KABARBURSA.COM - Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut satu, Ridwan Kamil, memperkenalkan program unggulannya dalam Pilkada 2024: pembagian dana Rp 100-200 juta per RW di Jakarta. Program ini, menurutnya, adalah salah satu bentuk desentralisasi ekonomi, di mana dana dikelola oleh RW untuk memenuhi kebutuhan lokal. Namun, di tengah euforia kampanye, muncul pertanyaan kritis terkait efektivitas desentralisasi ekonomi, mengingat desentralisasi fiskal di tingkat nasional selama dua dekade terakhir belum optimal mencapai pemerataan pembangunan.
Ridwan Kamil, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, membawa pengalaman panjangnya dalam mengelola desentralisasi di tingkat daerah ke Jakarta. Dalam debat Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung di JIExpo Kemayoran, Ahad, 6 Oktober 2024, Ridwan Kamil memaparkan mekanisme pelaksanaan program bantuan dana RW. Menurutnya, program ini didesain untuk memberikan kebebasan kepada RW dalam menyelesaikan masalah di lingkungan mereka secara mandiri.
"Tidak mungkin seluruh penjuru Jakarta diselesaikan dari Balaikota. Itulah mengapa kami percaya pada teori desentralisasi. Dana itu tidak dipegang cash oleh RW, tapi diakses melalui proposal yang diajukan ke kelurahan," jelas Ridwan.
Ridwan menggambarkan dana tersebut akan digunakan untuk berbagai kebutuhan spesifik di setiap RW, seperti kebersihan lingkungan, kegiatan Karang Taruna, dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Ia juga menekankan pengelolaan dana ini akan dilakukan dengan sistem yang transparan dan efisien, serta diawasi melalui petunjuk pelaksanaan dari gubernur.
"Ini untuk kebersihan karena masih kotor, silakan untuk kebersihan. Oh Karang Taruna tidak ada aktivitas, gunakan dana RW ini untuk kegiatan Karang Taruna," ujar Ridwan Kamil, memberikan contoh penggunaan dana tersebut.
Melalui program desentralisasi ekonomi ini, Ridwan berharap bisa membangun kemandirian ekonomi masyarakat di tingkat RW. Menurutnya, program ini tidak hanya memberikan dana secara instan, tetapi juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan dana yang mereka terima.
"Ini uang rakyat harus maslahat. Harus efisien. Insyaallah dalam lima tahun Jakarta berubah karena rakyat dipercaya dan rakyat juga pintar-pintar," katanya.
Namun, di balik optimisme Ridwan Kamil, ada catatan kelam mengenai efektivitas desentralisasi fiskal di tingkat nasional. Kepala Seksi Bank Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kementerian Keuangan Cabang Medan II, Mangappu Pasaribu, mengatakan pelaksanaan desentralisasi fiskal selama lebih dari dua dekade belum mencapai tujuan pemerataan pembangunan. Ia menyebut desentralisasi fiskal sering kali hanya dipahami sebagai kebebasan daerah untuk membelanjakan dana tanpa adanya sinergi yang jelas antara kebijakan fiskal nasional dan pelaksanaan di daerah.
"Desentralisasi fiskal selama ini dianggap sebagai kebebasan membelanjakan dana. Padahal, yang kita butuhkan adalah sinergi antara pusat dan daerah, bukan sekadar transfer anggaran," ujar Mangappu, dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Senin, 7 Oktober 2024.
Salah satu isu yang menonjol dalam desentralisasi fiskal adalah ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat. Mangappu menyebut sebagian besar APBD di daerah digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan porsi belanja modal yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik masih sangat kecil. Hal ini menyebabkan ketergantungan pada pusat semakin besar. Tujuan pemerataan pembangunan pun belum tercapai.
"Sementara daerah masih bergantung pada dana pusat dan belanja modal tidak diprioritaskan, pemerataan pembangunan hanya akan menjadi angan-angan belaka," ujarnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mendorong belanja daerah yang berkualitas.
Namun, meski ada reformasi melalui UU HKPD, Mangappu menilai implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar. Ketergantungan pada dana transfer, rendahnya PAD, dan kualitas belanja daerah yang belum memadai masih menjadi kendala utama yang perlu diatasi.
Dengan latar belakang tersebut, pertanyaan besar muncul, apakah desentralisasi ekonomi yang diusulkan Ridwan Kamil di Jakarta akan menghadapi tantangan serupa dengan desentralisasi fiskal nasional?
Meskipun Ridwan Kamil menawarkan mekanisme pengelolaan dana melalui kelurahan dan proposal RW, potensi masalah birokrasi dan penggunaan dana yang tidak efisien tetap menghantui. Pengalaman di tingkat nasional menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan sinergi antara pusat dan daerah, desentralisasi bisa menjadi bumerang.
Ridwan Kamil memang berpengalaman dalam mengelola desentralisasi selama menjabat sebagai Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat. Namun, kompleksitas Jakarta sebagai ibu kota dengan jumlah RW yang lebih banyak dan tantangan urban yang lebih beragam, membutuhkan strategi yang matang.(*)