KABARBURSA.COM - Pada Oktober 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi indeks harga konsumen (IHK) Indonesia melandai ke level 1,71 persen secara tahunan (year-on-year, YoY), lebih rendah dari inflasi 1,84 persen yang tercatat pada September 2024. Angka ini sesuai dengan ekspektasi konsensus dan menandai level terendah sejak Oktober 2021.
Sementara itu, inflasi inti, yang mengukur pergerakan harga tanpa memperhitungkan harga makanan dan energi yang bergejolak, meningkat menjadi 2,21 persen YoY dari 2,09 persen pada bulan sebelumnya. Angka ini sedikit melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan inflasi inti sebesar 2,1 persen YoY.
Tim Stockbit Sekuritas dalam risetnya, dikutip Minggu, 3 November 2024, menyebut, secara bulanan, Indonesia mencatat inflasi sebesar 0,08 persen month-on-month (MoM) pada Oktober 2024, mengakhiri tren deflasi bulanan yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut.
Ini merupakan perubahan dari deflasi 0,12 persen MoM yang terjadi pada September 2024, dan angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dibandingkan ekspektasi konsensus yang memperkirakan inflasi bulanan akan datar.
Kenaikan harga terutama didorong oleh kelompok pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya, dengan komoditas emas perhiasan menjadi penyumbang utama inflasi bulanan, menyumbang 0,06 poin persentase.
Sumber utama inflasi pada Oktober 2024 adalah kenaikan harga emas perhiasan. Harga emas global meningkat sebesar 4,1 persen MoM selama bulan tersebut, dan ini terefleksi pada peningkatan harga emas perhiasan di dalam negeri, yang menjadi penyebab utama inflasi pada kelompok perawatan pribadi.
Kenaikan harga emas mencerminkan ketidakpastian global, yang sering kali mendorong investor beralih ke aset yang lebih aman seperti emas.
Namun, penting untuk dicatat bahwa inflasi bulanan ini masih sangat terbatas dan didorong oleh satu kategori spesifik. Ketiadaan tekanan inflasi yang signifikan di sektor-sektor lain menunjukkan masih lemahnya daya beli masyarakat.
Penurunan inflasi tahunan menjadi 1,71 persen YoY merupakan sinyal bahwa tekanan harga di Indonesia terus berkurang. Namun, meskipun melandainya inflasi secara umum biasanya dianggap sebagai tanda positif bagi stabilitas harga, penurunan ini juga dapat mencerminkan pelemahan permintaan domestik.
Melemahnya daya beli masyarakat telah terlihat dari tren penurunan pendapatan beberapa emiten besar di sektor consumer goods, seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO). Fenomena downtrading -ketika konsumen memilih produk yang lebih murah untuk menghemat pengeluaran—telah terjadi di berbagai sektor.
Selain itu, di sektor telekomunikasi, tekanan terhadap rata-rata pendapatan per pengguna (ARPU) dari emiten seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Indosat Tbk (ISAT) menunjukkan bahwa masyarakat semakin membatasi pengeluaran bahkan di sektor yang dianggap esensial.
Pada hari yang sama dengan rilis data inflasi, S&P Global melaporkan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di level 49,2 pada Oktober 2024, menandakan kontraksi aktivitas pabrik dalam empat bulan berturut-turut.
Angka ini mencerminkan penurunan output dan pesanan baru di tengah lesunya permintaan domestik dan ketidakpastian global. Penurunan penjualan ekspor selama delapan bulan berturut-turut dan penyusutan ketenagakerjaan dalam tiga dari empat bulan terakhir memperkuat tanda-tanda bahwa sektor industri Indonesia tengah menghadapi tantangan besar.
Penurunan aktivitas manufaktur ini bisa memperpanjang pelemahan daya beli karena sektor ini adalah salah satu kontributor utama terhadap lapangan kerja dan pendapatan rumah tangga di Indonesia. Dengan berkurangnya permintaan global dan domestik, sektor industri menghadapi tekanan ganda yang bisa berdampak lebih lanjut pada kondisi ekonomi.
Di sisi lain, pelemahan daya beli konsumen membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan yang memposisikan produk mereka di segmen ‘value’ atau harga terjangkau.
PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) menjadi salah satu contoh emiten yang mampu bertahan dan bahkan mencatat pertumbuhan solid di segmen-segmen penting perseroan. Dengan positioning yang tepat, perusahaan ini berhasil mengambil keuntungan dari fenomena downtrading ketika konsumen beralih dari produk premium ke produk dengan harga lebih terjangkau.
Meski inflasi tahunan terus menurun, hal ini menunjukkan bahwa tekanan harga pada perekonomian Indonesia semakin berkurang, namun juga mengindikasikan bahwa pemulihan daya beli masyarakat masih jauh dari optimal.
Dengan ketidakpastian global yang terus membayangi, terutama dalam hal geopolitik dan perdagangan internasional, Indonesia perlu berhati-hati dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Ke depannya, kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung daya beli masyarakat akan menjadi kunci untuk mendorong kembali aktivitas konsumsi dan meningkatkan momentum pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, di sektor manufaktur, pemerintah perlu memperkuat inisiatif untuk mendukung industri dalam menghadapi tantangan eksternal dan meningkatkan produktivitas serta daya saing domestik.
Data inflasi pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa tekanan harga di Indonesia terus menurun, namun pelemahan daya beli masyarakat masih menjadi tantangan besar.
Meskipun inflasi bulanan kembali positif, hal ini sebagian besar didorong oleh kenaikan harga emas perhiasan, yang bukan merupakan tanda pemulihan yang luas di sektor konsumsi.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang berfokus pada produk ‘value’ tampaknya diuntungkan dari fenomena downtrading yang melanda banyak sektor. Pemerintah dan pelaku usaha perlu bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar, terutama di sektor manufaktur yang terus tertekan.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.