Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekspor Aluminium RI ke AS Bebas BMAD, Peluang Meningkat

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 15 November 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Ekspor Aluminium RI ke AS Bebas BMAD, Peluang Meningkat

KABARBURSA.COM - Kementerian Perdagangan Budi Santoso, memproyeksikan ekspor produk aluminium ekstruksi Indonesia berpeluang meningkat setelah otoritas penyelidik Amerika Serikat (AS) memutuskan hasil penyelidikan bea masuk antidumping (BMAD) dan antisubsidi (countervailing duty/CVD) dengan tanpa pengenaan BMAD dan CVD.

“Keputusan ini menjadi berkah bagi industri manufaktur Indonesia. Hasil ini merupakan sinergi antarkementerian, lembaga, dan pelaku usaha yang dikoordinasikan Kementerian Perdagangan RI. Dihentikannya penyelidikan BMAD dan CVD ini juga memastikan pasar ekspor tradisional, khususnya AS sebagai mitra strategis Indonesia, tetap terjaga,” ujar Budi dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat, 15 November 2024

Adapun  United States of International Trade Commission (USITC) menyebutkan, Pemerintah AS tidak mengenakan tindakan antidumping dan antisubsidi atas impor aluminium ekstrusi dari seluruh negara subjek penyelidikan.

Diketahui Indonesia juga dinilai tidak menyebabkan kerugian material bagi industri dalam negeri AS. Hasil ini dikeluarkan setelah komisioner dari USITC bersidang dan mengambil keputusan melalui mekanisme suara terbanyak (voting).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag RI, Isy Karim, menyatakan bahwa kabar baik ini adalah dari upaya keras seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.

"Hasil tersebut juga menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjaga akses pasar ekspor dan daya saing

aluminium ekstrusi Indonesia di pasar AS," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag RI, Natan Kambuno, menjelaskan bahwa selama proses penyelidikan, Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag secara proaktif berupaya membela eksportir Indonesia yang terkena tuduhan.

Dalam menjalankan langkah ini, Kemendag RI bekerja sama dengan perwakilan dari kementerian dan lembaga terkait serta eksportir yang dituduh.

"Salah satu upaya penting yang dilakukan adalah bersinergi membuat pembelaan tertulis serta pertemuan dengan penyelidik AS yang datang ke Indonesia untuk proses verifikasi,” lanjut Natan.

Natan menambahkan, pada periode Januari–Agustus 2024, ekspor aluminium ekstrusi Indonesia ke AS tercatat sebesar USD 41 juta. Nilai ekspor tersebut turun drastis dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sempat menyentuh USD 79,5 juta.

"Penyelidikan antidumping dan antisubsidi AS telah menekan laju ekspor aluminium ekstrusi Indonesia ke AS. Kami harap, keputusan USITC ini dapat memulihkan kinerja ekspor aluminium ekstrusi Indonesia ke pasar AS di masa depan,” pungkas Natan.

Perlu diketahui berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir (2019–2023), ekspor produk aluminium ekstrusi Indonesia ke Amerika Serikat dengan kode HS 7601, 7604, 7608, 7609, dan 7610 terus menunjukkan peningkatan. Pada 2023, ekspor produk tersebut mencapai USD 102 juta, sedangkan pada 2019 hanya tercatat USD 75 juta.

Produk dan Efesiensi Biaya

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bahwa kebijakan bea masuk anti-dumping dapat menjadi instrumen yang efektif dalam melindungi industri dalam negeri, namun dengan catatan. 

Menurutnya, kebijakan ini hanya akan bekerja secara optimal jika diiringi dengan perbaikan di sektor produksi domestik, khususnya dalam hal kualitas produk dan efisiensi biaya.

“Kebijakan ini bisa efektif, tetapi industri dalam negeri juga harus melakukan dua hal penting, yakni meningkatkan kualitas produk dan efisiensi. Tanpa dua hal ini, selisih harga impor yang mungkin 10-20 persen lebih murah tidak akan bisa diatasi hanya dengan penerapan bea masuk anti-dumping,” ujar Tauhid kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 Oktober 2024.

Ia menambahkan bahwa produk-produk impor dengan kualitas yang sama atau lebih baik dari produk lokal akan tetap mendominasi pasar meskipun kebijakan anti-dumping diberlakukan. Tauhid mencontohkan sektor baja sebagai salah satu industri yang kerap menghadapi masalah ini. 

“Misalnya pada baja HRS atau produk-produk serupa, meskipun diberlakukan anti-dumping, kalau kualitasnya setara atau bahkan lebih baik, impor masih akan tinggi,” jelasnya.

Pengaruh pada Persaingan Pasar

Dari perspektif persaingan pasar, Tauhid menekankan pentingnya inovasi dan daya saing produk dalam negeri. Ia mengingatkan bahwa tanpa upaya serius untuk memperbaiki kualitas dan menurunkan biaya produksi, kebijakan anti-dumping tidak akan efektif dalam jangka panjang.

“Jika kualitas produk kita berbeda atau kalah dari produk impor, tentu kebijakan ini tidak akan berhasil,” kata Tauhid. 

Ia menambahkan bahwa meskipun bea masuk anti-dumping diberlakukan, produk impor yang telah menguasai sekitar 50{3004e6a2a23c8250adb56aedfee72f5f48434ae90303b3f2342c4d8b034836ab} pangsa pasar akan tetap mendapat preferensi dari konsumen jika industri dalam negeri tidak segera memperkuat daya saingnya.

Potensi Pertumbuhan Industri dengan Kebijakan Anti-Dumping

Saat ditanya mengenai potensi pertumbuhan industri domestik dengan diterapkannya kebijakan anti-dumping, Tauhid menjelaskan bahwa industri dalam negeri yang memiliki pasar domestik besar dan kemampuan untuk bersaing akan lebih diuntungkan. Namun, industri yang tidak memiliki produk sejenis yang kompetitif akan tetap kesulitan menghadapi produk impor.

“Potensi pertumbuhan ada, terutama untuk produk yang memiliki pasar domestik yang besar dan industri kita memang mampu bersaing. Tetapi kalau produk kita tidak sejenis dan tidak ada penguatan daya saing, maka kita akan tetap kalah,” ujar Tauhid.

Ia menegaskan bahwa kebijakan anti-dumping harus diiringi dengan peningkatan daya saing produk dalam negeri agar industri domestik dapat tumbuh dan berkembang. 

“Sepanjang kita punya produk yang sama dan bisa meningkatkan daya saing, tentu dampaknya akan lebih positif,” tutup Tauhid.(*)