Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kepala BPOM Baru, Setumpuk Persoalan ini Menanti

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 20 August 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Kepala BPOM Baru, Setumpuk Persoalan ini Menanti

KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo secara resmi melantik Taruna Ikrar sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang baru dalam reshuffle kabinet yang berlangsung hari ini. Dengan lantang, Jokowi mengukuhkan posisi penting ini di Istana Merdeka, menghadirkan momentum yang tidak hanya formal, tetapi juga bersejarah dalam pemerintahan saat ini.

Taruna Ikrar bukanlah nama yang asing di dunia kedokteran dan ilmu pengetahuan. Lulusan Universitas Hasanuddin (Unhas), Taruna menyandang gelar Sarjana Kedokteran pada tahun 1994 dan melanjutkan menjadi dokter di universitas yang sama tiga tahun kemudian. Setelah itu, ia meraih gelar magister dari Universitas Indonesia pada 2003 dan melengkapi pendidikannya dengan gelar PhD dari Niigata University of Pharmacy and Applied Life Science, Jepang pada tahun 2008.

Karakternya yang penuh determinasi membawa Taruna ke posisi Wakil Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2000-2003, sebuah peran penting yang memperkuat reputasinya di dunia medis. Tak berhenti di situ, ia turut memegang paten dalam metode pemetaan otak pada tahun 2009, sebelum akhirnya menjabat sebagai spesialis laboratorium di Universitas California, Irvine pada 2021.

Kontroversi Taruna Ikrar

Namun, perjalanan Taruna tidak selalu mulus. Pada tahun 2023, ia menjadi sorotan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mencabut gelar profesornya. Penyebabnya? Kecurangan dalam proses pengusulan gelar tersebut, yang melibatkan dugaan fraud pada penyetaraan guru besar.

Tahun 2017, nama Taruna juga mencuat di kalangan netizen akibat klaim gelar profesor dalam bidang biomedical sciences dan posisinya sebagai dekan di Pacific Health Sciences University (PSHU) di Amerika Serikat. Rekam jejaknya dipertanyakan, terutama setelah munculnya pertanyaan dari Ferizal Ramli di blog dan Facebook, yang menyebut tidak adanya konfirmasi valid terkait profil akademiknya yang tertera di media sosial.

Merespons kontroversi tersebut, Taruna Ikrar memberikan klarifikasi bahwa ia memang telah menjadi dosen dan profesor di Pacific Health Sciences University sejak Januari 2017. Ia menjelaskan, proses menjadi profesor di AS berbeda dengan di Indonesia, di mana universitas di AS memiliki otoritas penuh tanpa perlu melalui persetujuan pemerintah.

Di balik semua polemik, Taruna Ikrar juga pernah terseret dalam nominasi Nobel Kedokteran. Menurutnya, kontroversi tersebut berawal dari kesalahan kutip saat wawancara, yang sayangnya tidak langsung ia klarifikasi pada saat itu.

Polemik BPOM

Kementerian Kesehatan kembali menerima laporan adanya dua kasus gagal ginjal pada anak, padahal sejak awal Desember 2022 lalu, kasus ini dianggap sudah tiada.

Dengan tambahan dua kasus tersebut, hingga 5 Februari 2023, jumlah kasus gagal ginjal pada anak telah mencapai 326, tersebar di 27 provinsi di Indonesia, termasuk satu kasus yang dicurigai. Dari jumlah tersebut, 204 anak dinyatakan meninggal dunia, sementara sisanya sembuh, dengan enam pasien masih dirawat di RSCM Jakarta.

Meski penyelidikan masih berlangsung, pihak keluarga korban gagal ginjal akut melalui kuasa hukumnya mendesak transparansi penuh dalam proses penyelidikan ini.

Kasus baru ini dilaporkan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. M. Syahril. “Tahun ini, ada satu kasus terkonfirmasi GGAPA (Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal) dan satu kasus suspek,” jelasnya dalam keterangan pers Senin 6 Februari 2023 silam.

