KABARBURSA.COM - Peneliti dari Indonesia Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum UGM Adrianto Dwi Nugroho, mengungkapkan pandangannya mengenai kebijakan yang perlu diperbaiki untuk mencapai target penerimaan pajak yang optimal. Menurutnya, penegakan hukum perpajakan perlu lebih mengutamakan efisiensi, dengan fokus pada penegakan hukum administratif ketimbang pidana.
"Penegakan hukum harus mengedepankan aspek efisiensi. Utamakan penegakan hukum administratif daripada hukum pidana," katanya kepada Kabar Bursa, Senin 11 November 2024.
Dia menjelaskan bahwa penegakan hukum pidana cenderung mengutamakan aspek kebenaran materiil yang memakan waktu lama, dan hasil dari putusan pidana tidak dapat langsung dikategorikan sebagai penerimaan pajak, melainkan sebagai penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh instansi penuntut umum.
Sebaliknya, penegakan hukum administratif lebih efisien karena pembuktian yang dilakukan bersifat formil, yang dapat diukur dan diproses lebih cepat. Selain itu, hasil dari putusan administratif dapat langsung diklasifikasikan sebagai penerimaan pajak.
"Penegakan hukum administratif mengutamakan pembuktian formil, sehingga dapat diukur oleh waktu, dan penerimaan yang dihasilkan dari putusan administratif dapat diklasfikasikan sebagai penerimaan pajak," terang dia.
Dia juga menekankan pentingnya pengembangan Coretax, sistem yang saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk lebih luas mencakup basis data dan menjangkau lebih banyak wajib pajak. "Untuk mendukung penegakan hukum, maka Coretax yang sedang dikembangkan oleh DJP perlu untuk terus dikembangkan, sehingga mampu melingkupi basis data yang lebih luas dan menjangkau jumlah wajib pajak yang lebih banyak," tambah dia.
Dengan pengembangan lebih lanjut, dia mengatakan sistem ini diharapkan dapat menggantikan sistem self-assessment yang diterapkan selama ini, dengan sistem official assessment yang lebih ketat. Hal ini diharapkan mampu mempersempit celah bagi wajib pajak yang berusaha menghindari kewajiban pajak mereka.
"Ke depannya, ketika Coretax telah mendekati sempurna, self assessment system yang diberlakukan sejak reformasi perpjakan dapat digantikan dengan official assessment system, yang mana ini akan mampu mempersempit celah bagi wajib pajak untuk mengelak dari pajak," lanjutnya.
Lebih lanjut, dia mengusulkan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan pembebasan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) perlu dievaluasi karena seringkali menjadi celah bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, sementara penghindaran pajak masih marak, terutama pada jenis pajak Penghasilan (PPh).
Dengan peningkatan tarif PPN, dia yakin akan ada dorongan lebih besar bagi pengusaha untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan mereka tanpa harus mengurangi konsumsi, karena pasar akan menyesuaikan harga secara alami hingga tercapai titik keseimbangan.
"Artinya, peningkatan tarif PPN dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dari pengusaha, sementara kebijakan tersebut tidak akan serta merta mengurangi konsumsi, karena pasar akan meregulasi dirinya sendiri hingga mencapai titik keseimbangan harga," ujar dia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, juga berbicara tentang langkah-langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Ia menekankan dua pendekatan utama, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi.
"Secara prinsip, penerimaan pajak dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu: intensifikasi dan ekstensifikasi. Proses intensifikasi dilakukan dengan cara penggalian potensi pajak dengan proses data matching," kata dia Kepada Kabar Bursa, Senin 11 November 2024.
Melalui proses ini, data yang diperoleh akan dibandingkan dengan laporan pajak yang disampaikan oleh wajib pajak, sehingga memungkinkan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK). "Proses demikian disebut data matching dengan hasil berupa penerbitan SP2DK,' tambah dia.
