KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) mengonfirmasi adanya pelanggaran etika yang melibatkan beberapa pegawai, diduga terlibat dalam praktik gratifikasi terkait penerimaan emiten yang ingin melantai di bursa saham Indonesia.
“Telah terjadi pelanggaran etika oleh oknum karyawan PT Bursa Efek Indonesia,” ujar Kautsar Primadi Nurahmad, Sekretaris Perusahaan BEI, dalam pernyataan resmi yang dikutip pada Selasa 26 Agustus 2024.
Atas pelanggaran tersebut, pihak otoritas bursa telah mengambil langkah tegas dengan memecat pegawai yang terlibat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, Kautsar tidak mengungkap jumlah pasti karyawan yang terlibat dalam kasus ini.
Ia menegaskan bahwa BEI tetap berkomitmen menjaga prinsip Good Corporate Governance (GCG) melalui penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) dan implementasi ISO 37001:2016.
“Seluruh karyawan BEI dilarang menerima gratifikasi dalam bentuk apapun, baik uang, makanan, barang, atau jasa terkait transaksi yang dilakukan BEI dengan pihak ketiga,” tambahnya.
Sebelumnya, muncul surat tanpa nama yang mengungkap adanya praktik gratifikasi terkait pencatatan saham emiten yang dilakukan oleh sejumlah karyawan BEI. Surat ini menjadi pemicu pemecatan lima pegawai BEI pada periode Juli-Agustus 2024.
Surat tersebut dikirim kepada Wartawan Pasar Modal Indonesia pada Senin 26 Agustus 2024, tanpa menyebutkan identitas pengirimnya. Di dalamnya, terkuak rincian skandal yang melibatkan Divisi Penilaian Perusahaan BEI divisi yang bertugas menyeleksi calon emiten.
Lima karyawan divisi tersebut diduga meminta sejumlah uang sebagai imbalan atas jasa analisis kelayakan, agar perusahaan dapat tercatat di BEI.
Besarnya gratifikasi dilaporkan berkisar dari ratusan juta hingga miliaran rupiah per emiten. Melalui praktik ini, oknum BEI bahkan dikabarkan mendirikan perusahaan jasa konsultasi yang ditemukan memiliki akumulasi dana mencapai Rp20 miliar.
Lebih lanjut, praktik kotor ini disinyalir juga melibatkan oknum dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang memiliki wewenang memutuskan kelayakan sebuah perusahaan untuk melakukan IPO dan mencatatkan sahamnya di bursa.
Kabarnya, keterlibatan oknum OJK ini bahkan sampai pada level kepala departemen. Meski demikian, hingga saat ini, tindakan tegas baru dijatuhkan kepada pegawai di level bawah. Kasus ini belum merambah ke pimpinan divisi atau direksi yang membawahi proses penerimaan emiten. Masih belum jelas apakah kasus ini akan diseret ke ranah pidana, mengingat adanya potensi penipuan oleh para pelaku terhadap emiten-emiten yang proses pencatatannya dilakukan melalui cara-cara tak semestinya.
Kasus ini tentu mencoreng kredibilitas BEI sebagai Self Regulatory Organization (SRO) di pasar modal, yang sejatinya telah tersertifikasi ISO 37001 untuk sistem manajemen anti-penyuapan. Kejadian ini semakin memperihatinkan, karena meskipun BEI telah menerapkan standar kepatuhan yang tinggi, pelanggaran ini tetap terjadi selama beberapa tahun.
"Kasus ini disampaikan kepada publik sebagai bentuk transparansi dan komitmen terhadap tata kelola yang baik, serta sebagai langkah perlindungan terhadap investor di pasar modal. Jakarta, Agustus 2024," tulis BEI.
Praktik curang dalam proses IPO (Initial Public Offering) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat mengancam integritas pasar dan merugikan investor dalam berbagai cara.
Berikut adalah beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia terkait perusahaan yang melakukan listing IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menimbulkan kontroversi:
1. Kasus PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) - 2011
Setelah IPO, ada dugaan bahwa laporan keuangan Garuda Indonesia tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya. Selain itu, ada kritik terhadap penilaian saham yang dinilai terlalu optimis.
2. Kasus PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) - 2012
Kasus ini melibatkan dugaan ketidaksesuaian informasi yang disajikan dalam prospektus IPO. Investor merasa terjebak karena informasi yang tidak lengkap atau menyesatkan.
3. Kasus PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) - 2014
Setelah IPO, PGAS menghadapi kritik terkait penilaian saham yang dianggap terlalu tinggi. Ada juga keluhan dari investor terkait alokasi saham yang dianggap tidak adil.
4. Kasus PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) - 2021
IPO GOTO menjadi sorotan karena ukuran IPO yang sangat besar dan penilaian yang tinggi. Beberapa investor mengkhawatirkan potensi risiko dan ketidakpastian setelah listing.
5. Kasus PT Bukalapak Tbk (BUKA) - 2021
IPO Bukalapak juga mendapat perhatian karena penilaian yang tinggi dan berbagai kritik terkait dengan informasi yang disajikan kepada publik serta manajemen perusahaan.
6. Kasus PT Hypermart (Matahari) - 2022
Kasus ini mencakup dugaan ketidakakuratan dalam laporan keuangan dan informasi terkait performa bisnis sebelum IPO, yang kemudian mengarah pada masalah setelah listing. (*)