KABARBURSA.COM - Pengamat Ototmotif Yannes Martinus Pasaribu menilai masifnya brand mobil China ke Indonesia tetap membawa dampak positif bagi ekonomi, termasuk dari segi investasi dan aspek lainnya.
"Secara keseluruhan, kehadiran merek mobil China di Indonesia membawa dampak positif, terutama dalam hal investasi, penyerapan tenaga kerja, dan transfer teknologi," ucapnya saat dihubungi kabarbursa.com, Senin, 10 Maret 2025.
Yannes menilai, kedatangan merek mobil China seperti Jaecoo, BAIC, Jetour, Chery, Neta, Aletra dan Geely yang masih mengandalkan fasilitas perakitan PT HIM untuk jangka pendek, jelas membawa dampak positif.
"Dampak positifnya terutama dalam hal efisiensi investasi mereka sambil wait and see terhadap tren atau serapan pasar untuk produk mereka. Dengan naiknya permintaan maka otomatis akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan transfer teknologi pada PT HIM," ungkapnya.
Di sisi lain, Yannes menganggap bahwa banyaknya brand mobil Tiongkok yang menumpang produksi ini menunjukkan kemampuan PT HIM dalam memenuhi standar tinggi pada produksi kendaraan dari setiap brand tersebut.
Ia juga menyebut, langkah brand mobil China yang mengandalkan perakitan di PT HIM merupakan hal yang lumrah untuk menghemat biaya produksi di awal sebelum melangsungkan investasi jangka panjang.
"Secara bisnis ini jelas ditujukan untuk mengurangi biaya produksi awal, menghemat biaya operasional dan mempercepat penetrasi mereka di pasar Indonesia. Strategi ini umum di industri otomotif untuk menguji respons pasar sebelum memutuskan komitmen jangka panjang," jelas Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung ini.
Lebih lanjut, ia menilai strategi produksi dari merek mobil China melalui PT HIM merupakan bukti keseriusan dalam produksi lokal yang didorong pemerintah lewat peningkatan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).
"Pemerintah Indonesia memberikan insentif seperti pembebasan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) dan PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) untuk kendaraan listrik yang dirakit lokal. Jadi, cukup dengan memanfaatkan pabrik Handal, merek China dapat memenuhi syarat konten lokal (TKDN) dan bisa langsung menikmati kebijakan fiskal tersebut," terang Yannes.
"Kemudian pada akhirnya, hal ini juga membuat merek-merek tersebut dapat dengan cepat memasuki pasar Indonesia dalam posisi awal pertumbuhannya dengan mobil listrik dan ramah lingkungan, terutama di segmen harga terjangkau," lanjutnya.
Selain itu, PT HIM juga berkontribusi dalam meminimalisir risiko kebangkrutan untuk beberapa merek mobil China yang baru memasuki pasar Indonesia.
"Dengan menumpang perakitan di pabrik Handal, merek-merek China ini semakin dapat menghindari risiko gagal pasar. Jika permintaan tidak sesuai ekspektasi, mereka bisa mengurangi produksi tanpa harus menanggung beban biaya pabrik sendiri. Ini adalah strategi hedging yang umum di pasar baru yang dinamis," kata Yannes.
Ia juga mengatakan, strategi tersebut juga dinilai efektif dan fleksibel dalam sisi produksi kendaraan.
"Hedging ini jelas sebuah strategi bisnis yang agile, adaptif dan didukung oleh manajemen risiko yang kuat. Kolaborasi dengan HIM memungkinkan mereka menyesuaikan kapasitas produksi sesuai permintaan tanpa risiko over-investasi. Ini menjadi business model yang menarik," terang Yannes.
Meski begitu, kegiatan menumpang produksi di PT HIM akan kurang efektif untuk brand kendaraan yang sudah berkembang dan memiliki permintaan pasar tinggi.
"Tetapi jika misalnya trend pertumbuhan penjualan meningkat pesat, anggaplah misalnya dari brand Chery. Hal ini jelas membuat ketergantungan Chery yang tinggi pada pihak ketiga (PT HIM), sehingga dapat menghambat pengembangan teknologi dan kapasitas produksi mandiri dari merek tersebut di masa depan," ujarnya.