Selain intensifikasi, ekstensifikasi juga menjadi strategi penting, yaitu memperluas basis pajak dengan menyisir individu dan badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak, termasuk mereka yang terlibat dalam transaksi ekonomi gelap atau underground economy. KPP Pratama diharapkan dapat lebih aktif dalam menjalankan ekstensifikasi ini.
"Proses ekstensifikasi dilakukan dengan menyisir orang pribadi dan badan yang belum menjadi wajib pajak. Ekstensifikasi dilakukan juga untuk transaksi underground economy. Cara ini dilakukan oleh KPP Pratama," terang dia.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), Fajry Akbar memproyeksikan kinerja penerimaan pajak akan membaik pada kuartal kedua hingga kuartal keempat 2024. Namun, ia mengingatkan bahwa otoritas pajak perlu melakukan upaya ekstra mengingat target pajak naik sebesar 6,4 persen.
Dua sektor utama, yakni pengolahan dan perdagangan, diharapkan pulih kembali. Pada kuartal pertama, kinerja kedua sektor ini masih negatif, padahal mereka adalah penyumbang terbesar penerimaan pajak.
“Jika kedua sektor tersebut tidak pulih, akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai target pajak,” terang dia kepada Kabarbursa.com, Selasa 14 Mei 2024.
Selain itu, Fajry menyoroti tantangan besar yang dihadapi sektor perpajakan seiring transisi pemerintahan mendatang. Contohnya, wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan wajib pajak tentang dampaknya, seperti kemungkinan peningkatan pemeriksaan atau perubahan dalam pelayanan.
“Apakah semakin banyak pemeriksaan?, pelayanannya semakin baik?, atau seperti apa? penuh ketidakpastian,” tanya dia.
Dia melanjutkan, masa depan kenaikan tarif PPN juga penuh ketidakpastian. Meskipun sebelumnya ada pernyataan bahwa kebijakan kenaikan tarif akan berlanjut, baru-baru ini Menko Perekonomian menyebutkan optimalisasi melalui PPh, bukan PPN.
“Ini menimbulkan spekulasi bahwa pemerintahan berikutnya mungkin akan membatalkan rencana kenaikan tarif PPN, yang secara hukum memang memungkinkan,” tambah dia.
Fajry juga menyoroti kebutuhan dana yang besar untuk memenuhi janji politik pemerintahan selanjutnya, seperti program makan siang gratis yang memerlukan Rp450 triliun, serta proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan rencana memperbanyak jumlah Kementerian atau Lembaga (K/L)
Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan wajib pajak tentang dari mana dana tersebut akan berasal dan apakah mereka akan kembali menjadi sasaran otoritas pajak.
“Duitnya dari mana? apakah mereka nanti yang kena kejar-kejar otoritas pajak lagi?” ujar dia.
Dengan sederet tantangan tersebut Fajry mengatakan adanya Core Tax Administration System (CTAS) akan mereformasi administrasi perpajakan, banyak sekali manfaatnya termasuk mendorong penerimaan perpajakan. Akan tetapi, CTAS ini bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
Diketahui, mulai 1 Juli 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan meluncurkan sistem baru bernama CTAS, menggantikan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) yang lama.
Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.
“Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak,” kata dia.
Ia menambahkan, meskipun CTAS sudah mulai diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, implementasinya belum sepenuhnya optimal. Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.
“Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal,” tandas Fajry.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menambahkan perspektifnya mengenai CTAS. Menurutnya, inti dari sistem pajak yang ada saat ini adalah self-assessment system, di mana pemerintah mempercayakan pelaporan pajak kepada kesadaran wajib pajak sendiri.
“Inti dari sistem pajak yang ada sekarang adl self assessment system. Dgn kata lain, pemerintah mempercayakan pelaporan pajak sesuai dengan kesadaran WP sendiri,” jelasnya kepada Kabar Bursa 14 Mei 2024.(*)