KABARBURSA.COM - Kurs rupiah menguat meskipun ada kekhawatiran resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang telah melemahkan posisi dolar AS. Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia, Liza Camelia, mengungkapkan bahwa pasar global saat ini menunjukkan tren bullish yang kuat.
Dalam analisis terbarunya, terlihat bahwa banyak pasar, termasuk Wall Street, mengalami kenaikan signifikan meski terdapat langkah-langkah restriktif dari bank sentral. “Pasar sedang bullish,” ujar Liza kepada Kabar Bursa, Jumat, 9 Agustus 2024.
Liza juga menjelaskan bahwa beberapa faktor berperan dalam fenomena ini. Salah satunya adalah meski terdapat aliran modal yang signifikan ke pasar, sebagian besar pasar global terlihat stagnan, namun Wall Street justru mencatatkan kenaikan yang signifikan.
“Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga, namun indeks seperti S&P 500 dan Nasdaq Composite masih mampu mencapai rekor tertinggi,” jelasnya.
Sementara itu, pasar investasi Indonesia mengalami dinamika signifikan dalam beberapa hari terakhir, dengan adanya capital outflow yang menyebabkan ketidakpastian di pasar. Meskipun terjadi net sales asing sebesar Rp36 triliun pada bulan Juni 2024, perkembangan terbaru menunjukkan adanya perbaikan yang menggembirakan.
“Namun, saat ini posisi yield to date sudah positif, mencapai Rp52 miliar. Artinya, sebagian besar dari Rp36 triliun yang dijual telah mulai dibeli kembali,” kata Liza.
Hal ini menunjukkan adanya potensi capital inflow yang lebih besar ke depannya, karena investor mulai kembali menaruh minat di pasar domestik.
Salah satu faktor pendorongnya adalah pandangan bahwa investasi di Amerika Serikat saat ini dianggap overvalued, sehingga para fund manager dan investment manager mulai mempertimbangkan alokasi investasi ke pasar emerging, termasuk Indonesia. Ini diharapkan dapat memberikan dorongan positif bagi pasar investasi lokal.
Di sisi lain, perdebatan mengenai prediksi pelemahan dolar AS juga turut memberikan dampak positif. Dengan diperkirakannya USD melemah, ada peluang bagi rupiah untuk menguat, yang akan memberikan keuntungan tambahan bagi pasar dan investor domestik.
“Kondisi eligibility saat ini masih kuat, lebih tinggi, dan ini menunjukkan bahwa pasar cenderung lebih berani mengambil risiko, sehingga diharapkan capital inflow ke Indonesia juga akan meningkat,” tambahnya.
Kemungkinan resesi di AS semakin nyata. JPMorgan Chase & Co kini melihat peluang 35 persen bahwa ekonomi AS akan mengalami resesi pada akhir tahun ini, naik dari 25 persen pada bulan sebelumnya. Pelemahan permintaan tenaga kerja dan tanda-tanda pemangkasan tenaga kerja menjadi indikator utama.
Chief Economist JP Morgan, Bruce Kasman, menyatakan bahwa ada beberapa faktor utama yang mendorong kemungkinan resesi ini. “Tingkat inflasi yang masih tinggi, suku bunga yang terus naik, dan ketidakpastian geopolitik global semuanya berkontribusi terhadap tekanan ekonomi yang signifikan,” ujar Kasman.
Kasman menjelaskan bahwa tingkat inflasi yang masih di atas target Federal Reserve (The Fed) memaksa bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengendalikan inflasi, juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dan bisnis.
Selain itu, ketidakpastian geopolitik seperti konflik internasional dan ketegangan perdagangan juga memperburuk situasi. “Ketidakpastian ini membuat investasi dan perdagangan global terhambat, yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik,” tambah Kasman.
JP Morgan juga mencatat bahwa pasar tenaga kerja mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Meskipun tingkat pengangguran masih relatif rendah, pertumbuhan lapangan kerja melambat dan jumlah klaim pengangguran meningkat. “Pasar tenaga kerja yang melemah bisa menjadi tanda awal dari resesi yang lebih dalam,” kata Kasman.
Sektor perumahan juga menjadi perhatian utama. Kenaikan suku bunga hipotek telah menyebabkan penurunan tajam dalam penjualan rumah dan pembangunan perumahan baru. “Penurunan dalam sektor perumahan sering kali menjadi indikator awal dari resesi ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.
Meskipun demikian, Kasman menekankan bahwa masih ada faktor-faktor positif yang dapat membantu mengurangi dampak resesi. Salah satunya adalah kebijakan fiskal yang mungkin diambil oleh pemerintah untuk mendukung perekonomian, seperti stimulus fiskal atau pengurangan pajak. “Kebijakan yang tepat waktu dan tepat sasaran bisa membantu mengurangi dampak negatif dari resesi yang diproyeksikan,” ujarnya.
JP Morgan merekomendasikan agar investor dan pelaku bisnis tetap waspada dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan resesi. “Diversifikasi portofolio investasi dan menjaga likuiditas yang memadai adalah langkah-langkah penting untuk mengelola risiko di tengah ketidakpastian ekonomi ini,” tutup Kasman. (*)