KABARBURSA.COM - Risiko resesi di Amerika Serikat (AS) semakin menjadi perhatian pasar. Jika resesi terjadi di Negeri Paman Sam, dampaknya pasti akan terasa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Para pengambil kebijakan di Indonesia belum melihat risiko tersebut termaterialisasi. Bahkan, ada pandangan bahwa resesi di AS bisa membawa keuntungan bagi Indonesia.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, mengemukakan bahwa resesi akan meredakan tekanan inflasi di AS. Dengan demikian, suku bunga yang tinggi mungkin tidak lagi bertahan.
“Suku bunga tinggi dan inflasi tinggi mungkin tidak akan terjadi lagi secara global. Ini akan bagus untuk ekonomi domestik kita dan juga ekonomi di negara-negara sejenis,” ujar Destry usai pelantikan di Mahkamah Agung, Rabu 7 Agustus 2024.
Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menyatakan bahwa Indonesia bisa mendapat manfaat dari resesi di AS. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks stabilitas makro, dampak resesi AS bisa positif. Jika suku bunga kebijakan AS diturunkan, tekanan untuk capital outflow akan berkurang.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa resesi AS tidak selalu berdampak positif bagi Indonesia. Pada 2007-2009, resesi di AS akibat krisis sub-prime mortgage mengakibatkan ekonomi global mengalami kontraksi. Pada puncaknya, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mengalami kontraksi 2,6 persen pada 2009, periode tergelap sejak Depresi Besar 1930-an.
Bank Sentral AS, The Federal Reserve, di bawah pimpinan Ben Shalom Bernanke, memangkas suku bunga acuan secara agresif untuk mengatasi resesi. Suku bunga turun dari 4,75 persen menjadi 0-0,25 persen dalam waktu kurang dari setahun.
Selama resesi AS, ekonomi Indonesia juga tidak baik-baik saja. Pada 2009, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen, melambat dari 6,1 persen pada tahun sebelumnya. Ekspor mengalami kontraksi 9,7 persen, dan nilai tukar rupiah melemah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh lebih dari 50 persen, dan imbal hasil surat utang negara melonjak hampir 2.000 bps.
Rangga Cipta, Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas, mengingatkan bahwa AS masih berkontribusi besar terhadap PDB dunia, hampir 20 persen. Jika ekonomi AS resesi, ekonomi global akan terseret, termasuk Indonesia.
Namun, Bahana Sekuritas menilai risiko resesi AS masih jauh. Meski pasar tenaga kerja menciut, angkanya tidak terlalu buruk. Pada Juli, ekonomi AS menciptakan 114.000 lapangan kerja non-pertanian, yang menjadi angka terendah dalam tiga bulan terakhir. Riset Bahana menyebutkan bahwa tidak ada resesi saat non-farm payroll berada di bawah 100.000, seperti yang terjadi pada 2012-2019.
Kemungkinan resesi di AS semakin nyata. JPMorgan Chase & Co kini melihat peluang 35 persen bahwa ekonomi AS akan mengalami resesi pada akhir tahun ini, naik dari 25 persen pada bulan sebelumnya. Pelemahan permintaan tenaga kerja dan tanda-tanda pemangkasan tenaga kerja menjadi indikator utama.
Chief Economist JP Morgan, Bruce Kasman, menyatakan bahwa ada beberapa faktor utama yang mendorong kemungkinan resesi ini. "Tingkat inflasi yang masih tinggi, suku bunga yang terus naik, dan ketidakpastian geopolitik global semuanya berkontribusi terhadap tekanan ekonomi yang signifikan," ujar Kasman.
Kasman menjelaskan bahwa tingkat inflasi yang masih di atas target Federal Reserve (The Fed) memaksa bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengendalikan inflasi, juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dan bisnis.
Selain itu, ketidakpastian geopolitik seperti konflik internasional dan ketegangan perdagangan juga memperburuk situasi. "Ketidakpastian ini membuat investasi dan perdagangan global terhambat, yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik," tambah Kasman.
JP Morgan juga mencatat bahwa pasar tenaga kerja mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Meskipun tingkat pengangguran masih relatif rendah, pertumbuhan lapangan kerja melambat dan jumlah klaim pengangguran meningkat. "Pasar tenaga kerja yang melemah bisa menjadi tanda awal dari resesi yang lebih dalam," kata Kasman.
Sektor perumahan juga menjadi perhatian utama. Kenaikan suku bunga hipotek telah menyebabkan penurunan tajam dalam penjualan rumah dan pembangunan perumahan baru. "Penurunan dalam sektor perumahan sering kali menjadi indikator awal dari resesi ekonomi yang lebih luas," jelasnya.
Meskipun demikian, Kasman menekankan bahwa masih ada faktor-faktor positif yang dapat membantu mengurangi dampak resesi. Salah satunya adalah kebijakan fiskal yang mungkin diambil oleh pemerintah untuk mendukung perekonomian, seperti stimulus fiskal atau pengurangan pajak. "Kebijakan yang tepat waktu dan tepat sasaran bisa membantu mengurangi dampak negatif dari resesi yang diproyeksikan," ujarnya.
JP Morgan merekomendasikan agar investor dan pelaku bisnis tetap waspada dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan resesi. "Diversifikasi portofolio investasi dan menjaga likuiditas yang memadai adalah langkah-langkah penting untuk mengelola risiko di tengah ketidakpastian ekonomi ini," tutup Kasman. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.