KABARBURSA.COM - Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai kiprah Ioniq 5 sebagai mobil listrik andalan PT Hyundai Motors Indonesia (HMID), lambat laun semakin lemah.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan Hyundai Ioniq 5 secara wholesales (dari pabrik ke dealer) per Januari 2025 hanya mencapai 61 unit. Sementara selama Februari 2025, Hyundai Ioniq 5 tercatat laku sebanyak 104 unit. Padahal pada Februari 2023, Ioniq 5 mampu terjual 213 unit.
Sementara jika dilihat dari tahun ke tahun, penjualan Ioniq 5 juga menurun tajam. Sepanjang tahun 2024, Crossover listrik ini mampu terjual sebenyak 1.561 unit, sekaligus menduduki urutan 9 dalam daftar mobil listr8k terlaris di Indonesia.
Capaian tersebut sangat kontras jika melihat angka penjualannya di tahun 2023 yang sebanyak 7.176 unit. Pada tahun tersebut, Hyundai Ioniq 5 berhasil menjadi mobil listrik paling laku di Indonesia.
Menurut Yannes, ada sejumlah penyebab mobil listrik pertama Hyundai yang dirakit di Indonesia ini mengalami penurunan penjualan, terutama dari segi harga maupun teknologi.
"Hyundai Ioniq 5 semakin sulit berkompetisi dengan Battery Electric Vehicle (BEV) asal China pada kelas harga yang sama, bahkan untuk beberapa seri brand China dengan harga dan model yang setara atau bahkan lebih murah," bukanya saat dihubungi Kabarbursa.com, Minggu, 13 April 2025.
"Lalu, tampaknya, ada ketertinggalan dalam tiga aspek krusial: teknologi baterai, fitur kendaraan, dan strategi bisnis. Baterai NMC (Nickel Manganese Cobalt) yang digunakan Hyundai memang memiliki kepadatan energi tinggi, namun tetap kalah saing dibandingkan baterai LFP (Lithium Ferro-Phosphate) seperti Blade Battery dari BYD yang lebih aman, tahan lama, dan ramah lingkungan," lanjut Yannes.
Sebagai salah satu komponen inti mobil listrik, baterai jelas menjadi perhatian konsumen. Sementara terkait fiturnya, Yannes bilang, Hyundai Ioniq 5 juga kalah saing dengan mobil listrik China di kelasnya.
"Ketika isu keamanan baterai semakin mendapat perhatian konsumen. Setelah berbagai kasus overheating terutama kekhawatiran thermal runout, teknologi LFP jelas menjadi keunggulan kompetitor yang tak bisa diabaikan. Selain itu, dari sisi fitur, Ioniq 5 belum mampu menyamai kecanggihan antarmuka pengguna, sistem bantuan pengemudi, dan kecerdasan buatan yang ditawarkan oleh BEV asal China pada kelas harga yang sama, bahkan lebih murah," katanya.
Pengamat menilai, mobil listrik China yang hadir di Indonesia disebut lebih unggul dalam hal Integrasi teknologi cell-to-body, desain produk yang lebih variatif untuk berbagai segmen pengguna dan berbgai aspek fitur keamanan aktif hingga pasif.
"Ini membuat beberapa kendaraan China lebih menarik, terutama bagi konsumen muda yang mengutamakan efisiensi dan kenyamanan " ucap Yannes.
Di sisi lain, strategi bisnis Hyundai juga dianggap konservatif. "Dengan harga premium yang tidak sebanding dengan layanan purna jual. Ia juga kalah responsif dan memiliki jangkauan garansi yang terbatas," sebut Yannes.
Bisnis Mobil Listrik Hyundai Terancam
Lebih lanjut Yannes memandang, Hyundai menghadapi tantangan serius dalam bisnis EV di Indonesia akibat absennya produk di segmen harga terjangkau pada rentang harga Rp200-400 juta. Padahal angka tersebut, merupakan pusat pertumbuhan pasar kendaraan dalam negeri.
"Saat merek-merek China seperti BYD mendominasi dengan model seperti Dolphin yang laku keras, Hyundai masih terpaku pada lini premium seperti Ioniq 5 dan Kona Electric yang harganya jauh dari jangkauan mayoritas konsumen Indonesia tersebut. Belum lagi adanya merek-mereka lainnya seperti Chery dan Wuling dengan berbagai produknya yang tidak kalah hebat," sebutnya.
Sedangkan mobil listrik lainnya dari merek berlogo H miring ini, seperti Kona Electric dijual Rp516 juta hingga Rp629,4 juta OTR Jakarta. Lalu Ioniq 6 dengan harga yang mencapai Rp1,237 miliar.
Kondisi ini jelas berbahaya, apalagi Hyundai telah mendirikan pabrik di Cikarang, Jawa Barat dengan nilai investasi USD1,55 miliar. Selain itu Hyundai dan LG juga telah memiliki pabrik sel baterai dengan investasi sebesar USD3,2 miliar. Adanya fasilitas tersebut seharusnya dimanfaatkan Hyundai untuk merancang produk yang sesuai kondisi pasar otomotif di Tanah Air.
"Hyundai sudah memiliki keunggulan struktural melalui pabrik baterai LG Chem di Karawang yang seharusnya memungkinkan efisiensi biaya besar berkat lokalisasi dan insentif TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Akan tetapi, tanpa strategi produk murah yang konkret, tanpa jaminan kesiapan 3S (Sales, Service, Spare Parts) yang kuat dan cepat, hingga program buy back guarantee dan sebagainya. keunggulan ini berpotensi untuk tersia-siakan," terang Yannes.
Situasi ini semakin tidak menguntungkan raksasa otomotif asal Korea Selatan tersebut. "Apalagi akan ada deregulasi TKDN yang mempermudah importasi BEV ke Indonesia," imbuh Yannes.
Sementara itu, ia melihat BEV China datang dengan teknologi baterai LFP yang lebih aman dan tahan lama, desain yang semakin berkembang karena melibatkan desainer kelas dunia dari barat, sistem teknologi keselamata. aktif ADAS (Advanced Driver Assistance System) yang semakin canggih, strategi layanan agresif seperti garansi baterai yang semakin panjang, jaminan harga jual kembali serta garansi produk yang panjang.
"Di sisi lain, Hyundai belum melakukan menawarkan nilai serupa. Harga mobil bekasnya dapat kita lihat mengalami anjlok cukup tajam, memperburuk persepsi pasar soal stabilitas nilai dan kepercayaan terhadap merek ini," papar Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Maka dari itu, Hyundai harus segera tidak menghadirkan mobil listrik di bawah Rp400 juta dan memaksimalkan model hingga varian yang sesuai segmentasi pasar Indonesia yang lebih menyukai mobil jenis MPV dan SUV.
"Kalau tidak ia akan terus kehilangan pangsa pasar ke kompetitor yang lebih adaptif. Strategi premium-only Hyundai mungkin ampuh untuk menjaga citra, tapi tidak relevan untuk peningkatan penjualan di pasar Indonesia yang didominasi segmen kelas menengah," pungkas Yannes. (*)