Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sektor Properti Menjanjikan di Tengah Perlambatan Ekonomi Global

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 13 August 2024 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Redaksi
Sektor Properti Menjanjikan di Tengah Perlambatan Ekonomi Global

KABARBURSA.COM - Sektor properti dinilai cukup mencerahkan di tengah perlambatan ekonomi global. Hal ini dibuktikan dengan capaian di triwulan II 2024.

Pengamat Pasar Modal, Wahyu Laksono mengatakan sektor properti kini menduduki posisi keempat sektor tertinggi.

"Sektor properti yang secara umum emiten nya agak terkoreksi karena tekanan suku bunga, lemahnya IDR dan perlambatan ekonomi global justru jadi sektor keempat tertinggi," kata Wahyu kepada Kabar Bursa, dikutip Selasa, 13 Agustus 2024.

Wahyu membeberkan potensi sektor properti masih sangat besar dengan ekonomi yang masih prospektif dan jumlah penduduk yang tinggi.

"Perumahan, kawasan industri dan perkantoran jelas masih potensial untuk jangka panjang," tuturnya.

Bahkan, kata Wahyu, investasi lokal atau penanaman modal dalam negeri (PMDN) sektor properti duduk di posisi ketiga sebagai subsektor realisasi triwulan II 2024, tertinggi yang disasar investor.

"Investasi subsektor perumahan dan kawasan lainnya mencapai Rp33,5 triliun," katanya.

Di sisi lain, Wahyu  mengungkapkan bahwa terdapat beberapa emiten yang kemungkinan besar akan terdampak risiko pasar dan likuiditas di tengah ketidakpastian kondisi global, terutama di sektor perbankan, properti, dan otomotif.

“Emiten dari lembaga pembiayaan, asuransi, dan layanan investasi. Emiten di sektor properti, real estate, hingga konstruksi bangunan. Juga emiten otomotif yang bergerak di penjualan mobil atau leasing,” ungkap Wahyu.

Kendati begitu, Wahyu merasa yakin jika sektor perbankan masih sangat potensial dalam jangka panjang maupun menengah. Ini dibuktikan dengan ranking top ten market cap dihuni emiten perbankan.

“Indonesia negara besar dan calon terbesar dunia. Emiten keuangan perbankan dan kawan-kawan bisa sangat potensial,” ungkap dia.

Wahyu melanjutkan, data trade balance current account  arus kapital atau investasi  masih terbilang balik. Selain itu, tambah dia, ekonomi Indonesia secara umum juga masih lumayan bagus.

“Bahkan pandemic tidak membuat ekonomi kita ambruk malah menjadi salah satu ekonomi tercepat dan terkuat saat recovery pandemic,” ungkapnya.

Kebijakan Insentif Likuiditas

Sebelumnya diberitakan, Bank Indonesia (BI) berencana untuk meningkatkan likuiditas perbankan melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), dengan target total mencapai Rp280 triliun hingga akhir tahun 2024.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa tambahan ini akan meningkatkan jumlah likuiditas dari posisi Juni 2024 yang sebesar Rp255,8 triliun menjadi Rp280 triliun. “Kami berencana untuk meningkatkan jumlah ini hingga Rp280 triliun di akhir tahun, naik dari Rp255,8 triliun pada Juni 2024,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK III 2024.

Perry menekankan bahwa penambahan insentif likuiditas ini tergantung pada performa penyaluran kredit perbankan. Insentif ini ditujukan untuk bank-bank yang aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas seperti hilirisasi mineral dan batu bara, pertanian, perkebunan, pariwisata, perumahan, UMKM, serta sektor-sektor ramah lingkungan.

Oleh karena itu, BI terus melakukan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). “Kami bekerja sama dengan OJK untuk mendorong penyaluran kredit. OJK memastikan bank-bank menyalurkan kredit, sedangkan BI menambah likuiditas sepanjang kredit disalurkan ke sektor-sektor prioritas. Ini adalah bagian dari kebijakan makroprudensial kami,” jelasnya.

Antara Maret dan Juni 2024, BI telah menambah insentif likuiditas sebesar Rp91 triliun, meningkatkan total dari Rp165 triliun pada Maret menjadi Rp255,8 triliun pada Juni. Penambahan ini termasuk kenaikan insentif untuk bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang meningkat dari Rp82 triliun pada Maret menjadi Rp118,4 triliun pada Juni, atau sebesar Rp36,4 triliun.

Bank swasta nasional juga mengalami kenaikan dari Rp64,8 triliun pada Maret menjadi Rp108,9 triliun pada Juni, naik sebesar Rp44,1 triliun. Bank Pembangunan Daerah (BPD) mendapat tambahan insentif sebesar Rp9 triliun, meningkat dari Rp15,9 triliun pada Maret menjadi Rp24,9 triliun pada Juni. Sementara itu, kantor cabang bank asing hanya mengalami kenaikan Rp1,3 triliun, dari Rp2,3 triliun pada Maret menjadi Rp3,5 triliun pada Juni.

Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia

Lebih lanjut, Perry mengatakan, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 fokus pada penguatan infrastruktur, inovasi hingga rupiah digital. “Kita harus lanjutkan BSPI 2019-2025 ke 2030. Ada lima inisiatif yang disingkat 4I-RD, yaitu infrastruktur, industri, inovasi, internasional, dan rupiah digital,” ujarnya.

Perry mengatakan BSPI 2030 mengusung lima inisiatif sebagai tindak lanjut dari Visi BSPI 2030, yaitu infrastruktur, industri, inovasi, internasional, dan rupiah digital, atau disingkat 4I-RD.

Pada inisiatif infrastruktur, dilakukan modernisasi infrastruktur untuk semakin meningkatkan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem pembayaran digital.

“Kita terus memodernisasi infrastruktur ritel yaitu BI-FAST, tentu saja harus kolaborasi nanti kita akan bangun, juga meng-invite industri retail payment supaya betul-betul bersama dengan policy maker Bank Indonesia,” ujarnya.

Perlu diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengingatkan industri perbankan untuk waspada terhadap risiko pasar dan likuiditas di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian.(*)