KABARBURSA.COM – Analis Komoditas Wahyu Tribowo mengungkapkan bahwa salah satu saham yang menarik perhatian selain PT Barito Pacific Tbk (BRPT) adalah PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA). Anak perusahaan BRPT ini melakukan ekspansi dengan mengakuisisi 80 persen saham Shell.
“Proses akuisisi ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Akuisisi itu diharapkan akan meningkatkan pendapatan TPIA hingga enam kali lipat, mendorong pemulihan yang menguntungkan,” kata Wahyu kepada kabarbursa.com, Minggu, 27 Oktober 2024.
Anak usaha TPIA seperti Chandra Daya Investasi telah melakukan spin-off. Langkah ini disebut mampu membuka nilai serta meningkatkan valuasi TPIA dan perusahaan induknya, yakni BRPT.
Wahyu mengungkapkan bahwa TPIA masuk ke dalam indeks standar global Morgan Stanley Capital International (MSCI) untuk emerging markets berdasarkan publikasi kuartalan yang diterbitkan di London pada 14 Mei 2024.
“Penambahan Chandra Asri Group dalam indeks standar global MSCI diharapkan dapat meningkatkan visibilitas TPIA kepada sejumlah investor institusional secara global. Diharapkan saham TPIA menghasilkan likuiditas yang lebih besar dan berpotensi mengurangi biaya modal,” jelas Wahyu.
Berbanding Kerugian Dan Kenaikan
Wahyu mengungkapkan bahwa TPIA mencatatkan kerugian pada kuartal I tahun 2024 sebesar Rp518 miliar dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya justru mencatatkan keuntungan sebesar Rp128 miliar.
Meski kinerja kurang bagus, lanjut dia, TPIA terus mencatatkan kenaikan saham. Sepanjang tahun 2024 saham TPIA telah melesat sekitar 50 persen.
“Kenaikan harga saham TPIA yang mulai terlihat pada akhir tahun 2023 justru didorong dari akuisisi perusahaan hingga masuk dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) Global Standard Index Indonesia, menggeser PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR),” ujarnya.
Selain akuisisi dan masuknya ke indeks MSCI Global Standar Index, TPIA juga melakuan ekspansi bisnis untuk mendorong kinerja keuangan perusahaan di masa mendatang.
TPIA menargetkan kinerja keuangan perseroan pada akhir 2024 berbalik positif stelah mencatatkan rugi bersih sepanjang paruh pertama tahun ini.
Sementara manajemen perusahaan mengatakan, industi petrokimia dalam negeri relatif tertekan akibat kondisi pasar global yang tidak menentu dan situasi geopolitik yang menekan margin perusahaan.
Kinerja Saham TPIA
Mengutip Stockbit, kinerja saham TPIA menunjukkan beberapa tantangan dan risiko. Dalam hal profitabilitas, perusahaan mencatatkan laba bersih negatif sebesar Rp.1,288 triliun (TTM), dengan Net Profit Margin pada kuartal terakhir sebesar -3,76 persen.
Angka EPS (Earnings Per Share) juga tercatat negatif di Rp.14,88, yang berarti ada kerugian yang diatribusikan pada pemegang saham. Buffett umumnya menghindari perusahaan dengan EPS dan margin laba negatif, karena ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang stabil.
Dari sisi valuasi, rasio Price-to-Earnings (P/E) berada pada -597,92, yang sangat tinggi dan menunjukkan valuasi pasar yang tidak sebanding dengan performa laba. Rasio Price-to-Book (P/B) yang mencapai 17,66 juga mengindikasikan bahwa harga saham diperdagangkan jauh di atas nilai bukunya, sebuah tanda yang kurang ideal dalam pendekatan Buffett yang biasanya memilih perusahaan undervalued dengan fundamental kuat.
Untuk solvabilitas, Debt-to-Equity Ratio berada pada angka 0,71, yang masih dalam batas aman. Mayoritas utang perusahaan adalah jangka panjang dengan LT Debt/Equity sebesar 0,62, memberikan fleksibilitas dalam pelunasan tanpa tekanan jangka pendek.
Dari sisi efisiensi operasional, Return on Equity (ROE) dan Return on Assets (ROA) negatif, masing-masing sebesar -2,95 persen dan -1,50 persen. Nilai negatif pada ROE dan ROA mengindikasikan rendahnya efisiensi manajemen dalam mengoptimalkan aset dan ekuitas yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan.
Free Cash Flow (TTM) perusahaan juga tercatat negatif sebesar Rp.1,183 triliun, mengindikasikan bahwa arus kas bersih setelah investasi dan pengeluaran masih dalam kondisi defisit. Buffett biasanya menghindari perusahaan dengan free cash flow negatif karena berarti perusahaan harus menambah utang atau mencari sumber pendanaan lain untuk menutupi kebutuhan operasional dan pengembangan.
Di sisi lain, pendapatan perusahaan mengalami penurunan dengan Revenue Growth Year-over-Year pada kuartal terakhir yang mencapai -21,84 persen. Penurunan ini menjadi sinyal risiko.
Dari sisi dividen, perusahaan membagikan dividen tahunan sebesar Rp.5,58, dengan yield sekitar 0,07 persen yang rendah, kurang menarik bagi investor yang mencari penghasilan pasif dari dividen. Meskipun harga saham mengalami kenaikan signifikan dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ini tampaknya tidak didukung oleh kinerja finansial yang solid.
Secara keseluruhan, saham ini tampak memiliki risiko tinggi mengingat kinerja finansial yang kurang stabil. Untuk jangka panjang, saham ini bisa cocok bagi investor dengan toleransi risiko tinggi yang berharap pada pemulihan kinerja operasional dan perbaikan profitabilitas.
Namun, untuk jangka menengah hingga panjang, disarankan untuk memantau perkembangan rasio profitabilitas dan arus kas perusahaan agar keputusan investasi lebih tepat.(*)