Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonomi Stagnan Lima Persen, Indonesia Emas 2045 Terancam Mundur

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 12 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Ekonomi Stagnan Lima Persen, Indonesia Emas 2045 Terancam Mundur

KABARBURSA.COM - Selama 10 tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh stagnan di kisaran 5 persen. Menurut pengamat ekonomi Salamuddin Daeng yang juga Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), angka tersebut memang tidak buruk, namun juga tidak mencerminkan kemajuan yang signifikan. 

“Kondisi ini boleh dibilang tidak terlalu bagus, tapi juga tidak terlalu jelek. Ini angka aman,” ujar Daeng kepada Kabarbursa.com, Minggu, 12 Oktober 2024.

Selama periode tersebut, bahkan saat pandemi melanda dan menekan pertumbuhan ekonomi hingga negatif, Indonesia kembali ke angka 5 persen setelahnya. Namun, menurut Daeng, pencapaian ini sebenarnya tidak mencerminkan potensi ekonomi Indonesia yang besar.

“Banyak yang bertanya, kenapa cuma 5 persen? Padahal banyak sekali yang dibangun, sumber daya alam dieksploitasi, utang diambil untuk mendorong pertumbuhan. Tapi hasilnya hanya 5 persen,” jelasnya.

Daeng menilai bahwa angka 5 persen ini tampak lebih besar dari yang sebenarnya karena sering dirayakan dan dipuji melalui berbagai saluran, terutama media sosial.

Lebih lanjut, ia menyoroti bagaimana para pejabat pemerintah sering mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga, baik yang berbayar maupun tidak, yang turut memperkuat kesan bahwa pertumbuhan 5 persen itu sudah cukup besar.

Program dan Hasil 5 Persen

Menurut Daeng, salah satu alasan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar di 5 persen adalah karena kebijakan yang diambil juga bersifat "biasa-biasa saja". Program-program yang dirancang, para pelaku kebijakan, serta hasil akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir orang.

"Pertumbuhan ekonomi 5 persen itu datang dari program 5 persen atau program yang biasa-biasa saja, dijalankan oleh aktor 5 persen, dan hasilnya dinikmati oleh 5 persen orang," katanya.

Ia menjelaskan bahwa sejak era reformasi, berbagai usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi justru menyebabkan ketidakseimbangan dan masalah baru. 

"Kita menggeber eksploitasi sumber daya alam, yang akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan. Mengembangkan sektor properti, yang sekarang malah oversupply rumah. Dan menggeber infrastruktur, yang sekarang juga oversupply seperti listrik dan bandara," papar Daeng.

Semua usaha tersebut, menurutnya, hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen.

Indonesia Emas 2045 Terancam Mundur

Daeng mengingatkan bahwa jika Indonesia terus berada di jalur pertumbuhan ekonomi yang lambat seperti sekarang, cita-cita untuk mencapai Indonesia Emas 2045 bisa terancam tertunda.

 “Jika ingin mencapai target Indonesia Emas, kita mungkin harus menundanya hingga tahun 2145, atau 200 tahun setelah kemerdekaan. Karena untuk menggandakan kondisi ekonomi saat ini, kita butuh waktu 50 tahun lagi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, Indonesia membutuhkan waktu hingga 150 tahun lagi. Satu-satunya cara untuk mempercepat proses tersebut, menurut Daeng, adalah dengan memanfaatkan aset yang tersembunyi seperti dana Rp11.000 triliun. 

Namun, untuk mencairkan dana tersebut, dibutuhkan proses yang sangat rumit dan memerlukan ketepatan dalam banyak hal, mulai dari kata sandi hingga PIN.

"Mungkin hanya bisa dilakukan oleh Satrio Pambukaning Rekening. Tapi kalau belum bisa, ya sudahlah. Buat apa juga mengejar dunia, enggak akan ada habisnya," tutupnya.

Ekonomi Indonesia tak Lazim

Secara terpisah, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024 secara bulanan. Deflasi ini merupakan yang kelima secara berturut-turut sejak Mei 2024. Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anis Byarwati, menyebut perekonomian Indonesia tengah berada dalam situasi yang tidak biasa.

Menurutnya, deflasi yang terjadi secara beruntun menunjukkan adanya tekanan serius pada perekonomian nasional. “Situasi ini tidak lazim, sekaligus menandakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa,” kata Anis dalam keterangannya yang dikutip Jumat, 11 Oktober 2024.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menggambarkan, deflasi berturut-turut pertama kali terjadi pada Mei 2024 lalu, sebesar 0,03 persen (mtm), Juni menyentuh 0,08 persen dan tak lebih baik pada Juli dengan 0,18 persen. “Deflasi kemudian mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03 persen. Deflasi kembali memburuk pada bulan September 2024 terlihat lebih dalam 0,12 persen, merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” ungkapnya.

Menurut Anis, jika diamati lebih dalam, di lima bulan terakhir deflasi terjadi diikuti dengan perlambatan indikator-indikator makro ekonomi yang terjadi. Adapun deflasi yang terjadi juga menandakan turunnya daya beli masyarakat.

“Penurunan daya beli ini terjadi karena adanya fenomena penurunan jumlah middle class income, selain itu penutupan pabrik di sektor industri manufaktur membuat gelombang PHK. Sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian menahan konsumsinya,” katanya.

Anis juga menyebut fenomena deflasi ini perlu dikaji dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi demand (permintaan) dan sisi supply (penawaran), sehingga bisa terlihat fenomena deflasi terhadap perekonomian nasional yang terjadi dalam lima bulan terakhir.

Menurut Legislator Perempuan PKS ini, terjadinya perlambatan ekonomi global bisa menjadi pemicu turunnya permintaan konsumen (consumer demand) secara global, termasuk Indonesia. Adapun hal itu tercermin dari kredit perbankan tumbuh 12,36 persen (yoy) di per tengahan tahun ini.

“Pertumbuhan kredit perbankan tersebut, banyak ditopang oleh kredit usaha besar (korporasi), tumbuh 15,89 persen (yoy). Sayangnya, pertumbuhan kredit korporasi tidak mengalir ke sektor UMKM hanya tumbuh 5,68 persen (yoy). Begitu pula dengan sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri 9,94 persen (yoy) dan perdagangan 9,87 persen (yoy),” ungkapnya.

Anis menyebut, dari sisi dunia usaha terlihat bahwa, indikator dunia usaha juga menunjukkan tekanan, yaitu dari data Purchase Managers’ Index (PMI), yang menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan, dan bahkan sejak bulan Juli 2024 mengalami kontraksi, yaitu indikator PMI yang turun di bawah 50.

“Indeks PMI Indonesia mengalami kontraksi, berada pada zona merah atau tidak ada perubahan di bawah angka 50,0 selama tiga bulan berturut-turut, hingga September 2024,” katanya.

Politikus PKS ini menyebutkan bahwa, Indikator-indikator ekonomi dan keuangan tersebut, menunjukkan bahwasanya perekonomian Indonesia sedang mengalami tekanan yang tidak ringan, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.

“Oleh sebab itu, Pemerintah dan BI perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menggairahkan kembali perekonomian. Salah satunya mempertimbangkan kembali kenaikan PPN sebesar 12 persen tahun 2025 dan kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia lebih rendah,” pungkasnya. (*)