KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menilai daya beli masyarakat masih cukup kuat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penilaian ini didasarkan pada sejumlah indikator, mulai dari pertumbuhan beberapa sektor usaha hingga inflasi yang terkendali.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 memang di bawah pertumbuhan nasional, hanya sebesar 4,93 persen.
Namun, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetap dominan, mencapai 54,53 persen. Airlangga menekankan bahwa dibandingkan dengan negara lain, daya beli atau konsumsi Indonesia masih relatif tinggi.
"Jika dibandingkan dengan negara lain, angka ini cukup tinggi, dan kontribusinya masih dominan, dengan konsumsi mencapai 54,53 persen dari total PDB," ujar Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin 5 Agustus 2024.
Beberapa sektor usaha yang terkait konsumsi rumah tangga, menurut Airlangga, masih tumbuh tinggi di atas pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,05 persen per kuartal II-2024. Di antaranya sektor akomodasi dan makanan minuman yang tumbuh 10,17 persen, serta transportasi dan pergudangan yang tumbuh 9,56 persen.
"Konsumsi ini tentu kemarin kita didorong Ramadhan, Idul Fitri, dan kegiatan mobilitas masyarakat, termasuk kegiatan-kegiatan di hotel, restoran, dan cafe," ujar Airlangga
Selain itu, inflasi tetap terkendali di kisaran 2 persen, seiring dengan kenaikan inflasi inti. Airlangga juga menyoroti bahwa impor barang konsumsi masih tumbuh sekitar 12 persen, mencerminkan likuiditas perekonomian yang memadai, penyaluran kredit yang meningkat, serta okupansi hotel di atas 50 persen.
"Jadi kalau kita banyak bicara inflasi, inflasi inti kita mendekati 2 persen, kredit konsumsi naik 10,4 persen, impor barang konsumsi 12 persen, peredaran uang (M2) tumbuh 7,2 persen, dan tingkat okupansi hotel 54 persen," ungkap Airlangga.
Oleh sebab itu, pemerintah belum mempertimbangkan pemberian paket kebijakan untuk mendorong konsumsi rumah tangga ke depan. Penyaluran bantuan subsidi upah (BSU) seperti saat Covid-19 juga tidak masuk dalam radar kebijakan saat ini.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa evaluasi pemberian insentif hanya terkait Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor perumahan dan PPnBM DTP untuk otomotif.
"Pengalaman beberapa tahun sejak pandemi menunjukkan bahwa kebijakan ini sangat efisien karena dampaknya langsung terasa oleh masyarakat dan kontribusinya terhadap ekonomi bisa dibandingkan dengan potensial loss," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,93 persen (year on year/yoy) pada kuartal II-2024. Meskipun masih menjadi pendorong utama perekonomian, konsumsi rumah tangga tetap berada di bawah 5 persen dalam tiga kuartal terakhir.
Namun, jika dibandingkan dengan kuartal II-2023, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun karena pada saat itu masih mampu tumbuh 5,22 persen. Dibanding kuartal I-2024, pertumbuhannya pun stagnan karena pada periode tersebut tumbuh 4,91 persen.
"Sebetulnya, dari Q1 ke Q2 ada sedikit peningkatan, dan pertumbuhan konsumsi 4,93 persen memang masih di bawah angka pertumbuhan nasional," kata Airlangga.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa penurunan daya beli masyarakat bukanlah faktor utama di balik deflasi yang terjadi secara beruntun di Indonesia. Sebaliknya, BPS menyatakan bahwa deflasi ini justru disebabkan oleh melimpahnya pasokan di pasar.
"Kalau karena suplai pasokan pasar dari komoditas yang cukup di pasar dan kemudian ini yang menyebabkan penurunan harga karena meningkatnya pasokan ini tidak bisa langsung disimpulkan ini penurunan daya beli, justru deflasi ini terjadi karena pasokan yang melimpah," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024.
Amalia menjelaskan bahwa peningkatan suplai terutama terjadi pada ketersediaan bahan makanan bergejolak atau volatile food. Komponen harga pangan bergejolak ini sangat mempengaruhi tingkat inflasi secara umum.
Dalam beberapa waktu terakhir, rapat pengendalian inflasi yang diadakan setiap pekan sangat memperhatikan ketersediaan pasokan pangan bergejolak di pasar. Salah satu bahan makanan yang disoroti adalah bawang merah dan cabai. Ketika pasokan kedua komoditas ini ditambah, harganya turun dan menyumbang pada deflasi.
"Harga cabai dan bawang merah ternyata menjadi penyebab terjadinya inflasi harga barang. Inilah yang menyebabkan deflasi untuk komponen makanan dan minuman, atau secara umum menjadi penyumbang deflasi pada harga pangan bergejolak," ujar Amalia.
Sebelumnya, BPS mencatat bahwa Indonesia kembali mengalami deflasi pada Juli 2024 sebesar 0,18 persen month-to-month. Deflasi ini menandakan Indonesia telah mengalami penurunan harga secara umum selama tiga bulan berturut-turut sejak Mei lalu.
Deflasi bulan Juli disebabkan oleh turunnya harga bahan pangan bergejolak. Sementara itu, kenaikan harga tercatat pada komponen biaya sekolah, seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru.(*)