KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia ditutup melonjak sekitar empat persen pada perdagangan Kamis, 10 Oktober 2024. Hal ini nampak berimbas positif terhadap emiten minyak dan gas (migas) di Indonesia hari ini. Mengutip Stockbit pada penutupan sesi I perdagangan Jumat, 11 Oktober 2024, sektor energi terpantau menghijau dengan kinerja +0,88 persen.
Mayoritas emiten migas yang terdapat di sektor tersebut, juga nampak berada di posisi hijau. Emiten-emiten tersebut di antaranya:
Beli MEDC dan PGAS
Tensi geopolitik di Timur Tengah masih menjadi sorotan banyak pihak. Sebab, konflik di wilayah tersebut bisa mempengaruhi harga minyak dunia. Dengan naik atau turunnya harga minyak dunia itu, emiten minyak dan gas di Indonesia berpotensi terdampak. Namun, emiten MEDC dan PGAS diklaim bisa bertahan dari sentimen konflik di Timur Tengah.
Senior Equity Analyst NH Korindo Sekuritas Ezaridho Ibnutama, mengatakan MEDC kemungkinan besar tidak akan terpengaruh dengan situasi di Timur Tengah.
“Mereka (MEDC) mungkin tidak terpengaruh dengan harga index untuk brand crude atau WTI oil prices,” ujar dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 11 Oktober 2024.
Pria yang akrab disapa Ezar itu melihat, MEDC saat ini tengah fokus meningkatkan volume produksi dan sales untuk tahun ini. Selain itu, MEDC juga telah memiliki kontrak pembelian dari tiga atau satu tahun sebelumnya. Hal inilah yang membuat MEDC tidak terpengaruh konflik di Timur Tengah.
“Mereka (MEDC) itu bisa mendapatkan keuntungan yang jauh lebih baik. Fundamental lebih stabil dan lebih layak untuk dibeli,” ungkap Ezar.
Di sisi lain, Ezar melihat PGAS juga patut disoroti karena emiten ini mengelola fasilitas di Pertamina. Tak hanya itu, dia juga memandang secara fundamental dan pembagian deviden PGAS juga sangat baik.
“Kami melihat bahwa banyak dari fundamental mereka juga sangat baik. Secara dividen juga sangat menarik untuk PGAS,” jelas dia.
Dorong Kenaikan Harga Minyak 4 Persen
Diberitakan sebelumnya, harga minyak mentah dunia melonjak sekitar 4 persen pada perdagangan Kamis, 10 Oktober 2024, akibat tiga penyebab utama, antara lain lonjakan penggunaan bahan bakar di Amerika Serikat (AS) sebelum badai Milton.
Dikutip dari Reuters, minyak Brent naik USD2,82 atau 3,7 persen menjadi menetap di level USD79,40 per barel, sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di pasar berjangka AS naik USD2,61 atau 3,6 persen menjadi USD75,85.
Badai tersebut, yang menerjang negara bagian Florida, mengakibatkan seperempat stasiun bahan bakar dan menyebabkan pemadaman listrik di lebih dari 3,4 juta rumah dan bisnis.
“Penutupan beberapa terminal produk, penundaan pengiriman truk tangki, dan gangguan pada pergerakan pipa kemungkinan akan memengaruhi pasokan hingga minggu depan mengingat luasnya pemadaman listrik,” kata analis di perusahaan penasihat energi Ritterbusch and Associates dalam sebuah catatan.
“Ketidakpastian besar ini di seluruh infrastruktur minyak bumi Florida secara umum telah mendukung nilai bensin,” lanjut Ritterbusch.
Pada gilirannya, harga bensin berjangka AS memimpin kenaikan dalam kompleks energi, ditutup naik sekitar 4,1 persen pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Tolok ukur minyak mentah melonjak awal bulan ini adalah risiko pasokan dari Timur Tengah, sebagai pemicu kedua kenaikan harga ini. Ini terjadi setelah Iran meluncurkan lebih dari 180 rudal ke Israel pada 1 Oktober 2024, meningkatkan prospek pembalasan terhadap fasilitas minyak Iran. Karena Israel belum merespons, tolok ukur minyak mentah telah kembali turun dan tetap relatif stabil sepanjang minggu.
Namun investor tetap waspada, mengingat Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant berjanji bahwa setiap serangan terhadap Iran akan mematikan, presisi, dan mengejutkan.
Di Yaman, Houthi mengatakan bahwa mereka menargetkan kapal-kapal di Laut Merah dan Samudra Hindia. Houthi telah meluncurkan serangan terhadap pengiriman internasional di dekat Yaman sejak November lalu sebagai solidaritas dengan Palestina dalam perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.
Negara-negara Teluk, sementara itu, melobi Washington untuk menghentikan Israel menyerang situs-situs minyak Iran karena mereka khawatir fasilitas minyak mereka sendiri dapat menjadi sasaran serangan dari sekutu-sekutu Teheran jika konflik meningkat.
Permintaan konsumsi energi AS dan China menjadi penyebab ketiga yang membuat harga minyak naik sekitar 4 persen. Dalam langkah yang dapat meningkatkan permintaan minyak di konsumen minyak terbesar kedua di dunia, China menerbitkan rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mempromosikan pengembangan sektor swasta. Langkah terbaru negara tersebut untuk meningkatkan kepercayaan investor di tengah perlambatan ekonomi.
Di AS, pasar semakin yakin bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga pada bulan November mendatang setelah data menunjukkan peningkatan klaim pengangguran mingguan dan kenaikan inflasi tahunan yang terendah sejak Februari 2021.
“Pertarungan antara angka pekerjaan AS dan data inflasi terkait prospek kebijakan The Fed masih belum terselesaikan, dasar asumsi kami tetap pada pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada November dan Desember,” kata analis di ING, sebuah bank, dalam catatannya.
Setelah menaikkan suku bunga secara agresif pada 2022 dan 2023 untuk meredam lonjakan inflasi, The Fed mulai menurunkan suku bunga pada bulan September.
Suku bunga yang lebih rendah mengurangi biaya pinjaman bagi konsumen dan bisnis, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.