KABARBURSA.COM - Equity Analis PT Indo Premier Sekuritas, Imam Gunadi, menyarankan pelaku pasar untuk memperhatikan rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dan perkembangan ketegangan geopolitik di Timur Tengah sepanjang pekan ini. Menurutnya, kedua faktor tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan pasar ke depan.
Mengenai data inflasi AS yang akan dirilis , Imam menekankan pentingnya data tersebut dalam menentukan arah kebijakan moneter The Fed, khususnya menjelang pertemuan di November dan Desember 2024.
“Pada Agustus, inflasi AS tercatat di angka 2,5 persen year on year (yoy) dan diproyeksikan turun menjadi 2,3 persen (yoy), mendekati target The Fed di kisaran 2 persen. Jika hasil yang dirilis sesuai ekspektasi atau bahkan lebih rendah, ini akan menjadi katalis positif bagi pasar,” tutur Imam di Jakarta, Senin 7 Oktober 2024.
Ia menambahkan bahwa selain data tahunan, angka inflasi bulanan juga perlu dicermati. Proyeksi saat ini memperkirakan inflasi bulanan AS akan turun dari 0,2 persen month to month (mtm) menjadi 0,1 persen (mtm), yang bisa memberikan indikasi perubahan tren dalam jangka pendek.
Imam juga menyoroti ketidakpastian di Timur Tengah yang terus membayangi pasar. Sepanjang pekan ini, pelaku pasar diimbau tetap memantau perkembangan terbaru dari wilayah tersebut. Hingga serangkaian serangan masih terjadi di pinggiran selatan Beirut, yang menyusul pengeboman oleh Israel terhadap wilayah tersebut. Serangan ini dianggap sebagai respons terhadap benteng Hezbollah yang didukung Iran, dan menewaskan pemimpin kelompok tersebut, Sayyed Hassan Nasrallah.
“Konflik yang berkepanjangan ini dapat mendorong kenaikan harga minyak lebih lanjut, yang berpotensi memengaruhi laju inflasi global dan menjadi sentimen negatif bagi pasar. Namun, di sisi lain, emiten-emiten sektor minyak dan gas (migas) akan meraup keuntungan dari lonjakan harga ini,” jelas Imam.
Dari dalam negeri, Imam menyebut data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia akan menjadi acuan penting untuk melihat persepsi masyarakat terhadap kondisi ekonomi. Menurutnya, IKK akan mencerminkan pandangan konsumen terkait prospek ekonomi, ketersediaan lapangan kerja, serta ekspektasi pendapatan dalam enam bulan mendatang.
“Jika angka IKK naik, ini akan menjadi sentimen positif bagi pasar, mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Sepanjang pekan lalu, Imam mencatat bahwa sentimen pasar global juga dipengaruhi oleh berbagai kebijakan stimulus dari pemerintah China. People's Bank of China (PBoC) meluncurkan paket kebijakan, termasuk pemangkasan giro wajib minimum (GWM) dan suku bunga acuan, serta penerbitan obligasi khusus senilai 2 triliun yuan.
Selain itu, PBoC juga memberikan stimulus tambahan untuk pasar saham melalui program swap sebesar 500 miliar yuan dan menyediakan fasilitas pinjaman 300 miliar yuan bagi perusahaan yang ingin melakukan pembelian kembali (buyback) saham mereka.
“Dampak dari kebijakan ini akan positif bagi Indonesia, mengingat China adalah mitra dagang terbesar kita. Namun, kebijakan ini juga bisa menarik perhatian investor saham Indonesia untuk mengalihkan investasi mereka ke China,” ungkapnya.
Imam menambahkan, ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah memicu kenaikan harga minyak Brent dan West Texas Intermediate (WTI) sebesar 9 persen pekan lalu. Peningkatan ini menambah tekanan pada perekonomian global yang tengah berjuang di tengah perlambatan ekonomi.
“Kenaikan harga minyak akan berdampak signifikan pada biaya produksi, yang pada akhirnya bisa menekan margin laba perusahaan,” ujarnya.
Selain itu, Imam menyoroti aksi profit taking yang dilakukan pelaku pasar setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor All-Time High (ATH) pada 19 September 2024 di level 7.853.
“Setelah mencapai puncaknya, banyak pelaku pasar yang memilih untuk mengamankan keuntungan di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ketegangan geopolitik yang masih berlanjut,” pungkasnya.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Imam menilai bahwa pelaku pasar perlu tetap waspada meski ada peluang positif dari kebijakan The Fed dan stimulus dari China.
Nilai tukar rupiah ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin 25 Juli 2024. Pelemahan rupiah diproyeksi dapat berlanjut seiring penantian data-data inflasi Negeri Paman Sam. Pagi ini 26 Juli 2024 rupiah justru makin menunjukkan pelemahan.
Kamis 25 Juli 2024 kemarin kurs rupiah Jisdor melemah 0,27 persen ke Rp 16.268 per dolar AS. Pergerakan rupiah Jisdor sejalan dengan pasar spot yang melemah 0,22 persen ke level Rp 16.250 per dolar AS.(*)