Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Investasi Obligasi Belum Dilirik Gen Z, Kenapa?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 29 August 2024 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Redaksi
Investasi Obligasi Belum Dilirik Gen Z, Kenapa?

KABARBURSA.COM - Generasi Z atau biasa disebut Gen Z dinilai belum begitu mengenal investasi obligasi. Hal ini disebabkan karena minimnya sosialisasi kepada mereka.

Direktur PT Labaforexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengakui sejatinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melaksanakan sosialisasi ke universitas-universitas. Akan tetapi cara ini dirasa belum efektif untuk menjangkau Gen Z.

"Karena sosialisasi OJK sampai saat ini masih sebatas di universitas-universitas, bukan langsung menuju ke sasaran," ujar dia dalam acara webinar 'Raih Cuan Investasi dari Obligasi' yang diadakan Kabar Bursa, Kamis 29 Agustus 2024.

Padahal, Ibrahim melihat obligasi yang dirilis Kementerian Keuangan cukup menarik dikarenakan memiliki risiko yang kecil.

Dia menyampaikan berdasarkan Undang-Undang Surat Utang Negara Pasal 8 Ayat 3, disebutkan bahwa obligasi yang dilelang oleh pemerintah semua dibayarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) baik bunga maupun pokoknya.

"Artinya informasi ini yang seharusnya diberikan secara luas terhadap masyarakat agar masyarakat itu melek terhadap investasi," ucap Ibrahim.

Lebih lanjut Ibrahim memandang, saat ini yang gencar dipromosikan ke masyarakat ialah investasi di luar obligasi. Apalagi, dia memandang komunitas obligasi juga masih kecil dibanding komunitas saham maupun kripto.

Dia menyampaikan hingga saat ini data investasi obligasi masih berada di level 9 juta, masih kalah dibanding saham di level 12 dan kripto yang menyentuh 14 juta.

"Kampus-kampus perlu sekali adanya sosialisasi yang mungkin bisa berupa satu mata pelajaran untuk membahas tentang obligasi yang sebenernya cukup bagus," ungkap Ibrahim.

Obligasi di Indonesia Masih Menjanjikan

Diberitakan sebelumnya, perubahan ekspektasi suku bunga dan stabilitas Rupiah berpotensi membawa iklim yang lebih baik bagi pasar obligasi. Hal ini ini berpotensi pada kembalinya arus dana asing. Selain itu, berkurangnya target penerbitan SBN di semester kedua tahun 2024 bisa menjadi potensi katalis obligasi lainnya.

Imbal hasil saat ini masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y – UST 10Y berada di 288 bps (lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps).

Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun ada di kisaran 6,00 persen hingga 6,25 persen hingga akhir tahun ini. Ezra menambahkan, reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi.

Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengunci imbal hasil di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.

“Kalau kita lihat di first half atau semester pertama tahun ini, lumayan banyak kolateritas karena yang terlihat adalah potensi global masih kurang. Kebutuhan Amerika masih kuat, inflasi masih tinggi, potensi kebunga juga masih menguat dengan rupiah kita cukup lemah,” terangnya.

Tapi ke depannya, di semester ke-2 ini, Ezra melihat sudah mulai adanya lebih cerah kondisi di mana ekonomi Amerika sudah mulai melambat, inflasi juga mulai turun ke level di mana Fed sudah memberi sinyal akan menurunkan sebuah bunganya di September.

Sebenarnya itu memberi katalis positif ke pasar obligasi, khususnya dengan rupiah juga kuat dan PD dapat menurunkan sebuah bunganya.

“Saya sempat sampaikan bahwa pada saat penurunan sebuah bunga, itu pasti efeknya akan direct effect, memiliki efek yang langsung memengaruhi pasar obligasi. Jadi, imbal hasil atau yield obligasi di ekspertisasi akan turun dengan mulai adanya pemangkasan sebuah bunga oleh efek yang akan dirajutkan oleh pemangkasan Bank Indonesia,” ungkap Ezra, Rabu 14 Agustus 2024.

Walaupun memang pemangkasan sebuah bunga Bank Indonesia tidak akan sebanyak efek, tentunya akan mengikuti atau sedikit di belakang efek pemangkasannya.Tapi tentunya itu akan mempengaruhi langsung ke pasar obligasi.

Apalagi ditambah dengan rupiah yang menguat, tentunya itu akan memberikan confidence kepada investor asing yang sebelumnya di sidelines, belum berani masuk ke pasar obligasi Indonesia karena rupiahnya masih agak fertile, akan lebih berani masuk ke pasar obligasi .

Jadi tentunya kalau melihat adanya penurunan supply lebih sedikit, sedangkan demandnya itu naik, tidak cuma investor lokal yang selama ini terus membeli, terus belanja pasar obligasi, tapi juga ada demand dari investor asing, itu tentunya akan memberikan booster, setidaknya positif dan katalis untuk bisa mendorong imbal hasil turun. (*)