Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Perang Dagang AS-China dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 14 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Perang Dagang AS-China dan Dampaknya bagi Perekonomian Indonesia

KABARBURSA.COM - Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) diprediksi dapat memengaruhi perekonomian Indonesia, khususnya terkait kebijakan ekonomi yang lebih protektif dan potensi dampak inflasi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sunarso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu, 13 November 2024.

Menurut Sunarso, kebijakan “America First” yang diusung Trump berpotensi memperburuk inflasi di AS. Jika ini terjadi, The Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan merespons dengan menaikkan suku bunga.

“Kebijakan yang lebih protektif bisa meningkatkan inflasi, dan ini mungkin akan direspons dengan kenaikan suku bunga oleh The Fed,” ujar Sunarso.

Namun, Sunarso juga mengingatkan adanya ketidakpastian mengenai langkah The Fed, mengingat belum ada kejelasan apakah inflasi yang meningkat akan segera direspons dengan kenaikan suku bunga atau ada kebijakan lain yang diambil.

Sementara itu, Sunarso juga memperingatkan potensi dampak negatif bagi ekonomi Indonesia jika ketegangan dagang antara AS dan China kembali memanas.

“Jika AS lebih protektif dan China merespons dengan perang dagang, ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tertekan hingga berada di bawah 5 persen,” jelasnya.

Bahkan, jika negara-negara lain turut membalas kebijakan proteksionisme AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat lebih jauh, dengan proyeksi hanya mencapai kisaran 4,6-4,9 persen.

Analisis ini didasarkan pada hubungan ekonomi Indonesia dengan China, yang dinilai lebih signifikan dibandingkan dengan AS.

Sunarso menjelaskan, indeks korelasi antara ekonomi Indonesia dan China tercatat sebesar 0,351, sementara dengan AS hanya 0,347. Artinya, fluktuasi ekonomi China lebih mempengaruhi Indonesia ketimbang AS.

“Pertumbuhan ekonomi kita lebih dipengaruhi oleh perubahan di China, jadi jika terjadi perang dagang seperti sebelumnya, dampaknya akan lebih besar bagi kita,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Royke Tumilaar mengatakan bahwa kemenangan Trump juga memberikan tekanan pada pasar saham domestik. Meskipun demikian, ia optimistis bahwa kinerja ekonomi Indonesia yang solid dan berkelanjutan akan menjadikan pasar saham Indonesia tetap menarik bagi investor.

“Kemenangan Trump memberikan tekanan pada pasar saham, tapi dengan kinerja yang terus berkembang, kami yakin ini akan tetap menjadi pilihan investasi yang baik di Indonesia,” ungkap Royke.

Sri Mulyani Ketar-ketir

Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, diperkirakan akan menerapkan sejumlah kebijakan yang berpengaruh terhadap perekonomian global, termasuk kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Salah satu kebijakan utama yang diantisipasi adalah rencana kenaikan tarif impor, yang selama ini lebih terfokus pada barang-barang dari China, namun dapat meluas ke negara-negara lain, termasuk ASEAN.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan meski kebijakan tarif impor AS lebih banyak diarahkan pada RRT, langkah ini tidak menutup kemungkinan berdampak pada negara-negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam.

Ia menjelaskan bahwa kebijakan AS di bawah pemerintahan Trump selama periode pertama cenderung menargetkan semua mitra dagang dengan surplus terhadap AS, termasuk negara-negara ASEAN.

“Selama ini, fokus utama adalah China, yang memiliki surplus perdagangan dengan AS. Namun, seperti di periode pertama kepemimpinan Trump, AS cenderung memperhatikan semua mitra dagang yang mencatatkan surplus,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, 13 November 2024.

Lanjut Sri Mulyani, dengan dilantiknya Trump pada Januari 2025, maka kebijakan luar negeri dan ekonomi AS diperkirakan akan mempengaruhi dinamika perekonomian global, termasuk penguatan nilai dolar AS dalam beberapa waktu terakhir.

Penguatan ini didorong oleh kebijakan penurunan pajak korporasi, peningkatan belanja strategis, serta kebijakan proteksionisme seperti kenaikan tarif impor.

Di sisi lain, Sri Mulyani juga menyebutkan bahwa meskipun ada potensi ketegangan, diharapkan ada upaya gencatan senjata dalam geopolitik.

Dalam hal perubahan iklim, di bawah kepemimpinan Trump, kebijakan AS diperkirakan akan lebih moderat dibandingkan dengan era Presiden Joe Biden, dengan kemungkinan kebijakan yang lebih mendukung produksi bahan bakar fosil dan berdampak pada harga minyak serta perkembangan industri kendaraan listrik (EV).

Sri Mulyani menambahkan, reaksi pasar terhadap kebijakan fiskal Trump perlu terus dipantau, terutama terkait dengan ambisi pemerintah AS untuk mengurangi belanja negara hingga USD1 triliun dalam 10 tahun ke depan. Hal ini dapat mempengaruhi proyeksi pasar terhadap kebijakan fiskal dan bunga US Treasury, yang diperkirakan akan tetap ekspansif.

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Trump, meskipun berpotensi membawa perubahan signifikan bagi perekonomian global, terutama di kawasan ASEAN, perlu dicermati dengan seksama seiring berjalannya waktu. (*)