KABARBURSA.COM - PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) mengumumkan peningkatan modal dasar, ditempatkan, dan disetor pada dua anak usahanya, yakni PT Dwikarya Sejati Utama (DSU) dan PT Barasentosa Lestari (BSL) pada 12 Agustus 2024.
Corporate Secretary GEMS, Sudin menjelaskan bahwa peningkatan modal tersebut didasarkan pada Akta BSL dan DSU No. 266 dan No. 267 tertanggal 31 Juli 2024, yang dibuat di hadapan Hannyawati Gunawan, Notaris di Jakarta. Seperti dalam keterangan tertulisnya pada Rabu 14 Agustus 2024.
Sudin merinci, modal dasar BSL yang awalnya hanya 3.500 lembar saham dengan nilai Rp3,5 miliar kini telah meningkat menjadi 200.000 lembar saham dengan nilai Rp200 miliar. Sementara itu, modal ditempatkan dan disetor juga mengalami peningkatan, dari semula 174.371 lembar saham menjadi senilai Rp174,37 miliar.
Adapun untuk DSU, modal dasar yang sebelumnya terdiri dari 4.000 lembar saham dengan nilai Rp4 miliar, kini telah meningkat menjadi 110.000 lembar saham dengan nilai Rp110 miliar. Modal ditempatkan dan disetor pun mengalami perubahan dari semula 3.000 lembar saham senilai Rp3 miliar menjadi 6.090 lembar saham senilai Rp6,09 miliar.
"Peningkatan modal ini diharapkan dapat memperkuat posisi keuangan serta struktur modal DSU dan BSL," tutup Sudin.
Kepercayaan investor terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan akan mengalami guncangan ringan setelah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juli 2024 menunjukkan penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
oderasi harga batu bara serta kegagalan dalam mencapai target lifting minyak bumi menjadi penyebab utama. Harga gas alam dan batu bara masing-masing terperosok sebesar 26,4 persen dan 32 persen, menambah tekanan pada dinamika pasar. Lalu bagaimana nasib kinerja Emiten Batu Bara dan Migas?
Pengamat Pasar Modal, Wahyu Laksono, penurunan PNBP ini tidak secara otomatis mengikis daya tarik IHSG di mata para investor. “Penurunan PNBP (dari hasil Batu Bara dan Migas, red) tak serta merta menurunkan minat investor di sektor energi,” ungkap Wahyu kepada Kabar Bursa, Rabu, 14 Agustus 2024.
Dia menjelaskan, harga yang berfluktuasi tidak selalu menjadi alasan utama bagi investor untuk melepas saham mereka. Menurutnya, fundamental dan valuasi emiten tetap menjadi prioritas utama.
Wahyu juga menambahkan, meski harga komoditas yang menurun berpotensi mengurangi pendapatan emiten, yang pada gilirannya dapat menekan harga saham mereka, ini adalah hal yang wajar. “Komoditas turun, pendapatan turun, harga saham ikut turun. Itu sudah logis,” kata Wahyu.
Agar diketahui, proses lifting mencakup semua upaya untuk mengangkat atau memproduksi hidrokarbon (minyak dan gas) dari sumur pengeboran ke fasilitas permukaan, di mana minyak dan gas tersebut kemudian diolah dan dipersiapkan untuk distribusi.
Lifting sering menjadi indikator utama dalam industri minyak dan gas karena menggambarkan volume produksi aktual yang dihasilkan oleh perusahaan migas. Target lifting biasanya ditetapkan oleh pemerintah atau perusahaan sebagai sasaran produksi yang diharapkan dalam periode tertentu. Jika target lifting tidak tercapai, hal ini dapat berdampak pada penerimaan negara dan keuntungan perusahaan.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juli 2024 tercatat sebesar Rp338 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 3,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh moderasi harga batu bara dan ketidakmampuan realisasi lifting minyak bumi yang tidak memenuhi target pemerintah. Sri Mulyani menjelaskan bahwa realisasi PNBP saat ini mencapai 68,7 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa volatilitas harga komoditas global berdampak signifikan terhadap APBN. Misalnya, harga gas alam dan batu bara masing-masing turun sebesar 26,4 persen dan 32 persen.
Hingga akhir Juli 2024, Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) telah mencapai Rp1.454,4 triliun, yang setara dengan 55,1 persen dari target dan mencatat peningkatan sebesar 4,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa belanja negara telah mencapai Rp1.638,8 triliun, atau sekitar 49,3 persen dari target, dengan pertumbuhan sebesar 12,2 persen.
“Jika kita lihat, pertumbuhan belanja kita cukup tinggi dan konsisten, dibandingkan bulan lalu yang tumbuh 14 persen,” ujarnya pada Senin, 13 Agustus 2024.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Sri Mulyani, APBN 2024 mencatat defisit sebesar Rp93,4 triliun per akhir Juli, yang setara dengan 0,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Defisit ini masih rendah dibandingkan dengan target defisit tahun ini dalam APBN 2024, yaitu 2,2 persen,” tambahnya.
Namun, Sri Mulyani juga menekankan bahwa keseimbangan primer tetap mencatat surplus sebesar Rp179,3 triliun.
Sri Mulyani mencatat bahwa harga minyak Brent meningkat 3,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dan 3,4 persen secara tahun berjalan (year-to-date/ytd), menunjukkan harga yang lebih tinggi dibanding tahun lalu maupun Januari.
“Namun, penerimaan pajak dari Migas kemungkinan masih turun karena pencatatan didasarkan pada harga tahun lalu yang lebih rendah, serta faktor lifting yang juga akan terlihat nanti,” tambahnya.
Selanjutnya, harga gas alam mengalami penurunan signifikan, yaitu 26,4 persen (yoy) dan 19,2 persen (ytd). Harga batubara juga turun 32 persen (yoy) dan 0,3 persen (ytd). Meski menjadi salah satu komoditas penting di Indonesia, harganya jauh lebih rendah dibanding paruh pertama tahun lalu.
Surplus dalam keseimbangan primer ini menunjukkan bahwa utang lama tidak perlu dilunasi dengan penarikan utang baru, sehingga menghindari kondisi gali lubang-tutup lubang.(*)