Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Krisis Pangan Makin Mengancam, Indonesia di Ambang Bahaya?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Krisis Pangan Makin Mengancam, Indonesia di Ambang Bahaya?

KABARBURSA.COM - Lembaga riset ekonomi Bright Institute memberikan peringatan mengenai ketidakpastian kondisi pangan global yang semakin mengkhawatirkan. Indonesia disebut-sebut berada di ambang krisis pangan yang sulit dihindari. Selain soal produksi, situasi geopolitik regional yang memanas turut memperburuk keadaan.

Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, mengatakan pasokan beras dunia mengalami gangguan signifikan, sementara permintaan tetap tinggi.

"Kekhawatiran akan krisis pangan yang meluas pada tahun-tahun mendatang, membuat beberapa negara mengamankan persediaannya, termasuk membatasi ekspornya,” kata dia dalam keterangan yang dikutip Rabu, 9 Oktober 2024.

Menurut Awalil, situasi ini jelas bukan kabar baik bagi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, tren proteksionisme semakin menguat. Negara-negara produsen pangan yang sebelumnya berorientasi pada perdagangan global kini beralih fokus pada ketahanan pangan domestik, terutama di tengah guncangan geopolitik.

Dengan populasi mencapai 285 juta yang terus bertambah, Indonesia berada dalam posisi rawan. Ia mewanti-wanti bahwa ancaman kerawanan pangan jauh lebih serius dari yang selama ini diperkirakan.

Yang lebih mengejutkan, kata dia, kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi sejak lama. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019 dan 2020—2024 yang disusun di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyoroti masalah tersebut, namun implementasinya dinilai jauh dari harapan.

"RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024 sudah menyoroti persoalan ini," katanya.

Tetapi sayangnya, realisasi dari perhatian tersebut jauh dari ekspektasi. Skor Global Food Security Index (GFSI), yang menjadi salah satu indikator utama keberhasilan, justru anjlok.

Pada 2018, indeks ini pernah mencapai angka 63,60, tetapi sejak 2019 terus menurun, dan di tahun 2022 hanya menyentuh 60,2. "Target RPJMN 2024 sudah tak mungkin tercapai," ujarnya.

Kondisi ini diperburuk dengan turunnya porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian selama era Jokowi. Selama 2014, tanaman pangan masih memegang porsi 24,35 persen, namun di tahun 2023, angkanya jatuh ke 18,02 persen.

Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengungkapkan penurunan ini disebabkan oleh besarnya fokus pemerintah terhadap perkebunan, terutama kelapa sawit yang berorientasi ekspor.

Ironisnya, produksi tanaman pangan penting seperti padi, kedelai, kacang tanah, dan ubi kayu justru menurun. Bahkan, produksi jagung dan daging ternak besar stagnan selama sepuluh tahun terakhir. “Program food estate belum bisa memperbaiki situasi ini,” ujar Andri.

Yang mencolok, kata Andri, peningkatan hanya terlihat pada produksi daging ayam dan telur, yang sering dianggap sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat. “Daging ayam dan telur sering dianggap sebagai barang inferior dibanding jenis daging lainnya,” katanya.

Di tengah ancaman krisis pangan global, Bright Institute menyimpulkan bahwa ketahanan pangan Indonesia jauh dari kata aman. Dalam 10 tahun terakhir, kebijakan pemerintah dianggap tidak cukup serius dalam mengatasi masalah ini sehingga kerawanan pangan menjadi tantangan yang nyata dan mendesak di masa mendatang.

"Populasi kita besar, sementara produksi terus menurun. Konsumsi meningkat, dan akhirnya kita hanya bergantung pada impor,” kata Andri.

Bangun 50 Bendungan

Kondisi kerawanan pangan yang semakin mengkhawatirkan menuntut adanya langkah konkret untuk menjaga ketahanan pangan di masa depan. Salah satu upaya yang disorot pemerintah adalah memastikan ketersediaan infrastruktur penunjang, terutama di sektor pertanian. Di tengah tantangan suplai pangan global, pemerintah terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tampaknya menyadari pentingnya peran infrastruktur dalam mendukung ketahanan pangan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, mengungkapkan pemerintahan baru tersebut berencana membangun 50 bendungan dalam lima tahun ke depan sebagai langkah strategis menjaga stabilitas pangan nasional.

“Saat ini kita punya 300 bendungan, nanti selesai 60. Insya Allah pemerintah mendatang akan membangun 50 bendungan selama lima tahun,” kata Menteri Basuki saat ditemui di kantor Kementerian PUPR, Jakarta Selatan, Jumat, 2 Agustus 2024, lalu.

Menurut Basuki, bendungan perlu dibangun karena tidak semua pulau di Indonesia punya bendungan. Kehadiran infrastruktur itu diperlukan tidak hanya untuk irigasi pertanian tetapi juga air baku.

Selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, pemerintah telah membangun 60 bendungan. Kini, total bendungan di Tanah Air mencapai 300. Dia menyebutkan pembangunan 60 bendungan tersebut berdampak terhadap meningkatkan irigasi air ke lahan

Jumlahnya mencapai 19 persen sampai 20 persen dari total area irigasi nasional. Angka ini sebelumnya bertengger 11 persen untuk total 7,3 juta hektare lahan. “Dengan pembangunan 60 bedungan ini akan bisa menyuplai irigasi 19 persen atau 20 persen dari total area irigasi. Kenapa? karena kalau air dari bendungan berarti bisa menanam minimal dua sampai tiga kali dalam setahun,” kata Basuki.

Sedangkan jika tanpa bendungan, kata Basuki, lahan pertanian hanya bisa memanen hasil paling banyak satu kali dalam setahun. Oleh karena itu, ia menilai pembangunan bendungan diperlukan untuk mendorong ketahanan pangan Indonesia.

“Kalau tidak ada suplai irigasi air hanya dari run off (hujan) saja, paling banyak satu kali panen saja, atau misalnya cuma bisa mengairi 100 sampai 115 hektar saja. Tapi, kalau ada irigasi bisa 200 atau bahkan 250 hektare pola atau indeks tanamnya,” katanya.(*)