KABARBURSA.COM - Pemilihan Donald Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar global, termasuk pasar modal Indonesia.
Meningkatnya ketidakpastian pasar setelah kemenangan Trump diprediksi akan mempengaruhi berbagai sektor, baik di pasar regional Asia maupun Eropa.
Menurut Head of Customer Literacy and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi, ketidakpastian ini tidak hanya mempengaruhi pasar global, tetapi juga menciptakan potensi risiko terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Audi menjelaskan, bahwa ketidakpastian pasar terjadi karena kekhawatiran terhadap kebijakan ekonomi Trump yang kemungkinan besar akan berfokus pada isu imigrasi dan perdagangan.
Mengingat masa kepemimpinan Trump sebelumnya, kebijakan-kebijakan yang diambil, seperti perang tarif dengan China, sempat memperlambat ekonomi global. Apabila kebijakan serupa diterapkan lagi, hal ini bisa berisiko menyebabkan perlambatan ekonomi global, khususnya di China, yang kemudian akan berdampak pada negara-negara lainnya.
Di Indonesia, pasar modal sudah mulai menunjukkan respon negatif terhadap terpilihnya Trump. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup signifikan.
Research Analyst di Reliance Sekuritas Ayu Dian, mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh pemerintahan Trump, seperti pemotongan pajak korporasi dan peningkatan tarif impor, bisa meningkatkan defisit anggaran AS dan inflasi. Kondisi ini akan menambah ketidakpastian di pasar global dan berpotensi menekan nilai tukar rupiah.
Namun, Ayu juga mencatat bahwa pelemahan saham dapat dimanfaatkan oleh investor yang ingin membeli saham dengan harga lebih rendah, dengan prinsip buy on weakness.
Senada dengan Ayu, Oktavianus Audi memandang bahwa penguatan dolar AS akibat kebijakan Trump bisa berdampak buruk pada stabilitas nilai tukar rupiah.
Mengingat kecenderungan pasar yang lebih menyukai aset-aset berbasis dolar, hal ini dapat menyebabkan arus keluar modal (outflow) dari pasar Indonesia, memperburuk kondisi nilai tukar rupiah dan memberi tekanan pada pasar modal tanah air.
Selain itu, ketidakpastian yang meningkat terkait potensi perang dagang dan kebijakan ekonomi AS juga dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan, baik di pasar saham maupun pasar valuta asing.
Sementara itu, Senior Economist Bank Mandiri Reny Eka Putri, mengingatkan bahwa kebijakan Trump yang lebih pro terhadap produksi energi fosil bisa berisiko meningkatkan inflasi harga energi global. Ini akan berdampak langsung pada Indonesia, terutama dalam hal inflasi energi yang bisa mempengaruhi harga barang-barang yang disubsidi pemerintah (administered price).
Jika harga energi naik, maka biaya produksi dan distribusi barang akan meningkat, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi domestik.
Namun, Reny juga melihat ada sisi positif dari keterpilihan Trump, khususnya dalam sektor perdagangan dan investasi.
Kebijakan Trump yang menaikkan tarif impor terhadap produk China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke AS, mengingat banyak produk China yang akan dikenakan tarif lebih tinggi. Selain itu, dengan adanya relokasi produksi dari China, Indonesia bisa menjadi tujuan alternatif bagi investasi asing.
Jika hal ini terealisasi, sektor manufaktur Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari peningkatan ekspor dan masuknya investasi asing, yang pada akhirnya bisa memperkuat perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Dalam menghadapi volatilitas pasar yang meningkat, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Reny mencatat, bahwa BI akan mengoptimalkan instrumen moneter, seperti Swap Repo dan Bank Indonesia (SRBI), untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan mengurangi dampak negatif dari fluktuasi pasar global.
Namun, BI juga harus memantau dengan cermat kebijakan moneter AS, terutama dengan rencana The Fed yang kemungkinan akan lebih berhati-hati dalam melakukan pemangkasan suku bunga, mengingat potensi inflasi yang lebih tinggi di AS akibat kebijakan fiskal Trump.
Jadi, keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47 memang membawa banyak ketidakpastian dan potensi risiko bagi pasar global, termasuk Indonesia. Dari peningkatan inflasi, volatilitas pasar, hingga penguatan dolar AS, Indonesia harus siap menghadapi dampak dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah AS.
Namun, di balik itu semua, ada juga peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan relokasi produksi China dan meningkatkan ekspor ke AS. Dalam menghadapi ketidakpastian ini, BI dan para investor di Indonesia harus cerdas dalam mengambil langkah-langkah mitigasi agar perekonomian domestik tetap tumbuh solid.
Dengan kondisi yang penuh tantangan ini, pasar dan pelaku ekonomi Indonesia perlu terus memantau perkembangan global, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi AS, untuk mengoptimalkan peluang yang ada dan meminimalkan dampak risiko yang mungkin terjadi.(*)