KABARBURSA.COM - Dua pekan berturut-turut, harga minyak global berada di level terendahnya. Pada hari ini, Kamis, 17 Oktober 2024, harga minyak global mengalami penurunan tajam sekitar 7 persen dari tiga hari sebelumnya.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan internasional, ditutup turun 3 sen menjadi USD74,22 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat juga melemah 19 sen, atau 0,3 persen, menjadi USD70,39 per barel. Kedua patokan minyak ini berada di level terendah sejak 2 Oktober, memperpanjang tren pelemahan selama dua hari berturut-turut.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi penurunan tersebut. Salah satunya adalah prospek pertumbuhan permintaan minyak yang lebih rendah.
Badan Energi Internasional (IEA) dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengoreksi perkiraan mereka terkait pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2024, dengan China menjadi kontributor utama terhadap penurunan ini. Meski China diperkirakan akan menambah stimulus fiskal sekitar 6 triliun yuan (USD850 miliar) melalui obligasi khusus untuk merangsang ekonomi yang melambat, langkah ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap harga minyak.
Selain itu, meredanya kekhawatiran atas gangguan pasokan minyak di Timur Tengah juga mempengaruhi harga. Awal minggu ini, laporan media menyebutkan bahwa Israel tidak akan menyerang fasilitas nuklir dan minyak Iran. Hal ini membantu menenangkan pasar yang sebelumnya khawatir akan eskalasi konflik di wilayah tersebut.
Diketahui, Iran, sebagai salah satu anggota OPEC, memproduksi sekitar 4 juta barel minyak per hari pada 2023, dengan ekspor diperkirakan mencapai 1,5 juta barel per hari pada 2024.
Namun, meski ketegangan dengan Iran sedikit mereda, kekhawatiran akan eskalasi konflik antara Israel dan kelompok-kelompok yang didukung Iran, seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman, masih tetap ada. Situasi ini berpotensi mempengaruhi stabilitas pasokan minyak di masa depan.
IEA memperkirakan permintaan minyak global akan mencapai puncaknya sebelum 2030, dengan angka mendekati 102 juta barel per hari. Namun, pada tahun 2035, permintaan diperkirakan akan turun menjadi sekitar 99 juta barel per hari.
Proyeksi ini sejalan dengan tren jangka panjang yang menunjukkan penurunan permintaan, seiring dengan peralihan ke energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi di seluruh dunia.
Walau begitu, data ekonomi positif dari Amerika Serikat dan Eropa membantu membatasi penurunan yang lebih dalam. Di Eropa, meski pertumbuhan ekonomi zona euro masih suam-suam kuku, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan tanda-tanda positif. Sementara di AS, harga impor turun tajam pada September, menandakan prospek inflasi yang lebih jinak.
Hal ini membuka peluang bagi Federal Reserve untuk melanjutkan kebijakan penurunan suku bunga yang dimulai pada September 2024, setelah sebelumnya menaikkan suku bunga secara agresif untuk meredam inflasi.
Penurunan suku bunga di AS juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dancpada gilirannya meningkatkan permintaan minyak. Namun, dengan tren permintaan minyak global yang melemah, terutama dari China, dampak ini diperkirakan tidak akan cukup untuk membalikkan tren penurunan harga minyak dalam jangka pendek.
Dari sisi pasokan, laporan mingguan penyimpanan minyak di Amerika Serikat yang akan dirilis oleh American Petroleum Institute (API) dan Badan Informasi Energi AS (EIA) menjadi sorotan pasar.
Analis memproyeksikan perusahaan energi AS akan menambah sekitar 1,8 juta barel minyak mentah ke penyimpanan selama pekan yang berakhir 11 Oktober. Jika proyeksi ini tepat, maka ini akan menjadi peningkatan stok selama tiga pekan berturut-turut, yang terakhir kali terjadi pada April.
Penambahan stok ini juga mencerminkan tren penurunan permintaan yang lebih luas di pasar energi global. Pada periode yang sama tahun lalu, stok minyak AS justru mengalami penarikan sebesar 4,5 juta barel, menunjukkan perbedaan dinamika pasar yang signifikan antara tahun ini dan tahun sebelumnya.
Penurunan harga minyak yang terjadi baru-baru ini merupakan kombinasi dari prospek permintaan global yang lebih rendah, meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, serta penambahan stok minyak di Amerika Serikat.
Meski ada dukungan dari ekonomi AS dan Eropa, serta potensi peningkatan permintaan akibat penurunan suku bunga, kekuatan pasar global tampaknya tetap mendikte tren penurunan harga minyak dalam waktu dekat. Di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global, dinamika pasar energi akan terus diawasi oleh para pelaku pasar dan analis.(*)