KABARBURSA.COM - Ketua Delegasi Indonesia di CPO 29, Hashim S Djojohadikusumo mengungkapkan bahwa Indonesia memerlukan pendanaan sebesar USD235 miliar atau sekitar Rp3.689 triliun untuk mengejar target penambahan kapasitas pembangkit listrik hingga lebih dari 100 gigawatt (GW).
Sekitar 75 persen dari total target tersebut, atau sekitar 75 GW, akan berasal dari sumber energi baru terbarukan (EBT), termasuk pengembangan energi nuklir.
Hashim menjelaskan bahwa alokasi dana sebesar itu akan digunakan untuk membiayai proyek besar dalam pembangunan kapasitas listrik nasional hingga mencapai 103 GW. Dari jumlah tersebut, 75 GW akan dihasilkan dari EBT, dengan sekitar 5 GW berasal dari energi nuklir. Sisa kapasitas listrik akan dipenuhi melalui penggunaan gas.
“Pendanaan untuk proyek ini sebagian besar akan datang dari investor swasta, baik domestik maupun internasional. Saat ini, dunia tengah berfokus pada peralihan ke energi terbarukan, dan Indonesia memiliki potensi besar di sektor ini,” kata Hashim di sela-sela perhelatan COP 29 yang digelar di Baku, Azerbaijan, Rabu, 13 November 2024.
Hashim, yang juga menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, menjelaskan, saat ini dunia tengah memasuki era kecerdasan buatan (AI), yang membutuhkan daya listrik jauh lebih besar.
Ia memperkirakan kebutuhan listrik untuk mendukung teknologi AI akan mencapai 10 hingga 100 kali lebih besar dibandingkan konsumsi saat ini. Dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia diyakini dapat memenuhi kebutuhan listrik tersebut.
“Era kecerdasan buatan membutuhkan pasokan listrik yang sangat besar. Tapi dengan potensi energi terbarukan kita, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan listrik dalam jumlah yang sangat besar,” tegasnya.
Adik kandung Presiden Prabowo Subianto ini menyebutkan bahwa Indonesia memiliki sejumlah sumber daya energi terbarukan yang melimpah, termasuk energi air, matahari, panas bumi, dan angin.
Khusus untuk energi angin, ia mengungkapkan potensi besar yang dimiliki Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Bali yang diperkirakan dapat menghasilkan hingga 51 GW listrik dari energi bayu.
“Menurut kajian dari PLN, Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam hal energi angin. Di Pulau Jawa dan Bali saja, kita bisa menghasilkan sekitar 51 GW dari tenaga angin, 15 hingga 16 GW dari onshore dan 35 GW dari offshore,” paparnya.
“Potensi ini belum mencakup wilayah lainnya seperti Sulawesi, yang juga memiliki potensi besar,” sambungnya.
Dengan potensi tersebut, Hashim optimistis Indonesia dapat menjadi salah satu negara penghasil energi terbarukan terbesar di dunia, dan optimisme tersebut menjadi pendorong dalam upaya mempercepat transisi energi menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Muncul kekhawatiran, listrik tambahan yang dihasilan dari ETB akan menambah surplus pasokan listrik di Indonesia. Menanggapi itu, Hashim menepisnya.
Bahkan, dia menjamin listrik dan energi terbarukan di Indonesia akan terserap, sebab sudah banyak industri yang mulai mencari energi hijau dan ramah lingkungan.
Katanya, pemerintahan Prabowo Subianto akan berupaya keras menarik industri-industri baru masuk ke Indonesia.
“Kalau nanti ada ketersediaan energi terbarukan, ini salah satu tujuannya adalah menarik investasi dari luar negeri untuk industri-industri yang baru,” ungkap Hashim.
Kata Hashim, penggunaan energi bersih pada industri di dunia sedang menjadi tren. Dia mencontohkan adanya green steel yaotu besi baja yang diproduksi dengan energi hijau.
Lanjutnya, jika Indonesia berhasil mengembangkan energi baru terbarukan secara masif, bukan tidak mungkin industri-industri seperti itu bersedia menanamkan modalnya di negara ini. Artinya, listrik dengan energi bersih sudah pasti memiliki permintaan yang besar.
“Indonesia bisa menyediakan green energy untuk menarik dan mendukung green steel. Dengan green energy yang kita bisa sediakan, 75 gigawatt, kita bisa mendukung industri-industri baru yang juga perlu industri bersih," terang Hashim.
Dia pun mengungkapkan, bahwa negara-negara di Eropa sudah bersiap diri melakukan proteksi dagang untuk produk-produk industri yang tidak menggunakan energi bersih.
Hashim pun memaparkan, ada rencana Uni Eropa menerapkan Cross Border Adjustment Mechanism (CBAM). Maksud dari ini adalah barang-barang yang diproduksi dengan energi fosil dan tidak ramah lingkungan kemungkinan akan mendapatkan bea masuk tambahan yang cukup besar untuk masuk negara-negara Eropa.
“Empat tahun tahun lagi, saya dengar bahwa Uni Eropa akan melakukan yang sistem namanya CBAM, Cross Border Adjustment Mechanism. Bagi industri-industri yang ingin menjual produk-produknya ke Uni Eropa, harus bersih, clean,” jelas Hashim.
“Kalau tidak clean, dalam arti sumber listriknya dan power-nya itu bukan dari industri terbarukan, akan dipungut tax atau pajak karbon itu yang berlaku di Eropa,” pungkasnya. (*)