KABARBURSA.COM - Wall Street semakin terperosok, sementara dolar AS terus melambung tinggi pada penutupan perdagangan Kamis dini hari WIB, 24 Oktober 2024.
Wall Street kembali mengalami kejatuhan signifikan pada penutupan perdagangan Kamis, 24 Oktober 2024, dini hari WIB. Indeks utama pasar saham AS mencatat penurunan tajam di tengah melonjaknya imbal hasil obligasi dan meningkatnya kekhawatiran tentang prospek ekonomi global.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) di bursa efek New York anjlok 409,94 poin atau 0,96 persen menjadi 42.514,95. Ini merupakan penurunan terburuk sejak awal September, menandakan bahwa tekanan terhadap pasar semakin intens.
Indeks S&P 500 turun 53,78 poin atau 0,92 persen, ditutup pada level 5.797,42. Sementara itu, indeks Nasdaq Composite mencatat penurunan lebih tajam, merosot 296,47 poin atau 1,6 persen ke 18.276,65. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif selama tiga hari berturut-turut untuk ketiga indeks utama.
Penyebab utama kejatuhan ini adalah lonjakan imbal hasil Treasury 10 tahun yang mencapai 4,25 persen, level tertinggi sejak Juli 2024. Kenaikan imbal hasil obligasi ini terus membebani pasar saham, terutama sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga, seperti teknologi dan saham blue-chip.
Chief Investment Officer di Northwestern Mutual Wealth Management Brent Schutte, menjelaskan bahwa lonjakan suku bunga menjadi tekanan besar bagi pasar.
"Pasar sedang bereaksi terhadap dampak suku bunga yang lebih tinggi," katanya.
Ia juga menambahkan bahwa penurunan suku bunga oleh The Federal Reserve yang dimulai sejak September mungkin tidak cukup cepat untuk meredakan ketidakpastian pasar. Kekhawatiran tentang defisit fiskal AS juga memperburuk sentimen, terutama dengan potensi ketidakstabilan politik jika Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
Saham-saham teknologi besar merasakan dampak paling parah dari gejolak pasar ini. Apple dan Nvidia masing-masing turun lebih dari 2 persen, sementara saham Meta Platforms anjlok 3 persen. Netflix dan Amazon juga tidak luput dari tekanan, masing-masing kehilangan sekitar 2 persen.
Tidak hanya sektor teknologi, saham blue-chip seperti McDonald's juga terperosok. Saham perusahaan makanan cepat saji ini anjlok lebih dari 5 persen setelah CDC AS melaporkan wabah E-coli terkait menu Quarter Pounder mereka. Wabah ini telah menyebabkan 10 orang dirawat di rumah sakit dan satu korban meninggal dunia, semakin menambah beban sentimen negatif pasar.
Dengan kondisi pasar yang terus bergejolak, investor masih harus menghadapi tantangan dari faktor ekonomi global dan ketidakpastian suku bunga di masa mendatang.
Dolar Amerika Serikat kembali menunjukkan kekuatannya, melesat di atas 153 yen untuk pertama kalinya dalam hampir tiga bulan pada perdagangan hari ini. Kenaikan ini dipicu oleh penguatan ekonomi AS serta ekspektasi pasar terkait perbedaan laju pemangkasan suku bunga oleh bank sentral utama dunia.
Penguatan dolar yang konsisten mencerminkan sentimen positif terhadap perekonomian AS yang terus mencatatkan kinerja solid, di tengah meningkatnya imbal hasil obligasi AS dan ketidakpastian politik global.
Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap sekeranjang enam mata uang utama lainnya, naik 0,32 persen menjadi 104,43, mendekati level tertinggi sejak Juli. Penguatan ini dipicu oleh serangkaian data ekonomi AS yang positif, yang meredam ekspektasi bahwa Federal Reserve akan melakukan penurunan suku bunga dalam skala besar.
Menurut laporan dari Reuters, lonjakan imbal hasil obligasi AS memicu rally dolar, terutama terhadap yen Jepang, di mana greenback naik 0,99 persen menjadi 152,56, setelah mencapai puncak 153,18 yen. Kenaikan ini menandai penguatan dolar selama empat minggu berturut-turut dan merupakan hari ke-16 dari 18 sesi perdagangan di mana dolar mencatat penguatan.
Perbedaan kebijakan moneter antara Bank of Japan (BOJ) dan Federal Reserve menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pergerakan ini, mengingat BOJ masih bertahan pada kebijakan stimulus moneter yang longgar, sementara The Fed telah mulai menyesuaikan kebijakan suku bunganya.
Analis di Convera George Vessey, menyebut bahwa pasar saat ini tengah berada dalam transisi dari fase pertama pemulihan ekonomi AS menuju fase kedua yang akan lebih dipengaruhi oleh dinamika politik global. Salah satunya adalah pemilihan presiden AS pada 5 November mendatang, di mana ekspektasi akan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih turut memperkuat daya tarik dolar sebagai aset safe haven.
Trump dikenal dengan kebijakan ekonominya yang proteksionis, termasuk tarif perdagangan, yang diperkirakan dapat meningkatkan inflasi.
Meski Federal Reserve telah mulai menurunkan suku bunga sejak September, ekspektasi penurunan lebih lanjut mulai berkurang. Pasar memperkirakan kemungkinan sebesar 88,9 persen untuk pemotongan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan November, lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya.
Data ekonomi AS yang kuat, termasuk dari laporan Beige Book yang dirilis Rabu, menunjukkan aktivitas ekonomi sedikit berubah dari bulan sebelumnya, namun perusahaan masih melanjutkan tren peningkatan perekrutan. Hal ini memperkuat prospek pemangkasan suku bunga yang lebih kecil dari sebelumnya.
Di sisi lain, pasar juga mengamati kebijakan moneter dari bank sentral lain, seperti Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Canada. Christine Lagarde, Presiden ECB, menekankan bahwa keputusan penurunan suku bunga perlu dilakukan dengan hati-hati berdasarkan data yang masuk.
Sementara itu, Bank of Canada mengambil langkah yang lebih agresif dengan memangkas suku bunga 50 basis poin menjadi 3,75 persen, mengindikasikan tanda-tanda kembalinya negara tersebut ke era inflasi rendah.
Namun, dengan ekonomi AS yang terus menunjukkan tanda-tanda solid, dolar diperkirakan akan terus menguat dalam jangka pendek. Lonjakan imbal hasil obligasi dan ketidakpastian politik global, terutama terkait pemilu AS dan potensi pemerintahan koalisi minoritas di Jepang, semakin memperkuat daya tarik greenback di mata investor global.(*)