KABARBURSA.COM - Sektor komoditas metal mengalami lonjakan harga yang signifikan, termasuk emas, tembaga, dan nikel, yang memicu antusiasme di pasar saham. Kenaikan ini tidak hanya menarik perhatian investor, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kinerja saham emiten di sektor metal.
Dalam pengamatan terbaru, harga nikel untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) naik hingga 2,95 persen ke posisi USD18.221 per ton. Peningkatan ini membawa harga nikel dalam sebulan naik lebih dari 10 persen dan menyentuh posisi tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Lonjakan ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk stimulus ekonomi dari China yang berkontribusi terhadap peningkatan permintaan, serta ketegangan geopolitik akibat konflik di Timur Tengah yang menyebabkan kenaikan harga minyak.
Harga emas juga mengalami pergerakan yang atraktif, meskipun setelah mencetak rekor tertinggi pada USD2.670,20 per troy ons pada pekan lalu, harga emas kini mulai terkoreksi. Meskipun begitu, harga tetap bertahan di atas USD2.600 per troy ons, menunjukkan daya tahan di tengah volatilitas pasar.
Kenaikan harga komoditas ini menjadi sinyal positif bagi sektor metal, terutama setelah era suku bunga tinggi diperkirakan akan berakhir, yang bisa mengakibatkan indeks dolar AS semakin landai.
Kenaikan harga komoditas ini menciptakan momentum positif bagi saham-saham di sektor metal. Salah satu emiten yang mencuri perhatian adalah PT Bumi Resources Mineral Tbk (BRMS), yang dalam sebulan terakhir mencatatkan kenaikan harga saham lebih dari 50 persen.
Selain itu, saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Vale Indonesia (INCO), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga mengalami lonjakan, masing-masing sebesar 20 persen, 18 persen, dan 15 persen. Namun, PT United Tractors Tbk (UNTR) mengalami penurunan harga saham.
BRMS, yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga emas, mencatatkan porsi pendapatan dari emas mencapai 98,01 persen. Hal ini diperoleh melalui tiga anak usaha yang memiliki tambang emas. Sementara MDKA dan ANTM juga memiliki bisnis yang beragam di sektor tembaga dan nikel, dengan porsi pendapatan emas masing-masing sebesar 10,93 persen dan 81,69 persen.
Meskipun ARCI mencatatkan pergerakan harga saham yang relatif lambat, perusahaan ini sepenuhnya bergantung pada pendapatan dari tambang emas. Berdasarkan laporan keuangan ANTM hingga akhir Juni 2024, beban pokok untuk pembelian emas tercatat mencapai Rp17,61 triliun, sementara penjualan dari emas mencapai Rp18,82 triliun, menunjukkan potensi pendapatan yang signifikan.
Sementara itu, MDKA mengalami penyusutan porsi pendapatan dari emas, yang kini mencapai 10,93 persen, namun penjualan nikel mengalami lonjakan signifikan, meningkatkan kontribusi pendapatan dari segmen nikel menjadi 82,10 persen. Hal ini menunjukkan pergeseran fokus perusahaan terhadap nikel, terutama di tengah tren harga nikel yang meningkat.
Dari sisi valuasi, MDKA saat ini dihargai dengan price to book value (PBV) tertinggi, yaitu 4,28 kali, sementara INCO menjadi yang termurah dengan PBV sebesar 1,04 kali. Valuasi INCO yang rendah menjadikannya menarik, namun perlu diperhatikan bahwa bisnisnya lebih terpengaruh oleh harga nikel dibandingkan komoditas lainnya. Untuk investor yang mencari eksposur lebih besar di sektor emas, ANTM dan UNTR menjadi pilihan yang menarik.
Secara keseluruhan, kenaikan harga komoditas metal yang dipicu oleh permintaan yang kuat dan situasi geopolitik memberikan prospek positif bagi emiten di sektor ini. Investor sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk mempertimbangkan investasi di saham-saham metal yang menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat.
Dari data di atas, emiten yang paling premium berdasarkan metrik price to book value (PBV) adalah PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dengan nilai PBV sebesar 4,28 kali. Ini menunjukkan bahwa saham MDKA dihargai relatif tinggi dibandingkan dengan nilai bukunya, mencerminkan ekspektasi pasar yang kuat terhadap potensi pertumbuhan perusahaan di sektor komoditas metal.
Namun, perlu dicatat bahwa meskipun MDKA memiliki PBV yang tinggi, INCO (PT Vale Indonesia) memiliki PBV terendah, yaitu 1,04 kali, yang mungkin menarik bagi investor yang mencari valuasi lebih murah.
MDKA merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, terutama tembaga dan emas. Perusahaan ini memiliki beberapa tambang, dengan fokus utama pada pengembangan dan eksploitasi sumber daya mineral.
Sedangkan INCO merupakan salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia dan memiliki operasi pertambangan di Sulawesi. Perusahaan ini fokus pada eksplorasi, produksi, dan pemasaran nikel, yang merupakan komoditas penting dalam industri baterai dan stainless steel.(*)