KABARBURSA.COM - Direktur PT Charson Timor Land Estate, Bobby Pitoby, menyampaikan harapan agar kuota bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang telah habis segera ditambah.
Data dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menunjukkan bahwa hingga 13 Juni 2024, penyaluran dana FLPP untuk rumah subsidi telah mencapai 80.134 unit, mendekati 50 persen dari kuota FLPP tahun ini yang berjumlah 166.000 unit.
Tren penyaluran rumah subsidi pasca-pandemi menunjukkan rata-rata realisasi per bulan antara 20.034 hingga 20.818 unit sejak 2022. Dengan pola tersebut, diperkirakan kuota rumah subsidi untuk tahun 2024 akan habis pada Agustus atau September 2024, mengingat permintaan dan realisasi FLPP biasanya meningkat di semester kedua tahun.
Pitoby, yang juga menjabat sebagai Ketua Apindo NTT, mengungkapkan bahwa meskipun sektor properti di NTT mengalami perkembangan positif, pertumbuhannya masih lambat akibat daya beli masyarakat yang rendah. “Pertumbuhan properti di NTT memang menjanjikan, namun laju perkembangannya masih terbatas karena daya beli masyarakat yang rendah. Oleh karena itu, kami fokus pada rumah subsidi, sementara penyerapan untuk rumah komersial sangat kecil,” ujar Pitoby.
Program FLPP menawarkan bantuan yang sangat bermanfaat dengan bunga sebesar 5 persen dan uang muka hanya Rp1 juta. Untuk zona 9, yang mencakup Bali, NTB, dan NTT, harga rumah subsidi ditetapkan sebesar Rp185 juta per unit.
Dengan uang muka 5 persen dari harga tersebut, masyarakat hanya perlu membayar sekitar Rp1.850.000, serta cicilan bulanan sebesar Rp1.200.000 selama 15 tahun, yang masih terjangkau dengan UMR yang ada.
Pitoby, yang juga Ketua Real Estate Indonesia (REI) NTT, menambahkan bahwa Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) harus memenuhi syarat pendapatan tidak melebihi Rp6 juta untuk individu dan Rp8 juta untuk gabungan pendapatan.
Saat ini, penyerapan rumah subsidi mencapai 85 persen-88 persen, sedangkan penyerapan untuk rumah komersial masih sangat rendah, yakni sekitar 10-15 persen.
REI NTT menargetkan penyediaan 2.500 hingga 3.000 unit rumah pada tahun 2024. "Untuk itu, kami berharap adanya penambahan kuota FLPP agar lebih banyak masyarakat dapat memanfaatkan program ini," katanya.
Suku bunga kredit perbankan tercatat mengalami peningkatan meskipun Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen. Hal ini terungkap dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 19-20 Juni 2024.
Diketahui, suku bunga kredit perbankan mengalami peningkatan tipis, yaitu 9,26 persen, naik 1 bps dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 9,25 persen. Secara year to date (ytd), suku bunga kredit juga naik 1 bps dari posisi Desember 2023 di level 9,25 persen.
Menanggapi ini, Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengatakan, respon perbankan terhadap kenaikan suku bunga acuan tidak terlalu cepat. Perbankan cenderung menahan bunga kredit, karena persaingan ketat dalam penyaluran kredit seperti di segmen korporasi, wholesale, konsumsi, dan lainnya.
Perbankan sendiri diproyeksikan tidak akan serta merta menaikkan bunga kredit saat BI Rate naik, agar kualitas aset tetap terjaga. Perbankan tetap bertindak hati-hati untuk menghindari kenaikan NPL (nonperforming loan) di kemudian hari.
Hal senada disampaikan Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra. Menurut dia, meski suku bunga acuan masih tinggi, suku bunga kredit perbankan tidak langsung mengalami kenaikan signifikan.
BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, Keputusan ini diambil sejalan dengan kebijakan moneter pro-stabilitas serta langka pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5 plus minus 1 persen.
Dalam RDG April 2024, BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dari 6 persen menjadi 6,25 persen. Kenaikan ini adalah yang pertama kali sejak Oktober 2023. Meski begitu, suku bunga perbankan tetap stabil berkat likuiditas perbankan yang memadai.
Pada tahun 2024, Non-Performing Loan (NPL) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia mencerminkan tren yang perlu diwaspadai oleh industri perbankan dan sektor properti. Meskipun pasar perumahan terus menunjukkan permintaan yang stabil, tantangan ekonomi global dan domestik turut mempengaruhi daya bayar konsumen, yang berdampak pada angka NPL KPR.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat, terutama di tengah tantangan inflasi dan kenaikan suku bunga, menyebabkan beberapa peminjam mengalami kesulitan dalam membayar cicilan KPR mereka. Penurunan pendapatan dan daya beli masyarakat dapat meningkatkan potensi gagal bayar, yang mendorong NPL KPR naik.
Kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia untuk menekan inflasi berdampak pada kenaikan bunga KPR. Hal ini membuat cicilan KPR lebih mahal, sehingga berisiko meningkatkan jumlah kredit bermasalah.
Pemerintah melalui berbagai program perumahan bersubsidi seperti FLPP telah berusaha untuk mengurangi dampak kenaikan NPL di segmen masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, efektivitas kebijakan ini dalam menjaga stabilitas NPL masih harus terus dipantau.
Meskipun permintaan terhadap hunian tetap tinggi, beberapa segmen pasar properti mengalami tekanan, terutama di wilayah-wilayah yang terdampak oleh penurunan daya beli dan perlambatan ekonomi. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan peminjam untuk mempertahankan pembayaran cicilan KPR mereka tepat waktu. (*)