan asing.
Dengan keadaan yang semakin kompleks, Yanuar menegaskan bahwa Indonesia kini diuji untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa tergantung pada kekuatan luar yang memiliki kepentingan tersendiri.
Maka dari itu, Indonesia harus mampu berdiri tegak dan menyelesaikan tantangannya sendiri. Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam skema yang telah ditentukan oleh kekuatan ekonomi global.(*)