Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kebijakan Antidumping Beri Angin Segar Industri Baja Dalam Negeri

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 20 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Kebijakan Antidumping Beri Angin Segar Industri Baja Dalam Negeri

KABARBURSA.COM - kebijakan antidumping terbaru yang dikeluarkan pemerintah Indonesia merupakan katalis positif bagi sektor baja dan industri kimia dalam negeri. Hal itu dikatakan Miftahul Khaer dari dari Kiwoom Sekuritas Indonesia.

Dia menilai kebijakan ini dapat melindungi produsen lokal dari persaingan tidak sehat akibat masuknya produk impor yang dijual di bawah biaya produksi.

"Secara keseluruhan, kebijakan antidumping merupakan katalis yang positif bagi industri baja dalam negeri. Kebijakan ini melindungi produsen lokal dari persaingan harga tidak sehat dengan produk impor yang dijual lebih murah, dan ini menjadi salah satu isu utama di industri baja saat ini," jelas Miftahul kepada Kabar Bursa di Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024.

Lanjut Miftahul, dengan berkurangnya persaingan dari produk impor, produsen baja domestik berpotensi meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan. Kebijakan ini akan mendorong permintaan dan penjualan baja lokal, yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan-perusahaan di sektor tersebut.

"Produsen baja dalam negeri berpeluang besar untuk meningkatkan volume penjualan dan pendapatan mereka, seiring dengan berkurangnya persaingan dari produk impor," ujarnya.

Dampak Positif pada Nilai Tukar Rupiah

Selain memberikan perlindungan bagi industri lokal, Miftahul juga melihat adanya potensi dampak positif dari kebijakan antidumping ini terhadap nilai tukar rupiah.

Jika kebijakan ini mampu mendorong ekspor produk baja, hal ini akan memperbaiki neraca pembayaran Indonesia, yang pada gilirannya akan memperkuat nilai tukar rupiah.

"Jika ekspor baja meningkat berkat kebijakan ini, dampaknya akan terlihat pada penguatan nilai tukar rupiah, yang tentunya positif bagi perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing, termasuk sektor baja," ujarnya.

Risiko Retaliasi dari Negara Lain

Namun, di balik potensi peningkatan profitabilitas bagi perusahaan lokal, Miftahul juga mengingatkan adanya risiko retaliasi dari negara lain. Jika negara-negara pengimpor merasa dirugikan oleh kebijakan antidumping ini, mereka bisa saja memberlakukan kebijakan serupa terhadap produk Indonesia, yang pada akhirnya bisa memicu ketidakstabilan di sektor tertentu.

"Ada risiko retaliasi dari negara lain yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Jika terjadi, bisa memicu ketidakstabilan di sektor-sektor yang bergantung pada ekspor," ucap Miftahul.

Respon Pengusaha

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) merespons positif kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) untuk impor  ubin keramik dari China.

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menilai hal itu sebagai bentuk perlindungan terhadap praktik perdagangan tidak adil. Namun, menurut dia, tarif BMAD yang ditetapkan, yaitu antara 35 persen hingga 50 persen, masih di bawah ekspektasi asosiasi.

"Kami menghargai keputusan ini, meskipun tarif BMAD yang diberlakukan masih di bawah harapan kami. Kami berharap bisa meniru negara-negara seperti Meksiko dan Amerika Serikat yang menerapkan tarif di atas 100 persen," kata Edy.

Meski demikian, Edy optimistis kebijakan BMAD ini akan membantu membangkitkan kembali industri keramik nasional yang selama hampir satu dekade terakhir mengalami keterpurukan, menyebabkan beberapa pabrik tutup dan menurunkan tingkat utilisasi produksi.

Ia memperkirakan, penerapan BMAD bersama dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 36 Tahun 2024 tentang SNI Wajib, akan meningkatkan utilisasi produksi keramik nasional dari 63 persen menjadi 67-68 persen pada akhir 2024. Edy juga menargetkan tingkat utilisasi produksi akan mencapai 80 persen pada 2025 dan 90 persen pada 2026.

Saat ini, Indonesia berada di posisi keempat dunia dari segi kapasitas produksi keramik dengan 675 juta meter persegi per tahun, di bawah China, India, dan Brazil. Namun, secara produksi aktual, Indonesia masih di urutan kedelapan.

"Asaki menargetkan untuk masuk dalam lima besar produsen keramik dunia pada 2025 versi Ceramic World Review," ujarnya.

Edy juga yakin bahwa penerapan BMAD, SNI Wajib, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) akan menarik investasi baru, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk dari China. Hal ini diharapkan menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu, ia melihat peluang ekspansi industri keramik di Indonesia masih besar, mengingat konsumsi keramik per kapita di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, serta jauh tertinggal dari Vietnam dan China.

Dengan adanya kebijakan BMAD ini, Edy berharap industri keramik nasional dapat mendukung program pembangunan rumah rakyat sebanyak 3 juta unit per tahun yang diusung oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, karena kebutuhan bahan bangunan seperti ubin keramik akan meningkat. 

Ia juga menekankan pentingnya perpanjangan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (safeguard) pada November mendatang untuk melengkapi kebijakan BMAD yang dinilai masih belum optimal. (*)