Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Pangan Hari ini: Ayam dan Telur Naik, Cabai Rawit Merah Turun

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Harga Pangan Hari ini: Ayam dan Telur Naik, Cabai Rawit Merah Turun

KABARBURSA.COM - Badan Pangan Nasional (Bapanas) melaporkan sejumlah perubahan harga pangan pada Rabu, 9 Oktober 2024, pagi. Harga daging ayam ras dan telur ayam terpantau naik, sementara cabai rawit merah mengalami penurunan signifikan sebesar Rp3.239, menjadi Rp42.270 per kilogram.

Berdasarkan data Panel Harga Bapanas pukul 07.00 WIB, harga beras premium turun 2,65 persen atau Rp410 menjadi Rp15.080 per kilogram di tingkat pedagang eceran secara nasional. Beras medium juga mengalami penurunan 1,85 persen atau Rp250 menjadi Rp13.300 per kilogram. Namun, harga beras stabilitas pasokan dan harga pangan (SPHP) dari Bulog sedikit naik 0,24 persen atau Rp30 menjadi Rp12.580 per kilogram.

Untuk komoditas lainnya, harga bawang merah turun 6,43 persen atau Rp1.830 menjadi Rp26.640 per kilogram, dan bawang putih bonggol turun tipis 0,13 persen atau Rp50 menjadi Rp39.640 per kilogram.

Sementara itu, harga cabai merah keriting naik 6,50 persen atau Rp1.990 menjadi Rp32.610 per kilogram, sedangkan cabai rawit merah turun 7,10 persen atau Rp3.239 menjadi Rp42.270 per kilogram.

Di sektor daging, harga daging sapi murni turun 2,28 persen atau Rp3.070 menjadi Rp131.560 per kilogram. Sebaliknya, harga daging ayam ras naik tipis 0,12 persen atau Rp40 menjadi Rp34.680 per kilogram, dan telur ayam ras juga naik 0,28 persen atau Rp80 menjadi Rp28.550 per kilogram.

Harga kedelai biji kering impor mengalami kenaikan 1,30 persen atau Rp140 menjadi Rp10.910 per kilogram, sementara gula konsumsi naik 3,52 persen atau Rp630 menjadi Rp18.520 per kilogram.

Di sektor minyak goreng, minyak goreng kemasan sederhana naik 4,46 persen atau Rp810 menjadi Rp18.980 per kilogram, dan minyak goreng curah naik 1,82 persen atau Rp300 menjadi Rp16.750 per kilogram.

Harga tepung terigu curah turun 2,27 persen atau Rp230 menjadi Rp9.920 per kilogram, sedangkan tepung terigu non-curah turun 1,07 persen atau Rp140 menjadi Rp12.960 per kilogram.

Untuk jagung, harganya di tingkat peternak turun 5,50 persen atau Rp330 menjadi Rp5.670 per kilogram. Namun, garam halus beryodium naik 1,39 persen atau Rp160 menjadi Rp11.650 per kilogram.

Harga ikan kembung naik 5,31 persen atau Rp1.970 menjadi Rp39.100 per kilogram, sedangkan ikan tongkol melonjak 11,11 persen atau Rp3.500 menjadi Rp34.990 per kilogram. Ikan bandeng juga mengalami kenaikan hingga 10,21 persen atau Rp3.400 menjadi Rp36.710 per kilogram.

Krisis Pangan

Kenaikan harga pangan di pasar domestik seperti ayam ras, telur, dan komoditas lainnya turut mencerminkan tantangan yang dihadapi sektor pangan di Indonesia. Di tengah tren proteksionisme global dan gangguan pasokan internasional, kondisi ini semakin memperburuk situasi pangan nasional. Lembaga riset ekonomi Bright Institute juga telah memperingatkan bahwa Indonesia berpotensi menghadapi krisis pangan yang lebih serius.

Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti ketidakpastian kondisi pangan global yang semakin mengkhawatirkan, dengan gangguan pasokan beras dunia dan semakin menguatnya kebijakan proteksionisme negara-negara produsen pangan.

“Kekhawatiran akan krisis pangan yang meluas pada tahun-tahun mendatang, membuat beberapa negara mengamankan persediaannya, termasuk membatasi ekspornya,” kata dia dalam keterangan yang dikutip Rabu, 9 Oktober 2024.

Menurut Awalil, situasi ini jelas bukan kabar baik bagi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, tren proteksionisme semakin menguat. Negara-negara produsen pangan yang sebelumnya berorientasi pada perdagangan global kini beralih fokus pada ketahanan pangan domestik, terutama di tengah guncangan geopolitik.

Dengan populasi mencapai 285 juta yang terus bertambah, Indonesia berada dalam posisi rawan. Ia mewanti-wanti bahwa ancaman kerawanan pangan jauh lebih serius dari yang selama ini diperkirakan.

Yang lebih mengejutkan, kata dia, kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019 dan 2020—2024 yang disusun di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyoroti masalah tersebut, namun implementasinya dinilai jauh dari harapan.

“RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024 sudah menyoroti persoalan ini,” katanya.

Tetapi sayangnya, realisasi dari perhatian tersebut jauh dari ekspektasi. Skor Global Food Security Index (GFSI), yang menjadi salah satu indikator utama keberhasilan, justru anjlok.

Pada 2018, indeks ini pernah mencapai angka 63,60, tetapi sejak 2019 terus menurun, dan di tahun 2022 hanya menyentuh 60,2. “Target RPJMN 2024 sudah tak mungkin tercapai,” ujarnya.

Kondisi ini diperburuk dengan turunnya porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian selama era Jokowi. Selama 2014, tanaman pangan masih memegang porsi 24,35 persen, namun di tahun 2023, angkanya jatuh ke 18,02 persen.

Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengungkapkan penurunan ini disebabkan oleh besarnya fokus pemerintah terhadap perkebunan, terutama kelapa sawit yang berorientasi ekspor.

Ironisnya, produksi tanaman pangan penting seperti padi, kedelai, kacang tanah, dan ubi kayu justru menurun. Bahkan, produksi jagung dan daging ternak besar stagnan selama sepuluh tahun terakhir. “Program food estate belum bisa memperbaiki situasi ini,” ujar Andri.

Yang mencolok, kata Andri, peningkatan hanya terlihat pada produksi daging ayam dan telur, yang sering dianggap sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat. “Daging ayam dan telur sering dianggap sebagai barang inferior dibanding jenis daging lainnya,” katanya.