Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Menutup Pekan Bergelombang: Harga Minyak Turun

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 17 August 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Menutup Pekan Bergelombang: Harga Minyak Turun

KABARBURSA.COM - Harga minyak turun hampir 2 persen, meski pergerakan harga dalam sepekan tetap stabil. Investor meredam harapan atas pertumbuhan permintaan dari China, salah satu importir minyak terbesar dunia.

Pada Jumat, harga minyak WTI kontrak September 2024 di New York Mercantile Exchange turun 1,93 persen menjadi USD76,65 per barel. Namun, dalam sepekan, penurunan hanya sebesar 0,25 persen. Sementara itu, harga minyak mentah Brent kontrak Oktober 2024 di ICE Futures turun 1,68 persen menjadi USD79,68 per barel, tetapi secara mingguan justru sedikit menguat 0,02 persen.

Data ekonomi China yang dirilis pada Kamis menunjukkan perlambatan ekonomi di bulan Juli, termasuk penurunan harga rumah, penurunan produksi industri, dan peningkatan pengangguran. Kondisi ini memicu kekhawatiran tentang penurunan permintaan dari negara tersebut. Kilang minyak di China juga mengurangi pemrosesan minyak mentah karena lemahnya permintaan bahan bakar.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada Senin lalu menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk tahun ini, mengutip melemahnya permintaan di China. Badan Energi Internasional (IEA) juga mengurangi proyeksi permintaan minyak untuk tahun 2025 dengan alasan yang serupa.

Menurut Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates, pasar minyak berada dalam minggu yang bergejolak, terjepit antara kekhawatiran gangguan pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah dan perlambatan ekonomi di China yang menekan permintaan.

Kekhawatiran Permintaan Global

Harga minyak mengalami stabilisasi pada Selasa, 13 Agustus 2024 setelah mengalami kenaikan selama lima sesi berturut-turut. Pasar mulai memusatkan perhatian kembali pada kekhawatiran permintaan global, khususnya setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan untuk tahun ini, terutama karena ekspektasi yang lebih lemah dari China.

Menurut laporan Reuters, minyak mentah Brent turun 30 sen, atau 0,36 persen, menjadi USD82,00 per barel pada pukul 08:20 GMT, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 29 sen, atau 0,36 persen, menjadi USD79,77 per barel. Sebelumnya, pada Senin, 12 Agustus 2024, Brent mencatat kenaikan lebih dari 3 persen, sementara minyak mentah AS meningkat lebih dari 4 persen di tengah kekhawatiran akan perluasan konflik di Timur Tengah yang berpotensi memperketat pasokan minyak global.

Pemangkasan perkiraan permintaan oleh OPEC untuk tahun 2024 mencerminkan tantangan yang dihadapi kelompok OPEC+ saat mereka bersiap untuk meningkatkan produksi mulai Oktober. Analis pasar, Yeap Jun Rong dari IG, mencatat bahwa risiko ekonomi yang lebih tinggi dapat menekan harga minyak, terutama mengingat rencana OPEC+ untuk mengurangi pemotongan produksi yang mungkin menciptakan pasar minyak yang kurang ketat ke depannya. Namun, investor tetap waspada terhadap ketegangan geopolitik, terutama di Timur Tengah.

Ketegangan di Timur Tengah terus meningkat, dengan Amerika Serikat memperkirakan serangan besar oleh Iran atau sekutunya di wilayah tersebut dalam minggu ini. Serangan semacam itu berpotensi memperketat akses terhadap pasokan minyak global, yang bisa memicu kenaikan harga.

Selain itu, jika AS memberlakukan embargo pada ekspor minyak Iran sebagai tanggapan, pasokan global bisa terpengaruh sebanyak 1,5 juta barel per hari, menurut para analis.

Sementara itu, pasar juga menantikan laporan indeks harga konsumen AS yang akan dirilis pada hari Rabu, yang diperkirakan akan memberikan gambaran penting tentang kondisi inflasi.

Minyak Dunia di Tangan Trump

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2024 berpotensi menambah ketidakpastian signifikan pada pasar minyak dunia dalam waktu dekat.

Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS melalui pemilu November ini bisa mengubah dinamika pasar minyak. Trump, yang mencalonkan diri dari Partai Republik, diperkirakan akan menerapkan kebijakan yang lebih agresif terhadap minyak Iran dibandingkan rivalnya dari Demokrat, Kamala Harris.

Tren produksi minyak Iran meningkat pesat di bawah pemerintahan Joe Biden, namun Trump diyakini akan menekan lebih keras. Menurut tim riset BMI, bagian dari Fitch Solutions, meskipun kebijakan agresif Trump terhadap Iran sudah diprediksi, dampaknya terhadap produksi minyak mentah Tehran masih dipertanyakan.

“Beberapa faktor, termasuk perubahan pembeli di China, membuat kami ragu Trump dapat mempengaruhi produksi Iran seperti yang terlihat pada 2018. Namun, pandangan ini masih jauh dari pasti,” ungkap laporan tersebut pada Selasa 13 Agustus 2024.

Tak hanya Iran, Venezuela, yang juga menjadi sasaran tekanan maksimal Trump, akan terus mengamati perkembangan pemilihan AS. Biden sempat menawarkan keringanan sanksi untuk menghidupkan kembali hubungan dengan Caracas. Walaupun sanksi diberlakukan kembali pada April tahun ini, beberapa konsesi penting masih memungkinkan produksi Venezuela berlanjut.

Brent Terdampak

Menurut analisis BMI, jika Trump menang pada November, harga Brent diprediksi akan kembali menguat. Namun, ada kemungkinan skenario yang bisa membuat masa jabatan kedua Trump justru menekan harga minyak.

“Trump sangat mendukung sektor minyak dan berjanji untuk terus melakukan pengeboran. Namun, kami tidak percaya masa jabatan kedua Trump akan berdampak drastis pada produksi, karena pertumbuhan yang melambat secara struktural dalam beberapa tahun ke depan, seiring matangnya aset ladang serpih dan pergeseran strategi perusahaan migas,” jelas tim riset BMI.(*)