KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia merosot lebih dari 4 persen pada Selasa, 15 Oktober 2024, mencapai titik terendah dalam hampir dua pekan. Penurunan ini terjadi seiring melemahnya prospek permintaan dan laporan media yang menyebut Israel tidak akan menyerang fasilitas nuklir dan minyak Iran, meredakan kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent jatuh USD3,21 atau 4,14 persen menjadi USD74,25 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) anjlok USD3,25 atau 4,4 persen ke level USD 70,58 per barel.
Kedua acuan harga minyak tersebut sebelumnya sempat turun hingga USD4, mencapai level terendah sejak awal Oktober, setelah pada perdagangan Senin, 14 Oktober 2024, keduanya turun sekitar 2 persen.
"Kami melihat pelepasan 'premi perang' yang sempat membayangi pasar minggu lalu. Saat ini, masalah yang dihadapi lebih pada risiko terhadap pasokan dan permintaan, bukan pasokan itu sendiri," kata Phil Flynn, Analis Senior di Price Futures Group.
Sepanjang minggu ini, harga minyak Brent dan WTI telah melemah sekitar USD5, hampir menghapus seluruh kenaikan kumulatif sebelumnya setelah investor khawatir Israel mungkin akan menyerang fasilitas minyak Iran sebagai respons atas serangan misil Tehran pada 1 Oktober lalu.
Namun, menurut laporan Washington Post, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada Amerika Serikat bahwa Israel hanya akan menargetkan fasilitas militer Iran, dan bukan fasilitas nuklir atau minyak.
Selain itu, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA) kompak memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2024, dengan penurunan terbesar berasal dari China.
Kendati OPEC masih memproyeksikan pertumbuhan permintaan yang lebih kuat dibandingkan IEA, Analis John Evans dari PVM menyebut revisi ini sebagai ‘pengakuan atas ekspektasi yang terlalu optimistis’.
Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, memperkirakan OPEC+ akan mengubah rencana produksi mereka untuk akhir tahun ini. "Saya pikir OPEC+ akan menunda rencana peningkatan produksi yang direncanakan tahun ini," ucap Lipow.
Lipow menambahkan bahwa harga minyak saat ini berada di bawah tingkat yang diperlukan oleh banyak negara produsen untuk memenuhi kebutuhan anggaran nasional mereka.
Harga minyak mentah global jatuh 2 persen pada Senin, 14 Oktober 2024 akibat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2024 dan 2025 dan impor minyak China turun untuk bulan kelima berturut-turut.
Seperti dikutip dari Reuters, futures Brent turun USD1,58 atau 2 persen, ditutup pada USD77,46 per barel. Futures minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) turun USD1,73 atau 2,29 persen menjadi USD73,83 per barel. Brent sebelumnya naik 99 sen minggu lalu, sedangkan WTI naik USD1,18.
Yang pertama, OPEC memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun 2024 pada Senin, 14 Oktober 2024. Organisasi ini juga menurunkan proyeksi untuk tahun depan, menandai revisi penurunan ketiga berturut-turut dari kelompok produsen tersebut.
Di sisi lain, rencana stimulus China gagal meningkatkan kepercayaan investor. China, sebagai importir minyak mentah terbesar di dunia, menjadi penyumbang utama dalam penurunan proyeksi 2024, dengan OPEC memangkas perkiraan pertumbuhan untuk negara tersebut menjadi 580.000 barel per hari (bpd) dari 650.000 bpd.
Impor minyak mentah China untuk sembilan bulan pertama tahun ini turun hampir 3 persen dari tahun lalu menjadi 10,99 juta barel per hari, menurut data yang ditunjukkan.
Penurunan permintaan minyak China yang disebabkan oleh meningkatnya adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV), serta melambatnya pertumbuhan ekonomi setelah pandemi COVID-19, menjadi beban bagi konsumsi dan harga minyak global.
Tekanan deflasi China juga memburuk pada bulan September, menurut data resmi yang dirilis pada Sabtu, 12 Oktober 2024. Sebuah konferensi pers pada hari yang sama membuat investor bertanya-tanya tentang ukuran keseluruhan paket stimulus untuk membangkitkan kembali perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
“Kurangnya garis waktu yang jelas dan tidak adanya langkah-langkah untuk mengatasi masalah struktural, seperti lemahnya konsumsi dan ketergantungan pada investasi infrastruktur, hanya meningkatkan ambiguitas di antara pelaku pasar,” kata Mukesh Sahdev, kepala pasar komoditas global di Rystad Energy.
Indeks harga konsumen tidak memenuhi ekspektasi, dan indeks harga produsen turun pada laju tercepat dalam enam bulan, turun 2,8 persen secara tahunan, menurut Biro Statistik Nasional China.
“Indeks harga konsumen dari China menunjukkan tren deflasi yang berkelanjutan dan konsumsi domestik yang lebih lemah meskipun pihak berwenang telah mengumumkan stimulus moneter yang paling agresif pada bulan September,” kata Priyanka Sachdeva, seorang analis di Phillip Nova, dalam sebuah catatan.
Analis pasar IG, Tony Sycamore, menyebut pengarahan oleh kementerian keuangan China pada hari Sabtu, 13 Oktober 2024 sebagai “kegagalan.”(*)