KABARBURSA.COM – Pelemahan ekonomi Indonesia bakal berdampak ke berbagai sektor, terutama otomotif. Penurunan sektor ini tidak hanya terjadi pada tahun 2024, tapi sejak beberapa tahun sebelumnya.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai penjualan kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2025 berpotensi mengalami pelambatan. Menurutnya, pelambatan ini akan terjadi jika kondisi pelemahan rupiah semakin parah atau lebih dari Rp16 ribu.
“Jika pelemahan rupiah semakin parah, inflasi melonjak, ekonomi makro dalam negeri tetap stagnan, resesi global menguat dan suku bunga domestik meningkat, penjualan kendaraan bermotor dapat turun hingga 5–10 persen,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, Minggu, 5 April 2025.
Menurutnya, tingkat keparahan dalam pelambatan di sektor otomotif bergantung dari seberapa parah kondisi perekonomian di Indonesia. Ia berharap pelemahan ekonomi tidak terus berlangsung agar penjualan kendaraan bermotor di Tanah Air dapat lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Pelambatan ekonomi, kata dia, bakal berpengaruh terhadap selera pasar. “Di segmen pasar menegah ke atas, mereka yang bertransisi ke BEV & HEV akan lebih meningkat dibandingkan tahun 2024 kemarin. Ini skenario pesimisnya,” ujarnya.
Sementara untuk skenario positifnya, lanjut Yannes, adalah ketika fundamental makroekonomi Indonesia menguat. Menurutnya, kebangkitan sektor otomotif dapat terjadi jika Bank Indonesia (BI) berhasil menjaga inflasi.
“Pertumbuhan ekonomi domestik juga harus solid di atas 5 persen, ditopang konsumsi rumah tangga yang terjaga dan iklim investasi kondusif dan situasi ekonomi global juga menunjukkan perbaikan maka daya beli masyarakat meningkat dan kepercayaan konsumen tinggi, mendorong peningkatan permintaan mobil baru secara keseluruhan,” jelasnya.
Yannes menilai, keputusan BI menahan suku bunga di angka 5,75 persen merupakan keputusan yang tepat. Karena, menurutnya, selama ini pembelian mobil di Indonesia dilakukan melalui skema kredit. Oleh karena itu, keputusan menahan suku bunga di angka 5,75 persen adalah keputusan tepat agar harga kredit tidak terlalu melonjak.
“Walau demikian hal yang perlu kita lihat saat ini adalah melemahnya daya beli konsumen dan ini terlihat dari susutnya sekitar 24 persen jumlah pemudik kemarin sehingga, diprediksi potensi stagnasi permintaan kendaraan baru paska lebaran akan terus berlanjut tanpa adanya kenaikan ekonomi makro Indonesia dalam beberapa bulan ke depan,” ujarnya.
Penurunan Ekspor Mobil
Seperti diberitakan sebelumnya, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat adanya penurunan yang cukup mencolok pada volume ekspor mobil selama periode Januari 2023 hingga November 2024.
Ekspor kendaraan secara utuh atau Completely Build Up (CBU) sepanjang tahun 2024 tercatat mencapai 428.597 unit. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023, di mana angka ekspor mencapai 468.595 unit.
Selama tahun 2023, merek-merek asal Jepang masih mendominasi pasar ekspor mobil CBU dari Indonesia ke berbagai negara tujuan. Toyota berada di posisi teratas dengan total ekspor sebanyak 151.348 unit atau menyumbang sekitar 35,3 persen. Daihatsu menyusul dengan pengiriman 102.260 unit, berkontribusi sebesar 23,9 persen.
Mitsubishi tercatat mengekspor 76.708 unit atau sekitar 17,9 persen. Hyundai sebagai perwakilan merek dari Korea Selatan berhasil mengirimkan 57.608 unit atau setara 13,4 persen, sementara Suzuki menyumbang 4 persen melalui ekspor sebanyak 17.344 unit.
Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, menyampaikan bahwa pihaknya menargetkan peningkatan angka ekspor kendaraan pada tahun 2025, dengan harapan dapat melampaui capaian tahun sebelumnya.
"Untuk ekspor kita harapkan bisa mencapai 500 ribuan unit kalau bisa, syukur-syukur tahun ini bisa naik lagi setiap tahunnya," ujarnya saat dihubungi kabarbursa.com beberapa waktu lalu.
Namun demikian, Jongkie menegaskan bahwa Gaikindo tidak memiliki kewenangan dalam menentukan arah dan jumlah ekspor kendaraan roda empat. Hal tersebut sepenuhnya berada di bawah kendali kantor pusat masing-masing produsen kendaraan.
"Kewenangan ekspor itu ada di kantor pusat merek-merek mobil. Misalnya pihak pusat Toyota di Jepang, dialah yang menentukan, termasuk untuk pasar negara mana saja yang akan menjadi tujuan, apakah ke Filipina, Vietnam atau negara lainnya. Di Indonesia, hanya bisa produksi saja untuk keperluan ekspornya," jelasnya.
Filipina, menurut Jongkie, masih menjadi negara tujuan utama ekspor mobil buatan Indonesia. "Filipina masih nomor satu, tapi untuk angkanya saya kurang tahu detailnya," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa permintaan pasar ekspor kendaraan dari Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi geopolitik dan stabilitas ekonomi global.
"Ini sangat tergantung kepada negara tujuan ekspor itu. Apakah dia perang? Kalau dia perang, dia enggak butuh mobil. Kami juga enggak tahu di negara tujuan ekspor itu ekonominya bagaimana? permintaan pasarnya bagaimana? Jadi kami hanya bisa berharap tahun ini lebih baik," ungkapnya.
Optimisme yang sama juga berlaku untuk pasar mobil domestik yang menurut Jongkie perlu menunjukkan performa yang lebih baik dari tahun 2024. (*)