Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Mobil China Berjaya di Eropa di Tengah Tekanan Tarif

Rubrik: Otomotif | Diterbitkan: 09 April 2025 | Penulis: Harun Rasyid | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
Mobil China Berjaya di Eropa di Tengah Tekanan Tarif Ilustrasi kenaikan penjualan mobil China di Eropa. (Foto: doc Kabar Bursa)

KABARBURSA.COM - Produsen otomotif roda empat atau mobil China masih dapat menunjukkan daya saing tinggi di tengah ketatnya kebijakan perdagangan Uni Eropa. 

Berdasarkan data terbaru dari firma riset pasar Dataforce, penjualan mobil China di pasar Eropa tumbuh siginifikan sebesar 64 persen secara tahunan menjadi 38.902 unit pada Februari 2025.

Kenaikan ini turut mengerek pangsa pasar mereka yang sebelumnya 2,5 persen, kini menjadi 4,1 persen. Capaian signifikan ini terjadi meski Uni Eropa telah memberlakukan bea masuk anti-subsidi hingga 35,3 persen sejak Oktober tahun lalu.

Di samping tarif umum sebesar 10 persen untuk kendaraan listrik. Bea masuk tersebut dirancang dengan masa berlaku selama lima tahun. Menghadapi regulasi tersebut, para produsen otomotif China tetap agresif di pasar dengan strategi ekspansi dan lokalisasi produk.

Meskipun menghadapi berbagai hambatan, ekspansi global produsen mobil China tetap konsisten. Ini menegaskan dominasi merek-merek otomotif asal Negeri Tirai Bambu dalam industri kendaraan listrik.

BYD Lampaui Tesla di Pasar Kunci

BYD sebagai salah satu pemain utama kendaraan elektrifikasi, mencetak pertumbuhan pesat di sejumlah negara Eropa. Mulai dari Inggris dengan kenaikan penjualan 551 persen, 734 perse di Spanyol, dan 207 persen di Portugal pada Januari 2025. Bahkan, BYD berhasil mengungguli Tesla di beberapa pasar tersebut.

“Terlepas dari dampak tarif, pangsa pasar BYD di Eropa terus menunjukkan tren kenaikan,” ujar Charles Lester, Analis Data dari Rho Motion yang dikutip dari CNAutonews pada Selasa, 8 April 2025.

Produsen mobil China bukan hanya bersandar pada harga yang kompetitif, mereka juga  mengedepankan diferensiasi produk lewat teknologi yang ditawarkan. 

Dalam peluncuran merek Changan Automobile di Munich, Jerman belum lama ini, Changan langsung memamerkan sembilan model dari tiga merek andalannya. Selain itu fitur canggih seperti mode parkir dan camping otomatis berbasis perintah suara telah memukau para konsumen, dealer, serta media di Eropa.

Salah satu pihak dealer juga mengatakan, “Tingkat kecanggihan mobil China kini telah melampaui banyak merek Eropa.”

Ekspansi Lewat Lokalisasi Produksi

Dalam menghadapi tantangan tarif, strategi lokalisasi menjadi jurus jitu merek-merek mobil China. Chery misalnya, telah menggandeng EV Motors Spanyol untuk memproduksi mobil di Barcelona. Hal ini menjadikan Chery sebagai produsen China pertama yang membangun pabrik di Eropa.

Selain itu, BYD tengah membangun fasilitas independen di Hungaria dan menjajaki opsi pendirian pabrik di Turki dengan target produksi 350.000 unit per tahun mulai akhir 2025.

Sementara brand China lainnya, Leapmotor, memilih jalur kolaborasi dengan Stellantis Group di Eropa. Kolaborasi ini akan memanfaatkan pabrik-pabrik Stellantis di Eropa untuk memproduksi model seperti T03 dan B10.

Begitu juga dengan XPeng yang memperluas jaringan distribusinya ke sejumlah negara Eropa seperti Polandia, Swiss, Ceko, dan Slowakia. Targetnya, XPeng akan membangun 300 lebih titik penjualan dan layanan global hingga 2025.

Langkah efisien lainnya juga ditempuh. Pabrik Magna di Graz, Austria, dilaporkan akan mulai merakit mobil XPeng dan GAC menggunakan skema semi-knockdown (SKD) mulai Juni mendatang.

Potensi Jangka Panjang di Pasar Premium

Dengan pangsa 17-18 persen dari pasar otomotif global, Eropa menjadi medan yang sangat strategis bagi merek-merek China meskipun penuh tantangan. Namun, daya saing China yang mengandalkan efisiensi rantai pasok, inovasi teknologi, dan fleksibilitas strategi bisnis, menjadi modal kuat untuk terus tumbuh.

