Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Minyak Dunia Naik Tipis, Tahan Napas di Level Rendah

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 13 November 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Minyak Dunia Naik Tipis, Tahan Napas di Level Rendah

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia mencatat kenaikan kecil pada perdagangan Selasa, 12 November 2024, meski masih berada di level terendah dua minggu terakhir. Dalam dua hari sebelumnya, harga minyak telah merosot sekitar lima persen, dipicu revisi terbaru OPEC yang menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan, serta penguatan dolar AS dan kekecewaan atas paket stimulus baru China.

Mengutip Reuters, minyak mentah Brent naik tipis enam sen (0,1 persen) menjadi USD71,89 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik delapan sen (0,1 persen) ke level USD68,12 per barel. Pada Senin, 11 November 2024, kedua acuan ini mencatat harga penutupan terendah sejak 29 Oktober.

Ritterbusch and Associates, firma konsultan energi, dalam laporannya menyebut bahwa setelah penurunan tajam, harga minyak biasanya pulih menuju level pertengahan kisaran harga di sesi sebelumnya.

OPEC memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2024 dan memperbarui perkiraan untuk tahun depan. Ini menjadi revisi keempat yang dilakukan OPEC terkait pertumbuhan permintaan minyak.

Perkiraan ini mengisyaratkan tantangan bagi OPEC+, kelompok yang terdiri dari negara OPEC dan sekutunya seperti Rusia. Bulan ini, mereka menunda rencana peningkatan produksi Desember karena tren harga yang terus menurun.

Analis minyak independen di London, Gaurav Sharma, menyatakan bahwa permintaan lesu dari China membuat upaya OPEC mengatur pasokan hanya mampu menahan harga Brent di sekitar USD70.

OPEC memperkirakan permintaan minyak global akan naik 1,82 juta barel per hari (bpd) pada 2024, turun dari proyeksi 1,93 juta bpd bulan lalu. OPEC juga menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan untuk 2025 menjadi 1,54 juta bpd dari sebelumnya 1,64 juta bpd.

“Proyeksi OPEC untuk China tampaknya berbeda dengan lembaga lain yang telah menurunkan perkiraan mereka secara signifikan karena lemahnya ekonomi China dan minimnya stimulus fiskal,” ujar Kepala Riset Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian.

Stimulus China dan Ancaman Kebijakan AS

China baru saja mengumumkan paket utang senilai 10 triliun yuan (sekitar USD1,4 triliun) guna membantu masalah pendanaan pemerintah daerah. Namun, analis melihat langkah ini masih belum cukup kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS yang disusun oleh pemerintahan baru juga diperkirakan dapat membatasi permintaan minyak. Donald Trump, yang kembali terpilih sebagai Presiden AS pada 5 November, kemungkinan akan menunjuk Senator Marco Rubio sebagai Menteri Luar Negeri. Rubio dikenal sebagai pendukung kebijakan keras terhadap China, Iran, dan Kuba.

Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho, menyatakan bahwa tim kebijakan luar negeri yang baru (termasuk Rubio, jika terpilih) kemungkinan besar akan memperketat hubungan dengan China, yang bisa memengaruhi pertumbuhan permintaan minyak dari negara pengimpor minyak terbesar dunia ini.

Harga minyak juga tertekan oleh penguatan dolar AS, yang kini mencapai posisi tertinggi dalam empat bulan terakhir terhadap mata uang global. Penguatan dolar ini membuat minyak menjadi lebih mahal di negara lain, sehingga dapat menekan permintaan.

Di Jerman, sebagai perekonomian terbesar di Eropa, sentimen investor menurun bulan ini akibat ketidakpastian yang disebabkan oleh hasil pemilu AS dan krisis pemerintahan di dalam negeri. Kebijakan proteksionis AS diprediksi akan memperlambat pertumbuhan global, dan Bank Sentral Eropa pun memperingatkan Eropa untuk lebih siap menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa depan.

Sempat Ambruk Lebih Dua Persen

Harga minyak dunia sebelumnya turun lebih dari 2 persen pada Senin, 11 November 2024 setelah rencana stimulus terbaru China mengecewakan investor yang mengharapkan pertumbuhan permintaan dari negara konsumen minyak terbesar kedua di dunia, sementara pasokan diperkirakan akan meningkat pada 2025.

Dilansir Reuters, kontrak berjangka minyak Brent ditutup di USD71,83 per barel, turun USD2,04 atau 2,76 persen. Sementara itu, kontrak berjangka minyak Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) ditutup di USD68,04 per barel, turun USD2,34 atau 3,32 persen. Kedua harga acuan ini juga turun lebih dari 2 persen pada hari Jumat, 8 November 2024.

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS mungkin masih memengaruhi pasar, kata Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group. “Pemilu dengan janji Trump untuk ‘bor, baby, bor’ telah mengurangi beberapa dorongan untuk melakukan investasi jangka panjang,” kata Flynn.

Indeks dolar AS, yang mengukur nilai dolar terhadap sekelompok mata uang asing, sedikit melampaui puncaknya yang tercatat setelah pemilihan presiden AS minggu lalu, dengan pasar masih menunggu kejelasan tentang kebijakan AS di masa depan. Dolar yang lebih kuat membuat komoditas yang dihargakan dalam dolar AS, seperti minyak, menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain dan cenderung menekan harga.

Menurut Giovanni Staunovo, analis UBS, langkah pemerintah China yang menyiapkan bantuan utang untuk pemerintah daerah dinilai tidak efektif dalam mendorong peningkatan permintaan minyak.

“Sebagian pasar mungkin berharap stimulus yang lebih besar dari China. Kekecewaan ini menekan harga minyak sejak pagi tadi,” kata Staunovo.(*)