Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

KNKT Soroti Analisis Risiko Kendaraan Listrik jadi Angkot

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 06 August 2024 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Redaksi
KNKT Soroti Analisis Risiko Kendaraan Listrik jadi Angkot

KABARBURSA.COM – Senior Investigator Komite Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan mengungkapkan pentingnya pemerintah dan stakeholder terkait dengan penyedia angkutan umum melakukan failure mode and effect analysis (FMEA) atau analisis mode dan efek kegagalan.

Wildan mengungkapkan bahwa pemerintah dan stakeholder penyedia angkutan umum belum melakukan FMEA sebelum memutuskan untuk mengaplikasikan kendaraan listrik dan hidrogen digunakan di angkutan umum.

“Jadi teknologi ini (hidrogen dan EV) ini sudah mendunia, sudah banyak digunakan. Tapi, ketika akan digunakan atau diimplementasikan di sebuah negara, ada kajian terkait dengan habbit, lalu lintas. Itu semua harus dianalisis. Kalau kendaraan sudah aman digunakan di Jepang bukan berarti aman di Indonesia. Belum tentu,” ungkap Wildan kepada Kabar Bursa, Selasa, 6 Agustus 2024.

Ia menambahkan, iklim Indonesia dan Jepang berbeda sehingga tingkat keamanan suatu kendaraan tentu akan berbeda pula jika digunakan. Menurutnya, pemerintah dan pihak stakeholder penyedia angkutan harus melakukan analisa yang lebih detail terkait keamanan suatu produk kendaraan. Terlebih ketika kendaraan tersebut akan digunakan sebagai angkutan umum.

“Itulah kenapa kita harus melakukan analisa yang lebih detail. Apa bahayanya ketika itu dibawa ke sini dan kita pun mengkaji seberapa luas bahayanya jika terjadi. Kemudian kita lihat apakah kita mampu mengatasi bahaya yang terjadi,” jelasnya.

Di sisi lain, ia juga setuju jika Indonesia harus segera berpindah dari angkutan umum konvensional ke listrik atau hidrogen. Karena, menurutnya, kedua angkutan tersebut dapat mengurangi emisi karbon.

“Intinya kami mendukung sepenuhnya terkait elektrifikasi, cuma kita harus lakukan FMEA, kalau sampai terjadi apa yang harus dilakukan dan disiapkan. Itu yang harus didorong ke pemerintah,” tuturnya.

Skenario jika Terjadi Insiden

Menurutnya, bahwa salah satu aspek yang harus dibicarakan oleh pemerintah dan penyedia jasa angkutan umum adalah pihak yang harus bertanggung jawab apabila terjadi insiden.

Ia mencontohkan, ketika terjadi kebakaran truk pengangkut bahan bakar milik Pertamina kebakaran di jalan layang, pihak pengelola jalan meminta ganti rugi kepada Pertamina sebesar Rp2 miliar karena efek dari kebakaran tersebut adalah merusak struktur beton.

Kebakaran baterai mobil listrik, kata dia, dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar. Karena, ketika baterai mobil listrik terbakar, akan muncul panas yang hebat dan merusak struktur beton. Sementara evakuasi baterai mobil listrik yang sudah terbakar akan susah karena tidak dapat dipadamkan meski dimasukkan ke dalam kolam.

“Kalau yang terbakar angkutan umum, siapa yang akan dimintai pertanggung jawaban? Kalau itu menimpa mobil pribadi yang kebakaran di jalan layang, apakah pemilik mobil akan bertanggung jawab. Inilah yang harus dipikirkan sebelum membuat regulasi,” ujarnya.

Pihaknya telah menyampaikan kepada Pemprov DKI Jakarta untuk memperhitungkan risiko sebelum menetapkan sebuah kebijakan. Ia berharap agar pembuatan regulasi harus berdasarkan analisa yang detail dan tidak lagi berdasarkan opini.

Karena, menurut dia, ada perbedaan dalam penanganan risiko dan bahaya menggunakan mobil listrik, motor listrik, mobil penumpang, bus dan truk.

“Kalau mobil listrik sudah pakai BMS, tapi siapa yang bisa memastikan sepeda listrik dan motor listrik ada BMS. Karena, komponen itu mahal. Kalau bus BYD itu sudah pakai (BMS), tapi kalau yang lain saya belum tahu,” katanya.

Harga komponen BMS mahal karena di kendaraan listrik bertugas memantau setiap sel baterai. Sementara di dalam baterai kendaraan listrik terdapat ribuan sel baterai yang berisiko mal function. Ketika satu sel baterai malfungsi, kata dia, BMS bertugas untuk menghentikan agar jangan sampai terjadi thermal runaway.

“Makanya sekarang ini kita lihat banyak sepeda dan motor listrik yang meledak saat dicas. Itu karena tidak ada BMS-nya. Saya tidak menghitung berapa kejadian serupa. Itu terjadi karena kelamaan dicas dan itu terjadi karena thermal runaway,” jelasnya.

LFP Paling Aman

Sementara itu, akademisi dari Institut Teknologi Bandung Yannes Martinus Pasaribu menilai, saat ini baterai listrik paling aman adalah lithium ferro phosphate (LFP). Baterai ini disebut paling stabil dibandingkan dengan baterai yang berbasis nikel.

“Meskipun memiliki kepadatan energi yang lebih rendah, LFP menawarkan keamanan yang lebih baik dan masa pakai yang lebih lama. Tetapi, perkembangan teknologi baterai densitas tinggi yang menggunakan nikel masih terus berlanjut telah membuat baterai ini jauh lebih aman daripada sebelumnya,” kata Yannes kepada Kabar Bursa beberapa waktu lalu.

Menurutnya, dengan penelitian dan pengembangan yang sedang berlangsung, diharapkan baterai lithium-ion akan menjadi semakin aman dan andal di masa depan. Riset-riset BMS canggih yang dapat memantau suhu dan tegangan setiap sel baterai secara real-time sedang berkembang pesat saat ini.

Ia menyebut kemampuan terbaik dari BMS adalah memungkinkan deteksi dini terhadap anomali yang dapat menyebabkan panas berlebih dan secara sistemik dapat memblokir thermal runaway yang terjadi,” ungkapnya. (*)