"Produksi lokal adalah jalan utama bagi produsen Cina untuk menembus pasar Eropa, seperti halnya strategi Jepang di era sebelumnya,” ujar Ji Xuehong, Direktur Pusat Riset Inovasi Industri Otomotif Universitas Teknologi Tiongkok Utara.

Serbuan Mobil China di Indonesia

Sebelumnya, pada ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024, di mana banyak merek mobil China berpartisipasi dalam perhelatan pameran otomotif tersebut.

Beberapa brand mobil China tersebut yaitu BYD, Baic, Chery, GAC Aion, GWM, Chery, Jaeco, Jetour, MG, Neta, Seres, hingga Wuling. Kebanyakan kehadiran merek mobil China diikuti dengan teknologi kendaraan listrik yang tengah didukung pemerintah lewat berbagai kebijakan, salah satunya bebas biaya PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).

Selain itu pada awal tahun 2025, brand mobil China lainnya, Geely juga mengumumkan kembali ke pasar otomotif Indonesia dengan membawa mobil listrik Geely EX5.

Menurut pandangan Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, trenmerek mobil China masuk ke Indonesia sebagai dampak dari perang dagang China kepada negara pesaingnya dalam industri otomotif.

"Tahun 2024 Eropa memberikan biaya impor yang cukup tinggi terhadap China. Sehingga mobil-mobil listrik China saat itu banyak yang tidak bisa di ekspor ke Eropa karena mendapatkan sanksi," bukanya saat dihubungi KabarBursa.com, Senin 3 Februari 2025.

Sementara di sisi lain, kata Ibrahim, China telah memproduksi mobil listrik secara besar-besaran, sehingga harga yang ditawarkan bisa lebih murah dari mobil listrik negara lain, termasuk Eropa.

Masifnya produksi China dalam mobil listrik juga didukung kebijakan pemerintahnya yang berpengaruh terhadap penggunaan kendaraan ramah emisi tersebut.

"Di sisi lain pun juga ada kebijakan di China, di mana 80 persen masyarakatnya sudah menggunakan mobil listrik. Ini karena pemerintah yang menginstruksikan kepada pejabat dari tingkat atas sampai bawah, agar menggunakan mobil listrik. Hal itu diikuti oleh masyarakat di China," ucap Ibrahim.

Dengan begitu, peredaran mobil listrik dari brand China mulai menginvasi negara di benua Eropa, Amerika, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.

"Karena harganya relatif lebih murah, banyak masyarakat Eropa dan Amerika yang membeli mobil-mobil listrik dari Tiongkok. Situasi ini membuat perusahaan-perusahaan mobil listrik di Eropa itu mengalami kejatuhan sehingga Eropa mengenakan tarif yang cukup tinggi terhadap perusahaan-perusahaan otomotif China," terang Ibrahim.

"Dengan adanya perang dagang tersebut, banyak sekali mobil-mobil listrik dari China itu yang lari ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," tambahnya.

Lebih lanjut, Ibrahim memproyeksikan bahwa serbuan mobil China di berbagai belahan dunia maupun Indonesia akan semakin meningkat.

"Apalagi bersamaan dengan perang dagang China dan Amerika Serikat, kemungkinan besar semakin banyak lagi mobil-mobil keluaran China yang lari ke negara-negara berkembang," sebutnya.

Selain itu, Ibrahim juga menilai bahwa pergerakan merek mobil China yang masuk ke Indonesia belum bisa disaingi oleh brand otomotif Jepang, khususnya dalam hal ketersediaan model mobil listrik.

Sejauh ini di pasar domestik, Toyota hanya memasarkan mobil listrik bZ4X, kemudian Lexus memasarkan dua model lewat UX300e dan RZ450e, lalu Mitsubishi memiliki L100 EV sebagai mobil listrik niaga, serta Mazda dengan SUV listrik MX-30.

"China kebanyakan mencari negara-negara ketiga untuk memasarkan. Ini beda dengan Jepang. Sehingga Jepang masih kalah saing dengan China dalam industri mobil listrik,"kata Ibrahim.

Maka dari itu ia memandang, Indonesia masih menjadi pasar yang strategis bagi China dalam industri otomotif. Seiring hal tersebut, pemerintah Indonesia bisa mengambil keuntungan dari biaya impor yang dikenakan terhadap produk otomotif China.

"Sampai saat ini Indonesia itu dijadikan sebagai tempat untuk melakukan penjualan dari berbagai macam produk otomotif, baik dari merek Jepang, Korea Selatan, China, Eropa dan Amerika. Tetapi untuk mobil listrik, tetap dimenangkan kembali oleh China karena harganya lebih murah," imbuh Ibrahim.(*)