KABARBURSA.COM - Pemerintah berencana akan menerapkan kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per Januari 2025. Kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin membebani masyarakat dan menambah jumlah angka kemiskinan di Indonesia.
Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, menilai kebijakan menaikkan tarif PPN merupakan kesalahan besar.
Menurut dia, hal ini hanya akan menambah penderitaan masyarakat miskin tanpa memberikan solusi yang adil.
“Rakyat biasa terus dipajaki, tapi korporasi besar yang jumlahnya sedikit malah dibiarkan bebas,” kritik Faisal dalam Workshop ‘Ulasan RAPBN 2025’ di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Padahal, lanjut Faisal Basri, kenaikan PPN sebesar 1 persen tersebut diperkirakan hanya akan menambah pemasukan ke kas negara sekitar Rp60 triliun saja. Angka yang menurutnya tidak sebanding dengan beban yang harus ditanggung oleh rakyat.
Faisal Basri berpendapat, ada cara lain yang lebih adil dan efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus mengorbankan masyarakat miskin. Salah satunya adalah dengan menerapkan pajak “durian runtuh” atau windfall profit tax, khususnya pada sektor ekspor komoditas alam yang selama ini dinilai tidak adil dalam penerapan pajaknya.
“Bayangkan saja, petani kita yang mengekspor sawit dikenakan bea keluar dan bea sawit, tapi batu bara sama sekali tidak dikenakan bea. Ini jelas tidak adil,” ucap Faisal.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai kebijakan kenaikan PPN adalah upaya dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenuhi target penerimaan negara sekaligus merealisasikan janji kampanye mereka.
Fajry mengingatkan, dampak dari kenaikan PPN akan sangat dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah, terutama dalam bentuk kenaikan harga kebutuhan pokok.
“Pasti akan ada dampak terhadap kenaikan harga, dan kelompok menengah bawah yang paling merasakannya. Pemerintah perlu mencari solusi yang tepat untuk ini,” kata Fajry kepada Kabar Bursa.
Kenaikan harga akibat peningkatan PPN ini diperkirakan akan semakin menyulitkan upaya Indonesia untuk keluar dari garis kemiskinan.
Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, menyebut bahwa kenaikan harga komoditas pokok selama Maret 2023 hingga Maret 2024 telah berkontribusi pada penahanan laju penurunan tingkat kemiskinan.
Imam merinci bahwa beberapa komoditas pokok seperti beras, telur ayam, dan cabai merah mengalami kenaikan harga signifikan, yang mempengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran masyarakat, dan pada akhirnya tercermin dalam angka kemiskinan.
Dipaparkannya, pada Maret 2024 garis kemiskinan tercatat naik 5,90 persen dibandingkan Maret 2023 dengan garis kemiskinan perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan.
Berdasarkan data BPS, pada Maret 2024 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 25,22 juta orang atau sekitar 9,03 persen dari total penduduk, meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Tiga fraksi DPR RI memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025. Mereka yang memprotes adalah PKS, PKB, dan PPP.
PKS dengan tegas menolak, sementara PKB meminta pemerintah mengkaji ulang dan PPP ingin rencana tersebut ditunda.
Anggota DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani menegaskan kenaikan PPN tidak tepat. Ia menyinggung dampaknya akan buruk untuk masyarakat jika pajak tetap dipaksa naik.
“Fraksi PKS sejak awal konsisten menolak rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 karena dinilai semakin memukul mundur kondisi perekonomian masyarakat,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-2 Masa Persidangan I 2024-2025 di Jakarta Pusat, Selasa, 20 Agustus 2024.
“Kenaikan PPN kontraproduktif dengan daya beli masyarakat yang semakin tertekan akibat berbagai guncangan ekonomi, seperti kenaikan harga BBM, bahan pokok, dan tingginya suku bunga kredit,” sambung Netty.
Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PKB Ratna Juwita Sari menyatakan dirinya paham terhadap rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen itu bukan tiba-tiba. Hal Ini diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP.
Lalu, Ratna mengutip pasal 7 ayat 1 huruf b beleid tersebut yang menjelaskan bahwa tarif PPN akan naik ke 12 persen dari yang berlaku sekarang sebesar 11 persen. Tarif baru ini mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
“Memerlukan kajian yang mendalam sebelum dilaksanakan. Termasuk perhitungan ulang risiko terjadinya kenaikan inflasi dan biaya hidup, serta dampaknya kepada sektor UMKM,” desaknya kepada pemerintah.
“Sehingga secara tegas kami meminta pemerintah untuk bisa mempertimbangkan kembali, apakah penerapan PPN 12 persen di 2025 merupakan kebijakan yang tepat?” tanya Ratna.
Begitu juga dengan anggota DPR RI Fraksi PPP Muhammad Aras menyatakan sikap partainya yang tak sepakat mengenai kenaikan pajak. Menurutnya, penurunan daya beli dan konsumsi bakal merosot jika PPN dikerek ke 12 persen.
Aras mengakui bahwa tarif PPN di Indonesia terbilang rendah. Meski begitu, ia menegaskan, PPP tetap mendesak pemerintah menunda rencana mengerek pajak.
“Memang betul bahwa tarif PPN di Indonesia masih di bawah rata-rata dunia, termasuk Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) yang sebesar 15 persen. Namun, perlu diingat bahwa penerapan tarif PPN di Indonesia saat ini masih menggunakan skema single tariff,” jelasnya.
“Hal ini dianggap kurang adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli masyarakat atau kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda,” tambah Aras.
Selain kritik terhadap rencana kenaikan PPN, DPR mempertanyakan bagaimana kelanjutan rencana presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto mengerek tax ratio. Terlebih, Prabowo berencana meningkatkan rasio pajak Indonesia ke level 23 persen.
Anggota DPR Fraksi PDIP Adisatrya Suryo Sulisto menyoroti target pemerintah dalam RAPBN 2025 di mana tax ratio dirancang hanya akan tembus 10,2 persen.
“Lebih kecil dari pembahasan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebesar 10,5 persen. Bahkan, pemerintah memperkirakan hingga 2029 tax ratio hanya dapat mencapai 11,48 persen dari PDB. Fraksi PDIP mempertanyakan, bagaimana kelanjutan dari rencana untuk mencapai tax ratio 23 persen?” ucapnya.
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel yang memimpin Rapat Paripurna mengatakan pemerintah akan memberikan tanggapan terkait pandangan fraksi-fraksi DPR pada Sidang Paripurna lanjutan, Selasa, 27 Agustus 2024. (*)