KABARBURSA.COM - Prospek ekonomi global di era Donald Trump semakin jelas terlihat. Kemenangan Trump dalam pemilihan Presiden AS dan dominasi Partai Republik di Kongres menandakan bahwa fokus utama kebijakan ekonomi akan berpusat pada stimulus fiskal.
Sementara itu, Federal Reserve tetap konsisten dengan rencananya untuk memotong suku bunga sebesar 125 basis poin dalam setahun ke depan.
Kombinasi antara kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang lebih longgar ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pasar finansial global.
Pemerintahan Trump diproyeksikan akan mengimplementasikan serangkaian kebijakan fiskal ekspansif, termasuk pemotongan pajak korporasi, perpanjangan pemotongan pajak pribadi, serta deregulasi untuk menurunkan biaya operasional bisnis.
Hal ini dirancang untuk menstimulasi perekonomian yang sudah kuat, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 3 persen.
Di sisi lain, kebijakan Federal Reserve yang lebih longgar dengan penurunan suku bunga, bertujuan untuk mencegah perlambatan ekonomi.
Sebab, ada kekhawatiran bahwa kenaikan angka pengangguran pada musim panas lalu dapat menjadi sinyal awal dari siklus penurunan ekonomi.
Namun, data ekonomi AS menunjukkan hal sebaliknya. Tingkat pengangguran yang sempat mencapai 4,3 persen kini telah turun menjadi 4,1 persen.
Sementara, Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh sebesar 2,8 persen di kuartal ketiga, didorong oleh konsumsi pribadi yang tumbuh 3,7 persen secara tahunan.
Meskipun kebijakan ini memberikan prospek ekonomi yang kuat dalam jangka pendek, ada risiko bahwa inflasi akan tetap tinggi di atas target Federal Reserve sebesar 2 persen.
Kebijakan fiskal yang ekspansif, terutama dengan defisit anggaran yang terus membengkak, berpotensi mendorong inflasi lebih tinggi lagi.
Selain itu, kebijakan tarif perdagangan yang agresif, termasuk ancaman tarif hingga 60 persen untuk barang impor dari China, dapat memperburuk situasi inflasi dengan menaikkan harga barang impor.
Para investor telah merespon perubahan kebijakan ini dengan mendorong pasar saham naik dan pasar obligasi turun.
Dalam dua bulan terakhir, indeks S&P 500 meningkat sekitar 8 persen, sementara suku bunga swap 10 tahun di AS meningkat sebesar 60 basis poin.
Di sisi lain, pasar saham Eropa, seperti indeks Stoxx Europe 600 justru turun sekitar 2 persen dalam periode yang sama dan suku bunga swap 10 tahun di zona euro turun sekitar 15 basis poin.
Perbedaan kebijakan moneter ini menguatkan dolar AS sekitar 4 persen terhadap euro dan mata uang lainnya.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS diperkirakan akan terus naik dan mungkin mencapai 5 persen. Hal ini sejalan dengan kemungkinan penurunan nilai tukar EUR/USD menuju level 1,03.
Sementara itu, meski pasar saham saat ini berada dalam tren positif, kenaikan imbal hasil obligasi dapat memperketat kondisi finansial dan berpotensi menekan perekonomian, terutama jika inflasi terus bertahan di atas 2 persen.
Di zona euro, European Central Bank (ECB) terus memangkas suku bunga guna memerangi inflasi yang bergerak turun menuju target 2 persen.
Namun, stagnasi pertumbuhan ekonomi yang berlarut-larut dan minimnya tanda-tanda pemulihan menunjukkan bahwa ECB kemungkinan akan melanjutkan pemotongan suku bunga dalam beberapa pertemuan mendatang.
Penurunan suku bunga ini diproyeksikan mencapai 2,25 persen, tetapi risiko penurunan lebih lanjut tetap ada.
Selain kebijakan moneter yang divergen antara AS dan Eropa, kebijakan perdagangan AS, seperti tarif terhadap sektor otomotif Jerman, dapat semakin melemahkan ekonomi Eropa.
Kombinasi ini, bersama dengan kebijakan Presiden Trump yang keras terhadap belanja pertahanan NATO, telah memperketat spread swap aset di zona euro dan memberikan tekanan lebih lanjut pada euro.
Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif di AS membawa prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, terutama dalam jangka pendek.
Namun, hal ini juga meningkatkan risiko inflasi yang berkepanjangan, yang pada akhirnya dapat membebani pasar obligasi dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Pasar saham mungkin terus menikmati keuntungan selama kondisi ini berlanjut, tetapi lonjakan imbal hasil obligasi dapat menjadi tanda bahwa "pesta" ini mendekati akhir.
Di Eropa, kondisi sebaliknya terjadi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, prospek pemotongan suku bunga yang lebih dalam, dan risiko dari kebijakan perdagangan AS semuanya mengisyaratkan bahwa euro akan tetap berada di bawah tekanan.
Dalam konteks global, perbedaan kebijakan antara AS dan zona euro menciptakan dinamika pasar yang menarik, tetapi juga penuh tantangan bagi investor yang ingin memanfaatkan peluang di tengah risiko yang meningkat.
Dengan demikian, investor harus terus memantau perkembangan kebijakan fiskal dan moneter ini, sambil memperhatikan tanda-tanda perubahan dalam arah inflasi, suku bunga, dan kondisi pasar tenaga kerja.
Kebijakan yang terlalu longgar memang bisa menjadi penggerak positif bagi pasar, tetapi juga berisiko jika dibiarkan terlalu lama.(*)