KABARBURSA.COM – Emiten sektor energi, khususnya batu bara, diramal akan tetap prospektif untuk dikoleksi investor kendati dunia internasional mulai menggalang gerakan kolektif net zero emission (NZE) di tahun 2050.
Pengamat Pasar Modal yang juga founder Traderindo.com, Wahyu Laksono mengungkap, sektor energi masih menjadi penopang perekonomian dunia. Posisinya saat ini, kata dia, sangat vital terlepas dari pro-kontra terhadap lingkungan.
“Tanpa energi ekonomi dunia bisa mati. Kasus Covid, juga krisis Rusia-Ukraina menjadi bukti bahwa energi sangat vital. Jika energi pro lingkungan bermasalah, terpaksa energi kotor dipakai dan jadi mahal juga,” kata Wahyu saat dihubungi Kabar Bursa, Selasa, 27 Agustus 2024.
Wahyu menilai, emiten energi tetap menarik dan sangat potensial untuk dikoleksi jangka panjang. Menurutnya, kondisi ekonomi global, geopolitik, isu lingkungan, dan perubahan iklim menempatkan energi pada posisi yang sangat vital dan strategis, bahkan untuk komoditas yang belum bersih seperti coal.
“Kalau pun harus antisipatif, maka investor melakukan diversifikasi, koleksi emiten batu bara juga emiten energi terbarukan atau pro lingkungan,” jelasnya.
Kendati batu bara tengah mengalami penurunan kinerja ekspor dan harga batu bara acuan (HBA), baik secara tahunan maupun bulanan, Wahyu menilai komoditas tersebut tetap prospektif dikoleksi.
Hal itu dia ungkap mengacu pada optimis Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), lantaran permintaan komoditas batubara tetap tinggi di Tiongkok dan India. Sementara dari masing-masing emiten, tutur Wahyu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) optimis mengahadapi fluktuasi harga batu bara.
Begitu juga dengan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang juga optimis bahwa penurunan harga batu bara saat ini hanya bersifat sementara yang terjadi lantaran adanya ketidakseimbangan permintaan dan penawaran.
Di sisi lain, kata Wahyu, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) telah melakukan diversifkasi batu bara, di mana pengelolaan operasional dan biaya diefisiensi. Selain itu, ADRO juga meningkatkan kontribusi bidang non batu bara termal sebagai komitmen dalam proyek mineral dan energi terbarukan.
“Intinya, kalau harga saham energi jatuh, sepanjang fundamental perusahaan baik, Buy On Weakness. Apapun jenisnya, anak tiri ataupun anak emas, kotor atau pun bersih,” tutupnya.
Sementara itu, Analis Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menuturkan, saham emiten batu bara kompak mengalami uptrend atau mengalami pergerakan harga pasar yang cenderung naik.
Selain itu, Nafan juga menyebut emiten-emiten tersebut juga mengalami bullish atau harga saham mengalami kenaikan secara berkelanjutan. “Yang lainnya sudah uptrend dan sangat bullish,” kata Nafan saat dihubungi KabarBursa.
Adapun rekomendasi saham emiten batu bara dari Mirae Asset Sekuritas sebagai berikut:
PT Indika Energy Tbk (INDY)
Rekomendasi: Accumulative Buy
PT Bukit Asam Tbk (PTBA)
Rekomendasi: Maintain Buy
Batu Bara Diramal Tenggelam
Berdasarkan studi yang dirilis Greenpeace East Asia beberapa waktu lalu, menyebut bahwa negara terbesar pengguna batu bara dunia, Tiongkok, mulai mengurangi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di tahun 2024.
Langkah ini, dinilai sebagai pertanda menurunnya minat dunia terhadap komoditas batu bara. Hal tersebut sejalan dengan gerakan kolektif internasional dalam mendorong capaian net zero emission pada tahun 2050.
Fahmy menyebut, tak hanya Tiongkok yang mulai mengurangi penggunaan batu bara, melainkan juga negara-negara eropa barat. Sebagian besar, negara-negara tersebut mulai melakukan transisi menggunakan energi bersih yang ramah lingkungan.
“Meskipun waktu perang Rusia-Ukrania kan tergabung dan kembali lagi ke batu bara. Tapi itu karena temporary saja sifatnya. Nah, Cina saya kira melakukan hal yang sama juga. Meskipun dia produsen dan juga konsumen terbesar batu bara,” ungkapnya.
Sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar, Fahmy menilai Tiongkok mulai meninggalkan penggunaan batu bara besar-besaran. Menurutnya, penggunaan batu bara di Tiongkok dilakukan hanya untuk menekan biaya produksi di sektor industri.
“Sebelumnya hampir semua pembangkitnya itu menggunakan Batu Barat karena memang production cost-nya itu lebih murah. Tetapi sama dengan negara lain, Cina juga sudah mulai meninggalkan batu bara,” jelasnya.
Fahmi menilai, menurunnya minat internasional terhadap batu bara menandai industri tersebut mulai memasuki usia senja. Pada akhirnya, kata dia, batu bara akan mengalami sunset industri.
“Maka saya prediksikan batu barat ini sudah akan semakin menurun prospeknya. Bahkan saya menyebutnya sebagai sunset industri. Pada saatnya dia akan ditinggalkan,” tutupnya.
Disclaimer: Kabarbursa.com dan semua informasi, konten, materi, dan layanan yang disediakan di situs web ini atau melalui situs web ini hanya untuk tujuan informasi umum dan tidak merupakan nasihat investasi, keuangan, hukum, akuntansi, atau profesional lainnya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.