KABARBARUSA.COM - Harga batu bara mengalami pelemahan setelah mengalami kenaikan selama tiga hari perdagangan berturut-turut. Pasca penyelenggaraan COP28 Dubai yang memfokuskan pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), terjadi koreksi yang mencolok. Penurunan ini dapat diatributkan kepada aksi dua konsumen batu bara terbesar di dunia yang menahan pembeliannya, bertujuan untuk menstabilkan kenaikan harga. Dengan demikian, terlihat semakin sulit bagi batu bara untuk mencapai level psikologis US$ 140 per ton.
Berdasarkan data Refinitiv, harga kontrak Januari batu bara ICE Newcastle ditutup pada posisi US$ 134,5 per ton atau mengalami penurunan sebesar 0,55 persen pada perdagangan Selasa (5/12/2023). Pelemahan ini memberikan indikasi bahwa harga batu bara berpotensi memasuki fase bearish atau tren penurunan.
Penurunan harga batu bara sejalan dengan peningkatan aktivitas pasar Asia dalam meningkatkan produksi listrik berbasis ramah lingkungan serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, suatu tren yang telah berlangsung lebih cepat dibandingkan Amerika Utara dan Eropa sejak tahun 2015, berdasarkan data yang dikutip dari Reuters.
Penting dicatat bahwa fokus utama adalah pada peningkatan energi bersih, seperti tenaga angin dan surya, sebagai langkah krusial dalam mengurangi emisi karbon untuk mengatasi perubahan iklim. KTT iklim PBB atau COP28 yang berlangsung pada hari Sabtu menyaksikan 118 negara, dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan dunia hingga tahun 2030.
Namun, Tiongkok dan India tidak sepenuhnya mendukung janji COP28, terutama karena keterkaitannya dengan pembatasan penggunaan bahan bakar fosil. Keduanya menganggap bahan bakar fosil sebagai elemen penting untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat.
Lebih menariknya, meski menggunakan batu bara, Asia telah melampaui Eropa dan Amerika Utara dalam upaya melawan perubahan iklim sejak perjanjian iklim Paris pada tahun 2015. Ini dikonfirmasi oleh analisis data Reuters, yang menunjukkan bahwa dengan segala tantangan pendanaan yang lebih tinggi dan akses yang lebih lemah, Asia telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam mengurangi emisi karbon.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah permintaan stabil batubara termal dari sektor pembangkit listrik Tiongkok. Menurut S&P Global Commodity Insights, permintaan yang tetap tinggi disertai dengan penurunan suhu dan ketidakpastian permintaan untuk persiapan musim dingin.
Beberapa pedagang batu bara China juga diantisipasi menunda pembelian dengan harapan adanya penurunan harga. Prinsip dasarnya tetap sama: peningkatan permintaan mendorong kenaikan harga, dan sebaliknya.
Aksi menahan permintaan dari dua konsumen dan importir batu bara terbesar di dunia, Tiongkok dan India, diperkirakan menjadi pemicu utama koreksi harga saat ini. Tingkat permintaan yang tidak sebanding dengan harapan menyiratkan potensi terjadinya tren penurunan ke depannya.
Situasi serupa juga terlihat di India, sebagai konsumen dan importir batu bara terbesar kedua di dunia. Pembeli India diyakini akan mengikuti langkah pedagang Tiongkok untuk membatasi impor spot ke wilayah Asia Selatan.
Keseluruhan, penundaan pembelian dengan harapan penurunan harga dapat meredam tingkat impor dari China dan India, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan peningkatan pasokan global dan penurunan harga batu bara secara keseluruhan.