Sekadar informasi, PT Handal Indonesia Motor menjadi basis produksi sementara bagi sejumlah merek mobil listrik asal China yang masuk ke Indonesia.
Pabrik PT Handal Indonesia Motor (HIM) yang pernah digunakan untuk produksi kendaraan Hyundai selama 25 tahun lebih, kini dimanfaatkan untuk merakit mobil dari brand seperti Chery, Neta, BAIC, Aletra, hingga Geely belum lama ini baru kembalik masuk pasar otomotif Tanah Air.
Sejumlah merek tadi bisa dibilang menumpang produksi di pabrik yang berada di Pondok Ungu, Bekasi tersrbut lantaran belum memiliki pabrik sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan Wuling yang telah memiliki pabrik di Cikarang, Jawa Barat.
Selain itu, merek mobil China lainnya yakni BYD, juga telah berkomitmen membangun fasilitas manufaktur di Subang, Jawa Barat dan akan memulai aktivitas produksi secara lokal pada akhir 2025 mendatang.
Akibat Perang Dagang
Pasar otomotif kendaraan roda empat Indonesia yang sejak lama didiami berbagai merek Jepang, dalam beberapa tahun terakhir terus diserbu merek-merek mobil China.
Salah satu contohnya terlihat dalam ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024, di mana banyak merek mobil China berpartisipasi dalam perhelatan pameran otomotif tersebut.
Beberapa brand mobil China tersebut yaitu BYD, Baic, Chery, GAC Aion, GWM, Chery, Jaeco, Jetour, MG, Neta, Seres, hingga Wuling. Kebanyakan kehadiran merek mobil China diikuti dengan teknologi kendaraan listrik yang tengah didukung pemerintah lewat berbagai kebijakan, salah satunya bebas biaya PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).
Selain itu pada awal tahun 2025, brand mobil China lainnya, Geely juga mengumumkan kembali ke pasar otomotif Indonesia dengan membawa mobil listrik Geely EX5.
Menurut pandangan Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, trenmerek mobil China masuk ke Indonesia sebagai dampak dari perang dagang China kepada negara pesaingnya dalam industri otomotif.
"Tahun 2024 Eropa memberikan biaya impor yang cukup tinggi terhadap China. Sehingga mobil-mobil listrik China saat itu banyak yang tidak bisa di ekspor ke Eropa karena mendapatkan sanksi," bukanya saat dihubungi KabarBursa.com, Senin 3 Februari 2025.
Sementara di sisi lain, kata Ibrahim, China telah memproduksi mobil listrik secara besar-besaran, sehingga harga yang ditawarkan bisa lebih murah dari mobil listrik negara lain, termasuk Eropa.
Masifnya produksi China dalam mobil listrik juga didukung kebijakan pemerintahnya yang berpengaruh terhadap penggunaan kendaraan ramah emisi tersebut.
"Di sisi lain pun juga ada kebijakan di China, di mana 80 persen masyarakatnya sudah menggunakan mobil listrik. Ini karena pemerintah yang menginstruksikan kepada pejabat dari tingkat atas sampai bawah, agar menggunakan mobil listrik. Hal itu diikuti oleh masyarakat di China," ucap Ibrahim.
Dengan begitu, peredaran mobil listrik dari brand China mulai menginvasi negara di benua Eropa, Amerika, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.
"Karena harganya relatif lebih murah, banyak masyarakat Eropa dan Amerika yang membeli mobil-mobil listrik dari Tiongkok. Situasi ini membuat perusahaan-perusahaan mobil listrik di Eropa itu mengalami kejatuhan sehingga Eropa mengenakan tarif yang cukup tinggi terhadap perusahaan-perusahaan otomotif China," terang Ibrahim.
"Dengan adanya perang dagang tersebut, banyak sekali mobil-mobil listrik dari China itu yang lari ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," tambahnya.
Lebih lanjut, Ibrahim memproyeksikan bahwa serbuan mobil China di berbagai belahan dunia maupun Indonesia akan semakin meningkat.
"Apalagi bersamaan dengan perang dagang China dan Amerika Serikat, kemungkinan besar semakin banyak lagi mobil-mobil keluaran China yang lari ke negara-negara berkembang," sebutnya.
(*)