KABARBURSA.COM - Sejumlah sektor dinilai akan terdampak jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kenaikan sebesar 12 persen pada tahun depan.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengatakan kenaikan PPN 12 persen sejatinya bisa membuat daya beli masyarakat semakin melemah.
"Kenaikan PPN 12 persen ini memang dikhawatirkan akan menurunkan daya beli atau menurunkan domestic consumtion," ujar dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 15 November 2024.
Akibatnya, Nafan melihat pelemahan daya beli tersebut bisa berdampak terhadap kinerja sektor, terutama konsumer. Menurutnya, kinerja penjualan dari emiten konsumer yang lkemungkinan bakal terganggu.
Oleh karenanya, dia meminta agar pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kenaikan PPN 12 persen demi kebaikan sektor yang disebutkan tadi.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat Pasar Modal, William hartanto. Dia menuturkan, kenaikan PPN 12 persen bisa memberikan dampak terhadap sektor properti.
"Yang paling kena itu barang-barang mewah salah satunya itu properti," kata dia.
Hingga pada akhirnya, kata William, sentimen negatif tersebut bisa memberikan dampak negatif bagi pergerakan saham di sektor properti.
"Sehingga ada potensi untuk pelemahan terhadap saham-saham properti. Karena itu saya merekomendasikan wait and see pada saham-saham properti," pungkasnya.
Kenaikan PPN 12 Persen pada Januari 2025
Sebelumnya diberitakan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai diterapkan pada Januari 2025.
Kata Sri Mulyani, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), harus dilaksanakan.
“Undang-undangnya sudah ada, jadi kami perlu mempersiapkan pelaksanaannya dengan baik, namun tetap dengan penjelasan yang jelas. Kami tidak ingin melakukannya sembarangan, karena APBN harus tetap terjaga,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama anggota Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13 November 2024.
Sri Mulyani mengatakan itu karena anggota Komisi XI mempertanyakan kepastian mengenai kebijakan kenaikan PPN tersebut.
Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini juga memastikan bahwa pemerintah akan memberikan penjelasan yang transparan kepada masyarakat terkait alasan dan manfaat kebijakan kenaikan tarif PPN ini bagi keuangan negara.
Di tengah tekanan ekonomi, terlihat dari melambatnya tingkat konsumsi masyarakat hingga kuartal III-2024, penyesuaian ini dianggap penting.
Pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga yang menyumbang 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 4,91 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 4,93 persen pada kuartal II-2024.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 tercatat hanya 4,95 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang mencapai 5,05 persen.
“Saya setuju bahwa kami perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada masyarakat. Kebijakan pajak, termasuk PPN, tidak dilakukan tanpa mempertimbangkan sektor-sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok yang sebelumnya menjadi bahan perdebatan panjang,” jelasnya.
Meskipun ada kenaikan tarif PPN, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah tetap akan memberikan keringanan pajak untuk meringankan beban daya beli masyarakat. Beberapa barang dan jasa masih akan dibebaskan dari pajak atau dikenakan tarif lebih rendah, sesuai dengan peraturan yang ada.
“Sebetulnya, sudah banyak barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak atau mendapatkan tarif yang lebih rendah, dan itu sudah diatur dengan jelas,” pungkasnya.
PPN Naik bikin Beban Rakyat Kelas Bawah Kian Berat
Sementara itu Direktur Riset di Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti keputusan pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tengah kondisi ekonomi yang sedang tak menentu.
Menurutnya, ini menunjukkan keberanian pemerintah untuk menambah beban pajak pada kelas menengah dan bawah, namun ketidakberanian yang sama tidak ditunjukkan terhadap kelas atas.
“(pemerintah) pada dasarnya sangat berani untuk menambah beban pajak kepada kelas menengah dan bawah namun tak bernyali untuk memajaki kelas atas,” terang dia kepada Kabarbursa.com, Senin 7 Oktober 2024.
Dia mengatakan PPN ini memang secara sekilas terlihat proporsional, terutama jika dibandingkan dengan pengeluaran tiap orang. Namun jika dibandingkan dengan pendapatan, PPN ini jauh bersifat regresif atau jauh lebih berat bebannya terhadap masyarakat kelas bawah dan menengah.
Bagi masyarakat yang hidupnya pas-pasan, kenaikan PPN menjadi pukulan telak. Dengan persentase 12 persen, mereka tidak hanya akan mengurangi konsumsi tetapi juga tabungan yang makin tergerus.
“Beban PPN bagi kelas atas, hampir tidak ada rasanya jika dibandingkan dengan pendapatan mereka,” ujar dia.
Padahal, selama ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terutama didorong oleh konsumsi. Andri menunjukkan bahwa tabungan masyarakat kelas bawah dan menengah sudah menurun drastis sejak tahun lalu.
Merujuk pada data Mandiri Institute kemarin, indeks tabungan kelas menengah turun di kisaran 100 di awal 2023 menjadi level j94,8 per Juli 2024.
Mandiri Institute kemarin, indeks tabungan kelas menengah turun dari kisaran 100 di awal 2023 menjadi 94,8 pada Juli 2024. Sedangkan kondisi kelas atas naik dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 106,2 di Juli 2024.
“Di kelas bawah, kondisinya jauh lebih parah, dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 47,9 di Juli 2024,” ungkap dia.
Andri pun mempertanyakan keberanian pemerintah yang lebih memilih menaikkan PPN daripada memberlakukan pajak pada kelas atas.
Pasalnya, jika pemerintah berani memungut pajak sebesar 1 persen saja dari 50 orang terkaya di Indonesia, hasilnya akan mencapai Rp40,78 triliun. Itu lebih besar dari seluruh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun 2023 yang hanya Rp33,27 triliun
“Dengan kondisi seperti ini, pemerintah masih lebih berani untuk menaikkan PPN dibandingkan mencoba mencari pajak dari kelas teratas yang jika memungut 1 persen saja harta dari 50 orang terkaya Indonesia,” tutur dia.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.