KABARBURSA.COM - Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena prospek pelemahan ekonomi China. Data Refinitiv mencatat rupiah ditutup di Rp15.510/US$ pada perdagangan kemarin (7/12/2023), mengalami depresiasi sebesar 0,13 persen, berkebalikan dengan penguatan 0,06 persen pada Rabu (6/12/2023).
Pelemahan ini dipicu proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang melambat di tahun 2024. Dampaknya dirasakan oleh Indonesia sebagai mitra dagang, baik dalam ekspor-impor maupun sebagai investor signifikan di Tanah Air.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi China diprediksi tumbuh 5,4 persen tahun 2023 setelah pulih dari dampak Covid. Namun, untuk tahun depan, IMF memproyeksikan pertumbuhan lebih lambat.
Pada sisi lain, impor China mengejutkan dengan penurunan 0,6 persen (year-on-year) menjadi US$ 223,54 miliar pada November 2023, melawan perkiraan pasar yang mengantisipasi kenaikan 3,3 persen. Hal ini menandai penurunan ke-10 sepanjang tahun ini, menunjukkan lemahnya permintaan meskipun ada upaya pemulihan konsumsi pemerintah.
Dampak negatif dari pelemahan ekonomi China juga dirasakan oleh pasar keuangan Indonesia, dengan potensi dampak negatif.
Di AS, jumlah pengajuan tunjangan pengangguran naik tipis menjadi 220.000, menandai angka tertinggi kedua sejak September. Ini memperpanjang tren penurunan pasar tenaga kerja AS.
Data klaim pengangguran memberikan gambaran bagi investor terkait kebijakan moneter The Fed. Sementara lowongan pekerjaan di AS turun 617.000 menjadi 8,73 juta pada Oktober 2023, di bawah konsensus pasar 9,3 juta.
Sementara itu, di dalam negeri, cadangan devisa pada November 2023 naik US$ 5 miliar menjadi US$ 138,1 miliar. Kenaikan ini dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, seperti diumumkan Bank Indonesia. Pemerintah baru saja menarik utang sebesar US$ 2 miliar atau Rp 31,2 triliun melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.