KABARBURSA.COM - Pengamat energi Komaidi Notonegoro menegaskan bahwa avtur bukanlah faktor utama yang menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia. Menurutnya, harga tiket pesawat ditentukan oleh 16 komponen biaya, dan avtur hanya satu di antaranya.
"Tidak tepat jika tingginya harga tiket penerbangan domestik semata-mata dikaitkan dengan mahalnya avtur," jelasnya dalam keterangan di Jakarta, Senin 7 Oktober 2024.
Komaidi, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengungkapkan bahwa sesuai dengan ketentuan Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, harga tiket pesawat terdiri dari berbagai komponen seperti tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, serta biaya tambahan (surcharge). Tarif jarak itu sendiri mencakup biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Lebih rinci, biaya langsung terbagi menjadi biaya operasi langsung tetap, seperti penyusutan atau sewa pesawat, asuransi, gaji tetap kru dan teknisi, serta biaya pelatihan. Sementara itu, biaya operasi langsung variabel mencakup pelumas, avtur, tunjangan kru, pemeliharaan, jasa kebandarudaraan, jasa navigasi penerbangan, jasa ground handling, hingga biaya katering.
"Berdasarkan Permenhub tersebut, harga tiket pesawat yang dibayar konsumen digunakan untuk menutup sekitar 16 komponen biaya maskapai, termasuk pajak, asuransi, dan surcharge. Jadi, kenaikan harga tiket bukan hanya soal avtur, melainkan juga dipengaruhi 15 komponen lainnya," tegas Komaidi yang juga merupakan pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi di Universitas Trisakti.
Ia menambahkan, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa porsi biaya avtur dalam komponen harga tiket pesawat hanya berkisar antara 20–40 persen. Dengan kata lain, masih ada sekitar 60–80 persen komponen biaya penerbangan lainnya di luar avtur. "Jika hanya fokus pada avtur untuk menurunkan harga tiket, maka kebijakan yang diambil bisa jadi tidak proporsional," tambahnya.
Komaidi turut membandingkan porsi biaya avtur dari beberapa maskapai internasional. Pada 2019, kontribusi avtur terhadap total biaya penerbangan di Garuda Indonesia, Thai Airways, Singapore Airlines, Qatar Airways, dan Emirates masing-masing sebesar 27, 27, 29, 36, dan 32 persen. Namun, pada 2023, porsi tersebut meningkat menjadi 36, 39, 31, 41, dan 36 persen.
Kenaikan tersebut, menurut Komaidi, sejalan dengan lonjakan harga minyak dunia, di mana harga minyak jenis Brent naik dari 64,30 dolar AS per barel pada 2019 menjadi 82,49 dolar AS per barel pada 2023. Sementara, harga minyak jenis WTI meningkat dari 56,99 dolar AS per barel pada 2019 menjadi 77,58 dolar AS per barel pada 2023.
Komaidi menekankan bahwa persoalan ini memerlukan sinergi antar pemangku kepentingan untuk mencari solusi komprehensif. "Dibutuhkan kebijakan yang bijaksana dan kolaborasi semua pihak. Tidak perlu saling menyalahkan, melainkan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada," pungkasnya.
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.