KABARBURSA.COM – Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi penjualan kendaraan komersial di Indonesia pada tahun 2025 masih akan terpuruk seperti tahun-tahun sebelumnya.
Penurunan penjualan kendaraan komersial atau niaga dapat dibuktikan dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Distribusi kendaraan komersial secara wholesales (dari pabrikan ke dealer) tercatat sebanyak 13.686 unit.
Angka ini mencakup penjualan bus (418 unit), truk (4.650 unit), pikap (7.636 unit), dan kendaraan double cabin (982 unit). Jumlah tersebut mengalami kenaikan tipis sebesar 0,14 persen dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang mencapai 13.666 unit.
Pada Januari 2024, distribusi bus tercatat sebanyak 376 unit, truk 4.839 unit, pikap 8.125 unit, dan double cabin 326 unit. Berdasarkan data tersebut, penurunan penjualan komersial hanya terjadi pada segmen pikap dan double cabin, sementara segmen bus dan truk mengalami peningkatan.
Sementara itu, distribusi kendaraan secara retail (dari dealer ke konsumen) pada Januari 2025 mencapai 13.753 unit, terdiri dari bus (447 unit), truk (4.658 unit), pikap (7.774 unit), dan double cabin (874 unit).
Penjualan retail kendaraan komersial ini mengalami penurunan sebesar 15,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 16.343 unit. Pada Januari 2024, distribusi retail terdiri dari bus (586 unit), truk (5.491 unit), pikap (9.224 unit), dan double cabin (1.042 unit).
Ibrahim menilai, selain karena pelemahan ekonomi, penurunan penjualan kendaraan komersial juga terjadi karena sistem yang digunakan di sektor konstruksi dan pertambangan, terutama yang melibatkan kendaraan komersial.
“Jadi gini, selama ini orang tambang itu kan ada sistem penyewa. Jadi adanya truk itu dari satu perusahaan luar penyewaan. Di tambang itu mereka (perusahaan pertambangan dan konstruksi) tidak pernah membeli (truk),” kata Ibrahim kepada kabarbursa.com, Senin, 24 Maret 2025.
Ibrahim menuturkan, membeli kendaraan komersial di pekerjaan yang wilayah operasinya ekstrem dapat meningkatkan risiko kerugian kerusakan kendaraan. Untuk mengurangi risiko tersebut, perusahaan di sektor konstruksi dan pertambangan lebih memilih melibatkan pihak ketiga untuk menangani transportasi atau pengiriman material dari lokasi tambang ke penyimpanan barang.
“Truk-truk itu di tambang risikonya luar biasa. Yang saya tahu, saya pernah survei untuk batu bara dan sawit, hampir semua perusahaan-perusahaan tambang di sana, tidak semuanya, tapi hampir 90 persen itu menyewa,” jelasnya.
Segala kerusakan kendaraan selama di wilayah tambang atau perkebunan akan ditanggung oleh pihak ketiga atau perusahaan yang menyewakan kendaraan. Perusahaan tambang menganggap sewa lebih murah ketimbang berinvestasi kendaraan yang membutuhkan biaya pemeliharaan atau maintenance.
“Saat rusak, perusahaan (sewa) yang membetulkan. Kalau sewanya terlalu mahal pun juga akan bermasalah bagi pihak yang menyewa,” ujarnya.
Model bisnis yang menggunakan sistem sewa, kata Ibrahim, juga terjadi di sektor konstruksi. Ia mengungkapkan bahwa selama ini hampir semua perusahaan konstruksi menggunakan jasa pihak ketiga atau persewaan kendaraan komersial untuk pengangkutan material proyek.
“Sama juga seperti pembangunan perumahan di PIK. Apakah PIK 2 itu terus membeli alat-alat truk? Itu enggak, kan? Itu adalah pihak ketiga,” ujarnya.
Sistem Pembayaran ke Pihak Ketiga
Ibrahim mengungkapkan, selama ini perusahaan persewaan kendaraan juga harus menghadapi kenyataan pahit dari sistem pembayaran dari perusahaan yang menyewa.
Menurutnya, pihak penyewa kendaraan umumnya selalu bayar sewa di belakang atau setelah menggunakan kendaraan. Sementara di sisi lain, perusahaan persewaan kendaraan komersial harus membayar pihak leasing atau perusahaan pembiayaan di depan. Perusahaan yang membuka persewaan harus siap dengan pola pembayaran di belakang atau ditinggalkan konsumen.
“Jadi sistem sewa itu meningkat. Sistem sewa pun juga kalau di lapangan, biasanya kalau orang-orang di Kalimantan, Sumatera, inginnya itu dibayar di belakang. Tapi kan tidak mungkin. Sistem leasing itu dibayar di depan,” kata Ibrahim.
Ibrahim mencontohkan, salah satu penyebab perusahaan Cipaganti gulung tikar adalah ketika mulai membuka usaha persewaan kendaraan komersial. Perusahaan angkutan penumpang itu melebarkan sayap di bisnis persewaan kendaraan komersial di wilayah tambang.
“Tapi tabangnya itu di alat berat, sewa alat berat. Sewa alat berat, sewa truk. Nah, permasalahan di lapangan bahwa Cipaganti itu tidak mengetahui bagaimana sistem perjalanan tabang di Kalimantan dan Sumatera,” ujarnya.
“Jadi mereka itu sebenarnya kan dengan modal tangan kosong. Setelah mereka itu bekerja, kemudian mendapatkan duit, barulah dibayarkan sewa-sewanya. Tetapi Cipaganti tidak mau. Jadi Cipaganti harus membayar di muka untuk penyewaan ini. Akhirnya apa? Dari situlah Cipaganti ditinggalkan oleh konsumen. Sehingga Cipaganti mengalami kebangkrutan saat itu,” lanjutnya.
Pihak penyewa selalu ingin membayar jika telah mendapat keuntungan atau setelah akhir bulan. Pihak persewaan kendaraan komersial yang tidak siap dengan model bisnis seperti ini pasti ditinggalkan konsumen.