KABARBURSA.COM – Salah satu kekhawatiran dari terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) adalah terjadinya perang dagang dengan China yang dapat mengakibatkan masalah di sektor otomotif.
“Kemungkinan perang dagang antara USA dan China kembali memanas berada pada tingkat yang signifikan,” kata pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu kepada kabarbursa.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Yannes mengatakan, terpilihnya Trump akan membuat AS lebih condong memprioritaskan kendaraan bermesin internal combustion engine (ICE) karena Presiden AS ke-47 ini merupakan pro fosil.
Sebaliknya, China justru lebih fokus untuk beralih ke battery electric vehicle (BEV) dengan target penjualan sebesar 45 persen dari kendaraan baru pada tahun 202 menjadi pemicu utama.
“Produsen otomotif China juga akan mengalihkan fokus mereka ke pasar Asia, khususnya Asia Tenggara dengan memindahkan rencana investasi otomotif China ke Indonesia sebagai sentra untuk pasar ASEA ketika menghadapi hambatan di pasar AS.
“Hal ini meningkatkan persaingan bagi produsen otomotif Jepang yang sangat mendominasi pasar mobil di Indonesia selama puluhan tahun,” ujarnya.
Ambil Peluang Emas
Yannes menilai Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang antara China dan AS melalui kebijakan yang tepat. Peluang tersebut, kata dia, dapat memperkuat industri otomotif nasional jangka panjang.
“Hal ini dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi baru dan memanfaatkan situasi ini untuk mendorong percepatan pengembangan industri komponen otomotif lokal, meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri atau TKDN-nya” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tetap konsisten menjalankan kebijakan BEV yang telah ditetapkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Ester menilai, Indonesia bisa meraih keuntungan, terutama dalam sektor produk elektronik, jika mampu meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Menurutnya, Indonesia harus bisa menekan biaya produksi dan harga produk agar dapat mengisi kekosongan pasar AS yang ditinggalkan China. Selain itu, perjanjian perdagangan multilateral juga dinilai penting untuk memperluas akses Indonesia ke pasar internasional.
“Jika tidak ada perbaikan, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam kompetisi global ini,” ujar Esther.
Esther juga mengingatkan kembali bagaimana Vietnam memanfaatkan perang dagang antara AS dan China pada 2019 yang pada akhirnya menguntungkan negara tersebut.
Kedekatan geografis dan banyaknya perjanjian perdagangan yang dimiliki Vietnam, menjadikannya sebagai tujuan transit utama produk-produk China yang akhirnya diekspor ke AS dengan label “Made in Vietnam.”
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan tarif impor tinggi yang mungkin diterapkan Trump juga akan berdampak pada negara-negara ASEAN, termasuk Vietnam. Ia memastikan pemerintah Indonesia akan mengantisipasi kebijakan tersebut dengan langkah-langkah yang tepat.
“Tidak hanya China, negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan lainnya mungkin juga akan menjadi sasaran tarif impor ini,” jelas Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 13 November 2024.
Waspada Perang Dagang
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah lebih berhati-hati terhadap potensi perang dagang yang mungkin kembali terjadi, mengingat neraca perdagangan Amerika Serikat dengan Eropa, Kanada, dan Meksiko belum menunjukkan surplus.
“Makanya kita harus berhati-hati juga, Trump dilantik tanggal 20 Januari dan wanti-wanti akan melakukan perang dagangan kembali,” ujar dia.
Ibrahim menilai perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dapat memicu masuknya barang-barang murah dari Tiongkok ke Indonesia. Sektor yang paling berpotensi terpengaruh adalah tekstil, otomotif, dan elektronik.
“Kebijakan Trump dulu menyebabkan barang-barang dari Tiongkok membanjiri pasar Indonesia, yang menyebabkan produk dalam negeri sulit bersaing,” katanya.
Barang-barang impor yang lebih murah ini, menurut Ibrahim, berisiko menekan daya beli produk lokal. Ia juga mencemaskan penurunan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua.
Jika situasi ini terus berlanjut, kata dia, akan ada efek domino yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimulai dari kebangkrutan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
“PHK akan menyebabkan pengangguran massal dan berisiko menyebabkan deflasi,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu terkait ancaman perang dagang yang berdampak di hampir semua sektor dan mempengaruhi ekonomi Indonesia.
“Perang dagang AS-China dijamin akan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia melalui beberapa mekanisme,” kata Yannes.
Disrupsi perdagangan dan investasi, kata Yannes, berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bergantung kepada permintaan ekspor dari China dan AS karena kedua negara ini merupakan mitra dagang utama Indonesia di berbagai sektor, termasuk otomotif.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut menyoroti bahwa ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit ke kedua negara ini cukup signifikan.
“Ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas ke China membuat Indonesia rentan terhadap guncangan ekonomi eksternal, terutama yang berasal dari China. Hal ini akan meningkatkan kerentanan terhadap penurunan permintaan,” paparnya.
Penurunan permintaan dari China, lanjutnya, dapat memberikan dampak negatif bagi Indonesia karena berpotensi mengurangi pemasukan devisa negara. Pelambatan ekonomi di China secara langsung memengaruhi tingkat permintaan mereka terhadap komoditas asal Indonesia.
“Ketergantungan hampir semua industri di Indonesia pada komponen impor dipastikan akan semakin menciptakan kerentanan serius yang berpotensi fatal,” tambahnya. (*)