Kasus terkonfirmasi terjadi pada seorang anak berusia satu tahun. Anak tersebut mengalami demam pada 25 Januari 2023 dan diberikan obat sirop penurun panas yang dibeli di apotek dengan merek Praxion. Tiga hari kemudian, ia mulai mengalami batuk, demam, pilek, dan kesulitan buang air kecil (Anuria). Ia kemudian dibawa ke Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur. Setelah dirujuk ke RS Adhyaksa pada 31 Januari, orang tua pasien menolak ketika disarankan dirujuk ke RSCM dan memilih pulang paksa. Pada 1 Februari, anak itu dibawa ke RS Polri, mendapatkan perawatan intensif, namun akhirnya meninggal dunia di RSCM pada pukul 23.00 WIB.

Kasus lainnya melibatkan anak berusia tujuh tahun yang mengalami demam pada 26 Januari, kemudian mengonsumsi obat sirop yang dibeli sendiri. Ia menerima pengobatan di Puskesmas dan klinik, namun pada akhirnya dirawat di RSUD Kembangan sebelum dirujuk ke RSCM Jakarta. Hingga saat ini, pemeriksaan terhadap sampel obat dan darah pasien masih berlangsung.

Pemerintah bersama BPOM dan berbagai pihak, termasuk epidemiolog dan ahli farmasi, tengah melakukan investigasi menyeluruh untuk menentukan penyebab kasus baru ini. Langkah antisipatif juga dilakukan dengan menerbitkan surat kewaspadaan kepada seluruh Dinas Kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan terkait tanda-tanda klinis GGAPA dan penggunaan obat sirop, meskipun penyebab pastinya masih diselidiki lebih lanjut.

BPOM telah memerintahkan penghentian sementara produksi dan distribusi obat terkait, serta melakukan investigasi terhadap produk obat, bahan baku, dan sisa obat yang dikonsumsi pasien. Beberapa perusahaan farmasi juga secara sukarela telah menarik obat dari peredaran. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Pipit Rismanto, menyatakan bahwa timnya tengah menelusuri lebih lanjut apa yang dikonsumsi pasien.

Transparansi dalam investigasi ini menjadi sorotan, mengingat belum ada bukti langsung yang mengaitkan obat sirop dengan kasus baru, namun kekhawatiran masyarakat atas keamanan obat semakin meningkat. Kuasa hukum korban, Siti Habiba, mendesak agar investigasi dilakukan secara transparan, mengkritik BPOM atas verifikasi mandiri yang dilakukan perusahaan obat untuk memastikan keamanan produk mereka.

Polisi sebelumnya mengungkapkan bahwa kelangkaan propilen glikol, bahan baku obat sirop, memicu sejumlah perusahaan untuk mencampur bahan kimia standar industri ke dalam produksi obat, yang menyebabkan kematian ratusan anak. Investigasi terhadap peran pengawasan BPOM terus berlanjut.

Kasus ini telah menempatkan BPOM di bawah sorotan tajam, dengan pengawasan yang dianggap lemah dan lalai. Sidang class action yang diajukan oleh keluarga korban terhadap BPOM, Kementerian Kesehatan, dan perusahaan farmasi terkait akan memasuki tahap kedua.

Polisi telah menangkap beberapa tersangka yang terkait dengan pemasok bahan baku yang tidak layak. Para tersangka kini menghadapi ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar.

Ketidakpatuhan distributor dan produsen terhadap aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dinilai sebagai penyebab utama lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Sejak kasus ini mencuat, pengawasan terhadap bahan baku farmasi semakin diperketat, meskipun beban pengawasan yang lebih besar kini dipikul oleh perusahaan farmasi sendiri.

Sejak Januari 2022, kasus gagal ginjal akut terus meningkat, dengan puncaknya pada Agustus-Oktober 2022. Hingga 15 November 2022, tercatat 324 kasus dengan 199 kematian, memicu penarikan sejumlah produk sirop yang mengandung zat berbahaya di atas ambang batas aman. (*)